Judul: Somebody Up There Likes Me|Tahun-rilis: 1956|Produser: Charles Schnee|Sutradara: Robert Wise|Pemain: Paul Newman, Pier Angeli|Penulis-skenario: Ernest Lehman| Music: Bronislau Kaper|Genre: Drama|Durasi: 114 menit
Menelusuri film awal Paul Newman, setelah film The Silver Chalice yang menurut saya sangat di-underrated oleh khalayak, Newman bermain dalam film drama Somebody Up There Likes Me yang disutradarai Robert Wise, memerankan tokoh-utama, Rocky Graziano, seorang petinju yang berjuang untuk lepas dari masa-lalunya yang kelam hingga akhirnya ia menjadi petinju profesional.
James Dean (East of Eden, Rebel without a Cause) dulunya dikabarkan adalah pilihan-pertama Wise (atau pihak studio?) sebagai pemeran Rocky. Namun, James Dean meninggal sehingga pilihan jatuh ke Paul Newman. Apakah Newman memerankannya lebih baik dari Dean? Saya tidak tahu. Namun dari dua film James Dean yang sudah saya tonton, James Dean masih sangat muda dan wajahnya agak seperti bayi, kurang cocok untuk memerankan seorang tokoh petinju. Apalagi pada awalnya film direncanakan akan di-shot berwarna. Namun siapa tahu apa yang bisa dilakukan Hollywood? Akan tetapi Paul Newman sendiri menurut saya memerankan tokohnya dengan sangat baik. Begitu pula casting istri Rocky yang dimainkan oleh Pier Angeli, yang kebetulan juga bermain dalam film perdana Newman sebelumnya. Para pemain pendukung yang lainnya pun memerankan perannya dengan luar-biasa. Sal Mineo, yang saya pernah lihat bermain di Rebel without a Cause sebagai Plato, memerankan Romolo dengan, teman ketika Graziano masih menjadi anggota geng, dengan sangat menarik.
Plotnya sedikit bercelah karena sepanjang film, film ini tidak menyinggung tentang agama atau Tuhan. Padahal judulnya Somebody Up There, dan pada shot terakhir film ketika Newman mengatakan “There’s somebody up there likes me” , kata ini menjadi semakin penting, namun siapa itu somebody tidak pernah dijelaskan. Namun secara umum plotnya menarik, mengikuti perjalanan hidup Rocky Graziano dari kecil ketika ia ditindas oleh ayahnya, kemudia berlanjut ke kehidupan penjara, momen pencerahan setelah mendengar kesedihan ibunya, hingga akhirnya ia menjadi juara kelas-menengah tinju dunia.
Untuk style Robert Wise sendiri saya tidak mampu berkata apa-apa. Dua film Robert Wise yang sudah saya tonton adalah film ini dan The Sand Pebbles (dan mungkin Helen of Troy). The Sand Pebbles bercerita tentang seorang pelaut yang tidak-peduli pada aturan-aturan lingkungannya. Mungkin ciri-khas film Robert Wise adalah karakternya yang anti-sosial, hidup dengan aturannya sendiri. Saya juga pernah membaca Robert Wise banyak membuat film noir, namun tak satupun dari film noir (konvensional, tentang detektif polisi dan wanita-penjahat) itu yang sudah saya tonton.
Namun Wise juga bukan tipe sutradara yang sekedar merekam apa yang ada di dalam skenario. Pada adegan awal, Wise menggunakan relasi-komposisi-grafis antara dua shot yang dihubungkan dengan dissolving untuk menggambarkan time-lapse antara Graziano-kecil hingga ketika ia sudah menjadi dewasa. Atau cara Wise menggambarkan bagaimana kekerasan ayahnya menyebabkan kebiasaan nakal Graziano dengan cara menghubungkan gerakan pukulan ayahnya, dengan Graziano yang memecahkan kaca sebuah toko untuk mencuri.
Wise juga membumbui filmnya dengan sedikit komedi. Misalkan adegan ketika akhirnya Graziano mulai mencoba untuk menjauhi dunia-kriminal, hanya beberapa langkah dari pintu-keluar penjara, ia dihadang oleh dua orang yang mewajibkan dirinya untuk bergabung dengan militer untuk ikut dalam PD II. Atau adegan ketika Graziano menghajar seorang tentara yang pangkatnya di atas dirinya. Atau dalam adegan lain, Graziano mencoba meyakinkan calon istrinya, Norma, bahwa tinju tidaklah sekejam yang ia bayangkan dengan cara membawanya melihat Graziano berlatih tinju ‘halus’ dengan partnernya. Lain halnya dengan Raging Bull. Film itu penuh dengan kekerasan, kesedihan, perkelahian, kekacauan, dan ketika ada adegan yang berkesan komedi, komedi tersebut tidak sepenuhnya komedi, namun ironis (saya hanya sekedar menunjukkan perbedaannya).
Karakter Graziano-pun digambarkan meskipun dari luar terkesan brutal dan kasar, namun dalam hatinya ia sangat mencintai ibunya dan ia juga begitu menjaga perasaan orang disekitarnya. Graziano mencoba untuk lepas dari dunia kriminal setelah ibunya menjenguknya dipenjara, menangis karena ia merasa tidak sanggup lagi mempertahankan kasih-sayangnya pada Graziano. Sekeluarnya dari penjara, ia masuk sebuah tempat dimana orang bisa bertinju dan mendapatkan uang. Graziano selalu menang, mendapatkan uang, namun berat badannya turun. Ternyata Graziano selalu memberikan uang tersebut untuk ibunya. Ketika ia sudah menjadi petinju terkenal, ia tidak mau menjual nama bekas temannya yang telah mengancam dirinya untuk menyerah pada sebuah pertandingan. Graziano memilih untuk bungkam, meskipun karena hal itu ia harus kehilangan ijin bertinjunya.
Namun, meskipun ia memiliki hati yang baik, Graziano menjadi buas di atas ring. Adegan final-fight antara Graziano dan Tony Zale digambarkan begitu seru dengan Graziano berusaha mati-matian untuk memenangkan pertandingan tersebut. Meskipun pada awalnya Graziano terdesak, ia akhirnya memenangkan pertandingan tersebut. Film ditutup dengan adegan Graziano dan teman-temannya konvoi melewati daerah tempat-tinggalnya dengan penduduk sekitar menyorakinya bagai seorang pahlawan. Dalam keriuhan tersebut, Graziano berkata pada istrinya bahwa suatu saat ia akan kehilangan segalanya, gelar dan tinjunya, namun ia tidak akan kehilangan hal yang lebih penting dari itu, yakni istrinya dan orang-orang yang ia cintai.
Film ini adalah sebuah film drama kehidupan seorang petinju yang indah, tentang seorang pria yang ingin berubah dari jahat menjadi baik, yang terlihat kasar namun berhati baik. Kedua kalinya saya menonton film ini, saya mendapati film ini semakin menarik untuk ditonton.
No comments:
Post a Comment