Tuesday, 31 January 2012

Panic in the Streets



Judul: Panic in the Streets|Tahun-rilis: 1950|Produser: Sol Siegel|Sutradara: Elia Kazan|Penulis: Richard Murphy, Daniel Fuchs|Sinematografer: Joseph MacDonald|Pemain: Richard Widmark, Paul Douglas, Barbara Be Geddes, Jack Palance, Zero Mostel|Durasi: 96 menit

------------------------------------------------
“Can’t play no more...I’m sick. I gotta quit!”

Kata seorang pria yang terlihat pucat, sedang bermain kartu bersama kenalannya. Sesaat setelah itu, ia ditembak karena dikira mencoba untuk lari dari permainan, ia pun mati. Yang tidak diketahui adalah orang tersebut mengidap suatu virus mematikan pneumonia yang bisa menular. Clint Reed (diperankan Richard Widmark), adalah seorang ahli kesehatan militer. Ia sedang mengambil cuti dari pekerjaannya ketika telepon berdering, sebuah panggilan darurat mengenai penemuan mayat pria yang mati malam sebelumnya. Reed menemukan bahwa orang tersebut terinfeksi virus mematikan. Dengan gesit ia memberikan anti-virus pada semua orang yang berhubungan dengan mayat tersebut. Namun masih ada orang yang kemungkinan besar terjangkit virus tersebut dan belum disembuhkan, pembunuh dari pria itu. Film bercerita mengenai pencarian pria tersebut yang harus ditemukan dalam kurun waktu 48 jam sebelum virus tersebut memakan korban.

Clint Reed and his son
Berbicara film Elia Kazan, tentunya kita harus berbicara mengenai karakter tokohnya dalam film, serta akting para pemainnya. Karakter utama dalam film Kazan biasanya adalah tokoh yang multi-dimensi, tidak sepenuhnya baik atau buruk. Dengan kata lain mereka adalah tokoh yang real, nyata, manusiawi. Begitu pula dengan karakter Clint Reed. Ia bukanlah seorang ayah yang bisa melakukan segalanya. Ia hanyalah seorang ayah biasa, yang memiliki kekecewaan dan kebanggaan. Pada adegan pertamanya, Reed sedang berusaha untuk men-cat sebuah furnitur yang ia lakukan dengan buruk. Ia tidak bisa melakukannya hingga anaknya mengejeknya. Pada bagian pertengahan film, ia pulang ke rumahnya dengan kondisi buruk setelah seharian usaha pencariannya yang hasilnya tidak bagus. Ia pulang membawa kekecewaan dan amarah yang ia tumpahkan pada istrinya. Namun karena sifat tidak-sempurna itulah, mungkin, kita bisa lebih terpikat dengan dirinya, kita bisa lebih mengidentifikasi diri kita dengannya karena ia tidak-sempurna. Dalam pencariannya, Reed ditemani seorang kepala polisi bernama Kapten Tom Warren (diperankan oleh Paul Douglas). Sama halnya dengan Reed, ia hanyalah kepala polisi biasa. Ketika Reed pertama kalinya bertemu dengan dirinya dalam suatu pertemuan yang membahas betapa daruratnya masalah wabah virus ini, Warren terkesan tidak mempercayai cerita Reed tanpa alasan yang jelas, memberi kesan seolah ia hanya malas mengerjakan kewajibannya. Reed terus berusaha meyakinkan Warren bahwa mereka harus melakukan tugas mereka, dan akhirnya pun Warren terbawa suasana ketika satu-per-satu ujung-benang terlihat yang mendekatkan mereka pada orang yang dicari.

