Thursday, 12 January 2012

The "underrated" Silver Chalice - akting perdana Paul Newman



Judul: The Silver Chalice|Tahun-rilis:1954|Produser/Distributor:Warner-Brothers|Sutradara: Victor Saville|Penulis-novel: Thomas Costain|Penulis-skenario: Lesser Samuels|Pemain: Pier Angeli, Paul Newman|Durasi: 135 menit

Dalam edisi perdama  Film Guide pada tahun 1977, penulisnya memberikan nilai 0 dari 4 bagi film ini. Lebih dari 80% kritikus Rottentomatoes menganggap film ini adalah film gagal. IMDB memberikan film ini 2,5 bintang dari 5. Bahkan Paul Newman sendiri mengatakan bahwa film ini adalah film terburuk semasa dekade itu.  Akan tetapi menurut saya The Silver Chalice adalah sebuah film yang bagus dan bisa dinikmati, jauh dari membosankan. Mungkin memang set dari film ini terlihat tidak-matang. Dinding-dindingnya polos, seperti papan-kayu yang diberi warna, tanpa ukiran sedikitpun, tidak merefleksikan kemasyuran kekaisaran Romawi sedikitpun. Penonton sangat sadar ketika sebuah adegan diambil di dalam sebuah studio. Landskap kota sering-kali terlihat seperti blue-print CGI  landskap kota pada film-film jaman-sekarang. Kostumnya pun biasa saja, standar. Lalu propertinya sangat palsu, bahkan visi dari properti tersebut bisa dibilang buruk. Sebut saja adegan ketika Nero disajikan makanan berwarna emas. Warna emas pada makanan adalah sebuah ide konyol. Saya sendiri ketika menyaksikannya sedikit mengerenyitkan dahi, apalagi ketika melihat mereka memakan ayam berwarna emas tersebut, sebuah siksaan bagi para aktornya. Namun lepas dari itu, yang membuat film ini menarik dan menyenangkan untuk ditonton adalah plotnya dan akting para pemainnya.
The 'great' bridge to Jerussalem. Half-done?

Plotnya memikat. Penyusunan adegannya solid, tidak longgar, tidak terlalu lamban, dan efektif. Tak satupun adegan yang menurut saya membosankan atau tidak penting bagi kemajuan plot dari awal hingga akhir. Dibantu dengan penampilan para pemerannya yang bagus, adegan-adegan dari film ini pun juga ikut menjadi menarik. Misalkan, adegan ketika Deborra menyatakan cintanya pada Newman karena ia mengira bahwa Newman juga mencintainya. Akting kedua aktor buat saya berhasil menciptakan rasa-malu yang dirasakan Deborra ketika menyadari bahwa ternyata Newman tidaklah membalas cintanya. Atau adegan ketika Simon diperdaya oleh kegilaan dirinya sendiri yang mengira bahwa dirinya lebih dari Tuhan (Yesus), mengira bahwa dirinya bisa terbang. Pada adegan lainnya, Newman menunjukkan keahlian aktingnya ketika karakternya mengalami penampakkan Jesus. Saya rasa adegan ini adalah salah satu adegan paling berkesan dalam film ini, di samping monolog Peter dalam adegan terakhir film, yang lebih ditujukan pada penonton ketimbang pada Deborra dan Newman yang mulai meninggalkan dermaga dalam kapal mereka.
Paul Newman, sebagai Basil, talentanya bersinar sejak film perdananya

Selain itu, film ini juga memiliki kedalaman. Misalkan Newman yang gagal untuk melihat Jesus. Di saat yang sama, ia masih memendam hasrat pada cinta masa-kecilnya, Helena, wanita yang kontras dengan keluguan dan kemurnian Deborra. Kegagalan Newman melihat Jesus adalah penggambaran tertutupnya hatinya pada Tuhan, hingga akhirnya Yesus menampakkan diri padanya. Helena digambarkan sebagai wanita yang kotor. Ia dulunya adalah seorang budak. Secara implisit, bisa dikatakan bahwa Helena berhasil melepas predikat lamanya dengan cara yang, menurut ajaran agama Ibrahim, salah. Adegan ketika ia menuangkan minuman pada para prajurit sambil menggoda mereka mengisyaratkan bahwa Helena setidaknya pernah bercinta dengan mereka semua, bahkan mungkin seks-orgy dengan mereka semua. Helena juga dilambangkan sebagai Hawa, yang memberikan buah dari pohon terlarang pada Adam.
Helena menuangkan minuman pada semua prajurit yang ada

Memang The Silver Chalica yang sutradarai Victor Saville bukanlah bentuk terbaik yang bisa dilakukan. Namun film ini jauh dari membosankan karena masalah dari film ini bagi saya hanyalah masalah setting dan properti. Dari segi cerita dan semua pemainnya, film ini bagus. Namun bagi mereka yang menuntut kesempurnaan style sebuah film, atau memiliki level kelayakan yang agak-tinggi, saya tidak merekomendasi film ini. (PS: namun saya masih tidak mengerti kenapa ada yang bilang film ini membosankan...)

No comments:

Post a Comment