Judul: Panic in the Streets|Tahun-rilis: 1950|Produser: Sol Siegel|Sutradara: Elia Kazan|Penulis: Richard Murphy, Daniel Fuchs|Sinematografer: Joseph MacDonald|Pemain: Richard Widmark, Paul Douglas, Barbara Be Geddes, Jack Palance, Zero Mostel|Durasi: 96 menit
------------------------------------------------
“Can’t play no more...I’m sick. I gotta quit!”
Kata seorang pria yang terlihat pucat, sedang bermain kartu bersama kenalannya. Sesaat setelah itu, ia ditembak karena dikira mencoba untuk lari dari permainan, ia pun mati. Yang tidak diketahui adalah orang tersebut mengidap suatu virus mematikan pneumonia yang bisa menular. Clint Reed (diperankan Richard Widmark), adalah seorang ahli kesehatan militer. Ia sedang mengambil cuti dari pekerjaannya ketika telepon berdering, sebuah panggilan darurat mengenai penemuan mayat pria yang mati malam sebelumnya. Reed menemukan bahwa orang tersebut terinfeksi virus mematikan. Dengan gesit ia memberikan anti-virus pada semua orang yang berhubungan dengan mayat tersebut. Namun masih ada orang yang kemungkinan besar terjangkit virus tersebut dan belum disembuhkan, pembunuh dari pria itu. Film bercerita mengenai pencarian pria tersebut yang harus ditemukan dalam kurun waktu 48 jam sebelum virus tersebut memakan korban.
Clint Reed and his son |
An uncomfortable first meeting of Police Capt. Warren and Reed |
Hubungan Warren dan Reed pun menarik untuk diikuti. Pada awal pertemuan mereka, dalam sebuah rapat, Reed dengan begitu agresif menyerang Warren karena ia meragukan cerita Reed. Hubungan pribadi keduanya dimulai begitu canggung, dengan Reed yang mencoba untuk menghindari bertatap-muka dengan Warren karena merasa telah berlebihan dalam menyerang dirinya. Namun, diakhir film, setelah mereka menemukan (ya, tentu saja film berakhir dengan bahagia!), keduanya tersenyum hangat diselingi obrolan, dan di akhiri jabat-tangan layaknya dua orang sahabat-erat.
Warren and Reed has become friends at the end of the film |
Orang yang mereka cari adalah seorang pria bernama Blackie (diperankan oleh Jack Palance). Tubuhnya tinggi dan kurus, namun jauh dari terkesan lemah, tangannya yang besar seolah bisa meremas siapapun dengan mudah, wajah menyeramkan dan mengancam, sifatnya intimidatif seperti Lord Voldemort. Dengan pembawaannya tersebut, ia menguasai dua rekan komplotannya, Poldi(diperankan Guy Tromajan) dan Fitch(diperankan Zero Mostel). Keduanya ia kuasai atas dasar rasa takut mereka pada Blackie. Berbeda dengan lawan protagonisnya, Blackie adalah karakter yang sepenuhnya jahat. Tindak-tanduknya buruk. Ia hanya berpura-pura baik pada orang disekitarnya. Ia memperlakukan mama-Poldi dengan baik-hati, hanya karena ia menginginkan sesuatu dari anaknya. Ia juga memanggil seorang dokter untuk Poldi yang kali itu sakit karena telah terinfeksi, dengan alasan karena Blackie membutuhkan informasi tentang harta yang Blackie kira disembunyikan Poldi. Ia membunuh seorang kawan-lama Pete, seorang penjaga pabrik, setelah Pete mengetahui bahwa para polisi mengejar Blackie.
Di samping jalannya cerita mengenai petualangan Reed menemukan Blackie, cerita juga mengikuti kehidupan keluarganya. Reed yang pada awal film sedang menjalani cuti, terganggu dari kehidupannya sebagai seorang ayah ketika tugas memanggil dirinya. Pada akhir film, setelah Reed menyelesaikan kasusnya, ia kembali kepada keluarganya, ia kembali pada pelukan istrinya (yang diperankan oleh Barbara Bel Geddes, ....hmm, funny-name).
Barbara Bel Geddes as Reed's wife |
Jadi sumbu film ini sebenarnya adalah keluarga. Istrinya, well...so pretty and sweet, I hope my wife will be the kind of her. Pertama, ia mencintai suaminya (biar tidak membayangkan istri yang tidak tahu berterima-kasih atau suka berselingkuh,hehe). Ia adalah istri ideal(bagi saya, mungkin) yang mendukung apa yang dilakukan oleh suaminya. Hubungan keduanya pun layaknya suami-istri, ada romantisme dan pertengkaran. Namun semuanya memiliki kehangatan sebuah keluarga. Ada ego dirinya, begitu pula suaminya, ada kesulitan dan kebahagiaan, namun semuanya berakhir dengan baik karena keduanya saling mencintai.