An uncomfortable first meeting of Police Capt. Warren and Reed

Hubungan Warren dan Reed pun menarik untuk diikuti. Pada awal pertemuan mereka, dalam sebuah rapat, Reed dengan begitu agresif menyerang Warren karena ia meragukan cerita Reed. Hubungan pribadi keduanya dimulai begitu canggung, dengan Reed yang mencoba untuk menghindari bertatap-muka dengan Warren karena merasa telah berlebihan dalam menyerang dirinya. Namun, diakhir film, setelah mereka menemukan (ya, tentu saja film berakhir dengan bahagia!), keduanya tersenyum hangat diselingi obrolan, dan di akhiri jabat-tangan layaknya dua orang sahabat-erat.

Warren and Reed has become friends at the end of the film

Orang yang mereka cari adalah seorang pria bernama Blackie (diperankan oleh Jack Palance). Tubuhnya tinggi dan kurus, namun jauh dari terkesan lemah, tangannya yang besar seolah bisa meremas siapapun dengan mudah, wajah menyeramkan dan mengancam, sifatnya intimidatif seperti Lord Voldemort. Dengan pembawaannya tersebut, ia menguasai dua rekan komplotannya, Poldi(diperankan Guy Tromajan) dan Fitch(diperankan Zero Mostel). Keduanya ia kuasai atas dasar rasa takut mereka pada Blackie. Berbeda dengan lawan protagonisnya, Blackie adalah karakter yang sepenuhnya jahat. Tindak-tanduknya buruk. Ia hanya berpura-pura baik pada orang disekitarnya. Ia memperlakukan mama-Poldi dengan baik-hati, hanya karena ia menginginkan sesuatu dari anaknya. Ia juga memanggil seorang dokter untuk Poldi yang kali itu sakit karena telah terinfeksi, dengan alasan karena Blackie membutuhkan informasi tentang harta yang Blackie kira disembunyikan Poldi. Ia membunuh seorang kawan-lama Pete, seorang penjaga pabrik, setelah Pete mengetahui bahwa para polisi mengejar Blackie.
Blackie (Jack Palance) with two of his subordinate, Poldi and Fitch

Di samping jalannya cerita mengenai petualangan Reed menemukan Blackie, cerita juga mengikuti kehidupan keluarganya. Reed yang pada awal film sedang menjalani cuti, terganggu dari kehidupannya sebagai seorang ayah ketika tugas memanggil dirinya. Pada akhir film, setelah Reed menyelesaikan kasusnya, ia kembali kepada keluarganya, ia kembali pada pelukan istrinya (yang diperankan oleh Barbara Bel Geddes, ....hmm, funny-name).

Barbara Bel Geddes as Reed's wife

 Jadi sumbu film ini sebenarnya adalah keluarga.  Istrinya, well...so pretty and sweet, I hope my wife will be the kind of her. Pertama, ia mencintai suaminya (biar tidak membayangkan istri yang tidak tahu berterima-kasih atau suka berselingkuh,hehe). Ia adalah istri ideal(bagi saya, mungkin) yang mendukung apa yang dilakukan oleh suaminya. Hubungan keduanya pun layaknya suami-istri, ada romantisme dan pertengkaran. Namun semuanya memiliki kehangatan sebuah keluarga. Ada ego dirinya, begitu pula suaminya, ada kesulitan dan kebahagiaan, namun semuanya berakhir dengan baik karena keduanya saling mencintai.

Semua karakter tersebut diperankan secara luar-biasa oleh para pemainnya. Tentu dengan menggaris-bawahi nama Richard Widmark, karena performanya yang menurut saya sangat-baik dan menawan. Namun selain karakterisasi, film ini juga dikemas dengan cara yang menarik untuk dibahas.

Gabungan dansa dan aksi para pemerannya, teknik editing, dan lighting dalam sebuah adegan pembunuhan yang dilakukan Blackie terhadap pria yang ia kira mencoba melarikan diri setelah menang bermain kartu dengannya. Adegan penting yang sekaligus gimmick dari film ini adalah adegan paling berkesan dari film ini, 3 – 4 menit setelah film berjalan, dan semuanya diambil dalam satu take!
Early in the shot where the sick-guy is running away from Blackie and his gang.

Very beautiful movement right on this moment

Pengambilan gambar Kazan juga, untuk pertama kalinya dan akan ia lanjutkan pada film-film dirinya paska ini, mengadaptasi cara pengambilan gambar Neo-realis (Italia). Sebagai pro-realisme, pada film-film sebelumnya Kazan mengejarnya dengan teknik akting method, sebuah teknik yang terlihat lebih realistis pada layar-film dibandingkan teknik tradisional Hollywood. Namun kali ini Kazan mendapatkan kesempatan untuk lebih mendekati realisme itu, khususnya dari aspek sinematografi. Semua adegan film ini adalah long-take, mungkin tanpa insert-shot sama sekali, dan kamera selalu bergerak, entah tracking atau panning dan tilting mengikuti pergerakan tokoh yang ada dalam frame.

Dari aspek editing pun Kazan lebih jauh mengeksplorasi cara untuk lebih mendekati realisme dengan cara membuat interaksi antara ruang on-frame dan off-frame. Suara digunakan untuk menghubungkan keduanya. Misal, adegan ketika Reed menerima telepon panggilan dari kantornya. Setelah menutup telepon, ia berbincang dengan istrinya yang sedang menemani anaknya sarapan, sementara Reed, setelah bercakap sebentar di ruang makan, berjalan ke kamarnya untuk berganti pakaian. Kamera masih mengambil gambar istri dan anaknya di ruang-makan, namun kita tetap mendengar Reed merespons percakapan istrinya dari kamar lain. Setelah beberapa saat, akhirnya kamera berpindah pada Reed yang sedang memakai dasi di kamarnya, dan ia masih bercakap-cakap dengan istrinya yang berada di ruang-makan, kita mendengar suara istrinya, namun istrinya tidak terlihat. Dengan melakukan hal ini, gambaran ruang para penonton mengenai rumah mereka menjadi semakin luas dan nyata. Yang saya maksud menjadi lebih luas adalah karena pada umumnya, sebuah adegan hanya mengambil satu setting, rasa-ruang dari penonton hanyalah pada setting tersebut. Ketika kita melihat orang bersantap-malam di sebuah restoran, setting yang dirasakan adalah kita(penonton) sedang berada di satu ruang, yakni restoran. Atau dalam film A Patch of Blue, ketika Rose-ann berlalu-lalang dalam kamar-tengah multi-guna mereka, yang dirasakan penonton adalah keberadaan mereka di satu ruang, ketika ada orang mengetuk pintu, maka yang dirasakan penonton adalah sang pengetuk pintu berasal dari luar dunia-film, setting sang pengetuk-pintu tidak terasa real dan terhubung dengan kehidupan di ruang tengah tersebut. Suara-suara yang terdengar dari ‘kamar-sebelah’, seolah menyemen, dua shot yang berbeda, menyatukan mereka menjadi satu-kesatuan yang lebih utuh.

Kazan juga sering kali menyelipkan suara klakson kapal dan kereta-api sepanjang jalannya film ini. Entah tujuannya untuk menggaris-bawahi suatu aksi atau adegan, atau sekedar menciptakan suara realita pada sebuah kota-pelabuhan, atau untuk menciptakan kesan ruang bahwa kota tersebut dekat dengan pelabuhan atau stasiun kereta, namun untuk alasan yang terakhir, saya kira hal tersebut kurang berhasil Kazan lakukan. Kesan yang didapatkan dari teknik ini lebih pada penekanan pada kejadian yang baru saja atau sedang berlangsung, dan bila itu adalah tujuan Elia Kazan, maka ia telah berhasil (meskipun saya juga tidak mengerti apa yang ingin ia tekankan). Namun kalaupun hal itu sebuah kekurangan, itu hanyalah noda kecil tak berarti dari sebuah film-besar.