Semua karakter tersebut diperankan secara luar-biasa oleh para pemainnya. Tentu dengan menggaris-bawahi nama Richard Widmark, karena performanya yang menurut saya sangat-baik dan menawan. Namun selain karakterisasi, film ini juga dikemas dengan cara yang menarik untuk dibahas.
Gabungan dansa dan aksi para pemerannya, teknik editing, dan lighting dalam sebuah adegan pembunuhan yang dilakukan Blackie terhadap pria yang ia kira mencoba melarikan diri setelah menang bermain kartu dengannya. Adegan penting yang sekaligus gimmick dari film ini adalah adegan paling berkesan dari film ini, 3 – 4 menit setelah film berjalan, dan semuanya diambil dalam satu take!
Early in the shot where the sick-guy is running away from Blackie and his gang. |
Very beautiful movement right on this moment |
Pengambilan gambar Kazan juga, untuk pertama kalinya dan akan ia lanjutkan pada film-film dirinya paska ini, mengadaptasi cara pengambilan gambar Neo-realis (Italia). Sebagai pro-realisme, pada film-film sebelumnya Kazan mengejarnya dengan teknik akting method, sebuah teknik yang terlihat lebih realistis pada layar-film dibandingkan teknik tradisional Hollywood. Namun kali ini Kazan mendapatkan kesempatan untuk lebih mendekati realisme itu, khususnya dari aspek sinematografi. Semua adegan film ini adalah long-take, mungkin tanpa insert-shot sama sekali, dan kamera selalu bergerak, entah tracking atau panning dan tilting mengikuti pergerakan tokoh yang ada dalam frame.
Dari aspek editing pun Kazan lebih jauh mengeksplorasi cara untuk lebih mendekati realisme dengan cara membuat interaksi antara ruang on-frame dan off-frame. Suara digunakan untuk menghubungkan keduanya. Misal, adegan ketika Reed menerima telepon panggilan dari kantornya. Setelah menutup telepon, ia berbincang dengan istrinya yang sedang menemani anaknya sarapan, sementara Reed, setelah bercakap sebentar di ruang makan, berjalan ke kamarnya untuk berganti pakaian. Kamera masih mengambil gambar istri dan anaknya di ruang-makan, namun kita tetap mendengar Reed merespons percakapan istrinya dari kamar lain. Setelah beberapa saat, akhirnya kamera berpindah pada Reed yang sedang memakai dasi di kamarnya, dan ia masih bercakap-cakap dengan istrinya yang berada di ruang-makan, kita mendengar suara istrinya, namun istrinya tidak terlihat. Dengan melakukan hal ini, gambaran ruang para penonton mengenai rumah mereka menjadi semakin luas dan nyata. Yang saya maksud menjadi lebih luas adalah karena pada umumnya, sebuah adegan hanya mengambil satu setting, rasa-ruang dari penonton hanyalah pada setting tersebut. Ketika kita melihat orang bersantap-malam di sebuah restoran, setting yang dirasakan adalah kita(penonton) sedang berada di satu ruang, yakni restoran. Atau dalam film A Patch of Blue, ketika Rose-ann berlalu-lalang dalam kamar-tengah multi-guna mereka, yang dirasakan penonton adalah keberadaan mereka di satu ruang, ketika ada orang mengetuk pintu, maka yang dirasakan penonton adalah sang pengetuk pintu berasal dari luar dunia-film, setting sang pengetuk-pintu tidak terasa real dan terhubung dengan kehidupan di ruang tengah tersebut. Suara-suara yang terdengar dari ‘kamar-sebelah’, seolah menyemen, dua shot yang berbeda, menyatukan mereka menjadi satu-kesatuan yang lebih utuh.
Kazan juga sering kali menyelipkan suara klakson kapal dan kereta-api sepanjang jalannya film ini. Entah tujuannya untuk menggaris-bawahi suatu aksi atau adegan, atau sekedar menciptakan suara realita pada sebuah kota-pelabuhan, atau untuk menciptakan kesan ruang bahwa kota tersebut dekat dengan pelabuhan atau stasiun kereta, namun untuk alasan yang terakhir, saya kira hal tersebut kurang berhasil Kazan lakukan. Kesan yang didapatkan dari teknik ini lebih pada penekanan pada kejadian yang baru saja atau sedang berlangsung, dan bila itu adalah tujuan Elia Kazan, maka ia telah berhasil (meskipun saya juga tidak mengerti apa yang ingin ia tekankan). Namun kalaupun hal itu sebuah kekurangan, itu hanyalah noda kecil tak berarti dari sebuah film-besar.
No comments:
Post a Comment