Monday, 30 January 2012

Berpetualang bersama dalam Hawk's The Thing from Another World


Judul: The Thing from Another World|Tahun-rilis: 1951|Produser: Howard Hawks|Sutradara: Chris Nyby, Howard Hawks|Penulis-skenario: Charles Lederer|Sinematografer: Russell Harlan|Genre: Horror Sci-fi|Durasi: 87 menit



Dalam salah-satu interviewnya, Quentin Tarantino, salah satu sutradara terkemuka newest-wave, memuji Howard Hawks, “There’s no Hawks’ film that I don’t enjoy.” Film-film Hawks yang melang-lang segala jenis genre, dari western, seperti Red River, hingga komedi, seperti Bringing Up Baby, adalah film yang memang nikmat untuk ditonton. Kali ini Hawks kembali membentangkan sayapnya ke genre yang unik baginya, horror. 

Hawks berkolaborasi dengan seorang sutradara baru bernama Chistian Nyby, yang pada akhirnya lebih banyak berkecimpung di dunia pertelevisian, karena itu seperti kebanyakan orang lainnya yang mengatakan bahwa, meskipun Hawks hanya 2nd director dan produser film ini, film ini banyak membawa ciri-khas Hawks yakni (yang juga kata orang lain) overlapping dialogue, smooth story telling, compressed time and space, anggap saja ini adalah film Hawks (meskipun saya sendiri disaat mengakui bahwa semua film Hawks itu bagus, kecuali satu...”Diamonds are the girls best friends...(Gentlemen Prefer Blondes)” yang ada Marilyn Monroe-nya, namun belum mengerti apa alasannya). 

sense of togetherness felt throughout the movie
The Thing versi Hawks memang kalah terkenal dari versi remake-nya John Carpenter. Saya sendiri belum menonton versi Carpenter. Yang pasti buat versi Hawks, filmnya menjadi sebuah genre horror yang unik, dimana kita lebih merasakan suasana petualangan para tokohnya yang duduk bersama menikmati kopi-hangat di tengah dinginnya cuaca kutub-utara, dan bekerja-sama untuk menaklukkan seorang monster yang diduga berasal dari planet lain. Perasaan ini adalah perasaan yang sama yang penonton rasakan ketika menonton Stagecoach-nya John Ford, atau Raider of the Lost Ark-nya Spielberg, dimana kita begitu masuk ke dalam petualangan tokohnya, merasa seolah kita ikut berpartisipasi dalam perjalanannya. Yang dirasakan bukan lagi takut, tapi seru! (karena itu ada sedikit deviasi di sini, but with a good result)

The Thing sendiri bercerita  mengenai sekelompok peneliti kutub-utara, yang suatu hari menemukan area yang menyerupai landasan sebuah pesawat yang diduga adalah UFO. Ketika mereka menyelidiki lokasi tersebut, mereka mendapati bahwa pesawat UFO tersebut terkubur di bawah es, bersama seorang makhluk asing yang diduga adalah pilot dari pesawat tersebut. Makhluk tersebut di bawa ke laboratorium masih dalam bentuk balok-es. Namun suatu saat, es tersebut mencair dan ia lepas, mengancam nyawa para peneliti yang ada di laboratorium. Salah satu peneliti menemukan bahwa makhluk itu jauh lebih maju dan cerdas dari manusia, sayangnya ia juga menjadikan manusia sebagai mangsanya. Karena itu sebelum mereka dihabisi, mereka berencana untuk menghancurkan makhluk-asing tersebut.

The team arrived at the UFO landing area


Makhluk tak bernama itu, yang selalu disebut sebagai ‘The Thing’, beberapa kali menampakkan wujud fisiknya. Sejujurnya, meskipun sudah mencoba dengan menampilkan The Thing yang berbadan besar dan kekuatannya beberapa kali di atas manusia, penampilan The Thing untuk ukuran penonton jaman sekarang, yang telah menyaksikan The Exorcist, Alien, Resident Evil, atau film-film horror lainnya, kurang menyeramkan. Tapi itu cukup bisa diterima, bahkan Murnau dengan Nosferatu-nya yang bergenre sama, lebih berkesan lucu ketimbang seram, and yet it’s still considered a classic. Lagipula, seperti yang dituliskan sebelumnya, walaupun genre film ini dikatakan horror sci-fi (dan itu benar bila dilihat dari setting dengan adanya UFO dan adanya tokoh monster), namun bagi saya film ini lebih terasa sebagai film bergenre adventure, dengan hubungan antara tokohnya yang hangat dan suara badai salju yang semakin membuat orang ingin berkumpul bersama, dan bagi saya inilah yang menjadi nilai-jual tertinggi film ini.

Ini adalah sebuah film yang sangat menghibur dan bisa dinikmati sambil bersantai. Saya sendiri menontonnya sambil terbaring di kasur karena saya sedang sakit, namun film ini begitu menarik hingga yang dulunya berencana hanya sedikit mengintip filmnya 5 – 10 menit, kebablasan hingga menit 50 dan akhirnya harus dihentikan karena mati-lampu.

***

Sunday, 29 January 2012

A Tree Grows in Brooklyn - the first feature of the legendary Elia Kazan


Judul: A Tree Grows in Brooklyn|Tahun-rilis: 1945|Produser: Louis D. Lighton|Sutradara: Elia Kazan|Penulis-skenario: Tess Slesinger, Frank Davis|Sinematografer: Leon Shamroy|Pemain: Peggy Ann Garner, Dorothy McGuire, Joan Blondell, James Dunn, Lloyd Nolan, Ted Donaldson|Genre: Drama|Durasi: 128 menit

Seorang gadis-kecil bernama Francie berkata pada gurunya yang berdiri di depan kelas menawarkan sepotong kue pie, cerita mengenai dua anak kembar yang kelaparan, yang mereka akan sangat bersyukur bila ia memberikan pie tersebut pada mereka. Ketika kelas berakhir Mrs. McDonald, nama guru tersebut, memberikan potongan kue itu pada Francie. Mrs. McDonald tahu bahwa Francie berbohong. Lalu Mrs. McDonald berkata,

“...So if we tell the truth, and write the lies they don’t become lies anymore, they become stories.”

Francie memikirkan hal itu. Sepulang sekolah, ia menunggui sebuah toko penjual pohon-natal bersama adiknya. Ketika menunggu, Ia berkata pada adiknya, “I’m going to be a writer!”

Itulah sepenggal adegan yang ada dalam film perdana sutradara legendaris Elia Kazan yang berjudul A Tree Grows in Brooklyn; sebuah film yang penuh dengan drama kehidupan sebuah keluarga miskin di Brooklyn. Film ini menceritakan dengan cukup dalam konflik internal dan eksternal tokoh-tokoh yang ada di sini; antara Francie, ayahnya, ibunya, serta adiknya; Namun, segalanya berpusat pada tokoh Francie, yang terus berusaha untuk mendapatkan pendidikan di tengah kesulitan ekonomi keluarganya.

John Nolan is especially close to his daughter, Francie
 Ayah Francie, John Nolan (diperankan oleh James Dunn), adalah ayah yang periang dan bersahabat pada semua orang. Ketika ia berjalan, ia menyapa semua orang, menebarkan kebahagiaan yang ada pada dirinya, lepas dari kesulitan hidup yang sebenarnya tiap hari ia alami. Ia bekerja sebagai seorang penyanyi-panggilan, namun kurang berhasil. Meski begitu, banyak orang menyukai dirinya karena energi yang terpancar dari dirinya. Dari dua anaknya, Francie dan Neeley, ia memiliki kedekatan yang spesial dengan Francie. Ia tak ingin Francie melihat realita sebenarnya dari kehidupan mereka agar Francie tetap bisa bermimpi dan memiliki harapan. Namun suatu hari, Katie, istrinya, mengatakan sesuatu yang begitu menyakiti hatinya, dan ia mulai kehilangan karismanya. Tak ada lagi kebahagiaan di dalam rumah keluarga Nolan. John Nolan berhenti menipu dirinya bahwa ia bahagia. Namun, ia tetap memegang harapannya pada masa-depan Francie.

Katie Nolan (diperankan oleh Dorothy McGuire) adalah istri John Nolan. Terlalu lama hidup dalam kemiskinan, perlahan, menghancurkan jiwanya. Ia berubah menjadi pribadi yang dingin. Dimulai dari ketika ia menyuruh kakaknya, Bibi Sissy (diperankan oleh Joan Blondell), untuk jangan lagi mengunjungi rumah kediamannya karena Katie merasa keberadaannya memberikan pengaruh buruk pada anak-anaknya. Lalu ia mulai menusuk hati Nolan untuk berhenti menipu dirinya dengan harapan-harapan seolah mereka akan bisa keluar dari kesulitan ekonomi mereka. Dan pada akhirnya, Katie menyakiti impian Francie ketika ia mengatakan, secara tidak sengaja, bahwa Francie harus berhenti bersekolah karena Katie mengandung bayi-baru yang mengharuskan Francie bekerja mencari uang tambahan bagi kehidupan keluarganya. Namun, dinginnya hati Katie dirasakan oleh Katie sendiri sebagai suatu energi yang asing, yang tidak sejalan dengan kata hatinya. Ibu Katie (nenek Francie) dalam satu adegan mengatakan pentingnya edukasi dalam hidup untuk memperbaiki nasib seseorang, suatu hal yang terlewatkan olehnya, oleh Katie, namun ia bersumpah bahwa hal itu tidak akan terlewatkan bagi Francie dan Neeley. Dalam kesempatan lain Katie juga mengakui kurangnya pengetahuan yang ia miliki, bahwa tak satupun buku-buku yang Francie bacakan tiap malamnya di meja makan, pernah ia sentuh.

Katie Nolan, played by Dorothy McGuire; darkness grew within her because of her 'poverty'

Neeley (diperankan Ted Donaldson) adalah adik dari Francie. Ia seorang anak laki-laki yang sedikit nakal, namun hatinya baik. Ia sering bertengkar dengan Francie. Namun dibalik itu Francie dan Neeley memiliki hubungan yang erat sebagai kakak dan adik. Berbeda dengan Francie, Neeley kurang menyukai sekolah ataupun buku. Namun setiap malam ia ikut kakaknya membacakan karya-karya Shakespeare di ruang makan.

Francie, Katie, and Neeley
Francie (diperankan oleh Peggy Ann Garner) adalah anak perempuan tertua dari pasangan Nolan. Ia sangat mencintai ayahnya, dan merasa bahwa ia adalah orang yang paling mencintainya. Karena hal itu, ketika ayahnya meninggal karena sakit, ia kecewa dan marah pada ibunya. Apalagi dalam beberapa kesempatan Francie tahu bahwa ibunya pernah menyakiti ayahnya. Berbeda dengan Neeley, Francie begitu menyukai sekolah dan ia hobi membaca buku. Orang-tuanya, terutama ayahnya, sangat mendukung dia. Ketika Francie berkata bahwa ia merasa tidak cocok berada di sekolahnya yang sekarang (yang kualitasnya kurang bagus) dan ingin pindah ke sekolah yang lebih-bagus, ayahnya langsung berusaha untuk memenuhi keinginan Francie, meskipun mereka harus memalsukan alamat mereka karena sekolah tersebut berada di lingkungan orang-kaya.

Masing-masing karakter memiliki hubungannya sendiri dengan Francie, dan mereka memiliki konflik batinnya masing-masing. Menonton film ini, kita dijauhkan dari cara berpikir klise seperti adanya orang-baik, orang-jahat, dan generalisasi lain mengenai penilaian karakter manusia. Dalam film ini kita tahu bahwa John Nolan, meskipun ia adalah karakter yang selalu terlihat ceria, namun sekali ia kecewa, ia sulit untuk kembali bangkit. Kita melihat bahwa meskipun Neeley tidak menyukai sekolah dan buku, ia memiliki hati yang baik dan bisa diandalkan. Katie, meskipun sikapnya dingin, namun kita diperlihatkan mengapa bisa bersikap demikian, karena situasilah yang membentuk dirinya menjadi seperti itu.

The frame shows the coldness of relationship between Francie and her mom after John's death

Yang saya bahas di atas adalah hal yang menarik saya dari film ini. Namun, butuh lebih dari itu untuk membuat film sebaik ini. Performa dari para pemain di film inipun sangat baik, pengarahan Kazan dari pergerakan mereka, cara mereka menyampaikan dialog mereka, ekspresi, gestur, segalanya membentuk kesan tertentu dari tiap aksi ataupun adegan. Cara berpakaian dan pembawaan Neeley dan Francie memberi gambaran tertentu bagi karakter mereka, bagaimana Neeley hampir selalu memakai topi dan Francie selalu mengepang rambutnya. Lalu dari kualitas dialog, konstruksi cerita hingga klimaks. Banyak sekali elemen film, dari yang terlihat hingga yang kasat-mata, banyak sekali hal yang bisa dipelajari dari filmnya, dan dengan hasil seperti film ini, membuktikan talenta Elia Kazan sebagai seorang sutradara.

Saturday, 21 January 2012

Jane Eyre (1943)



Judul: Jane Eyre|Tahun-rilis: 1943|Produser: William Goetz, Kenneth Macgowan|Sutradara: Robert Stevenson|Penulis-skenario: John Houseman, Aldous Huxley, Henry Koster|Pemain: Orson Welles, Joan Fontaine, Peggy Ann Garner|Sinematografer: George Barnes|Editor: Walter Thompson|Score: Bernard Herrmann|Genre: Drama|Durasi: 97 menit

Jane Eyre adalah sebuah film drama menceritakan kisah Jane Eyre yang jatuh cinta kepada tuannya, Edward Rochester. Pada versi 1943 yang disutradarai oleh Robert Stevenson, yang kebetulan namanya sering terlihat dalam acara TV Hitchcock Presents, Jane dan Rochester diperankan oleh Joan Fontaine dan Orson Welles.

Orson Welles and Joan Fontaine on the movie
Akting kedua aktor ini adalah nilai tambahan besar yang membuat film ini menarik untuk diikuti, memerankan karakter Jane dan Rochester yang dalam. Joan Fontaine memerankan Jane Eyre yang agak kaku, karena dirinya memiliki masa-kecil yang penuh dengan kesedihan dan kebencian, namun disaat yang sama kepedihan itu menjadikannya seorang wanita yang kuat. Sedangkan Welles memerankan Rochester, seorang aristokrat (atau kaya-raya) yang kejam dan tegas, kehilangan sifat kehangatan yang dulu pernah dimilikinya semenjak tragedi demi tragedi menimpanya. Selain itu dikarenakan perbedaan strata antara kedua tokoh, fase awal hubungan romantis mereka ditunjukkan secara halus. Dari segi casting dan pengarahan karakter, film ini adalah sebuah kesuksesan.

first-appearance of Edward Rochester
Dalam film ini juga memiliki banyak adegan yang bagus. Yang paling berkesan adalah adegan kemunculan pertama Edward Rochester di layar. Jane yang sedang berjalan sendirian di tengah kegelapan dan kabut, mendengar bunyi derapan kuda yang mendekat, diiringi musik Hermann(Bernard Hermann) yang membuat suasana menjadi mengancam bagi Jane, lalu seekor anjing-besar melewati Jane. Jane hampir tertabrak anjing itu, ia menghindar, lalu seorang pria dengan kudanya yang hitam meringkik, kudanya berdiri tinggi, dan musik Hermann juga menambah nilai dramatis bagi momen itu. Selain adegan itu, banyak adegan indah lainnya. Misalkan adegan ketika Adelle membangunkan Jane dari balik tirai. Atau Jane yang sama sekali tidak dipandang ketika teman-teman Rochester berkunjung ke kastilnya, menghina pekerjaan Jane, sementara Jane sedang duduk menyulam di sudut ruangan. Masih banyak lagi adegan yang sangat bagus dari film ini.
 
When Jane agreed to marry Edward
Selain itu, saya juga menyukai kualitas gambar dari film ini. Beberapa shot silhoute mengingatkan saya pada film Gone with the Wind. Beberapa adegan, seperti adegan ketika Jane menerima lamaran menikah dari Rochester disertai badai dan daun-kering yang berterbangan, atau adegan ketika Jane mendengar suara-gaib Rochester yang memanggilnya dari langit, dieksekusi dengan sangat baik.


Namun, bila dilihat secara keseluruhan, visual film ini tidaklah solid. Misalkan, ada hubungan grafis antara bagaimana pada adegan awal kita melihat Jane yang dikurung di balik sebuah pintu kayu. Pada kesempatan lain ketika Jane sudah dewasa, kita melihat istri-aib Rochester yang mengalami nasib sama dengan Jane ketika kecil, di kurung di balik sebuah pintu kayu. Persamaan grafis ini begitu jelas, sehingga idealnya ada rasa simpati yang kuat dari Jane ketika melihat istri Rochester karena istri tersebut memiliki nasib yang sama seperti dirinya dulu. Namun saya tidak merasakan itu. Atau misalnya pada adegan ketika Jane yang merasa terkekang di sekolahnya mulai bermimpi ketika melihat sebuah jalanan kosong. Kita diperlihatkan jalanan tersebut, lalu Jane mulai berkata pada temannya bahwa suatu hari ia akan menelusuri jalanan tersebut, dari London, ke Paris, hingga ke Madrid dan sebagainya. Namun ketika akhirnya Jane bisa pergi dari sekolah tersebut, visual tersebut hilang, seolah impian Jane ketika itu sudah terlupakan. Padahal adegan itu bagi saya sangat menyentuh, dan ketika adegan tersebut tidak dilanjutkan, ada rasa kecewa yang ditinggalkan.
Very early on the film. A moment before first appearance of little-Jane. She was locked the room.

Edward open the door of his wicked-wife. Jane, on his wedding-gown, was watching.

Film ini juga terlalu banyak memberikan informasi yang tidak perlu. Misalkan, dalam narasinya disebutkan bahwa kala itu adalah masa perubahan Inggris, ketika uang menentukan segalanya. Menurut saya informasi tersebut  tidaklah penting. Karena ada beberapa informasi yang tidak penting, yang kebanyakan adalah kutipan dari buku aslinya, terkadang fokus saya kepada film menghilang karena merasa informasi yang akan diberikan tidak harus semuanya saya serap. Selain hal itu, saya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa film ini terdiri dari 2 babak yang kurang-saling-berhubungan. Pada babak awal, jelas identifikasi kita tertuju pada Jane karena Jane-kecil adalah tokoh gadis-kecil yang lemah, yang dihina oleh ibu-tirinya dan disiksa oleh kepala-sekolahnya. Namun ketika memasuki babak kedua, terutama ketika ia telah bertemu dengan Rochester, identifikasi tersebut menghilang. Kita tidak lagi melihat Jane yang dulu. Mungkin memang Jane masih merupakan tokoh yang ‘berbeda’ dengan sekitarnya, namun referensi atau hubungan antara keduanya semakin menghilang, digantikan dengan kisah romansa antara Jane dan Rochester. Perhatian kita terbagi antara Jane, dan Rochester yang baru saja muncul dipertengahan film. Karena terpisahnya kedua babak ini, mungkin sebenarnya babak pertama bisa saja dihilangkan, hanya digantikan dengan intertitle yang menjelaskan masa-lalu Jane yang suram. Namun bila hal itu dilakukan, kita akan kehilangan banyak adegan indah dari masa-kecil Jane yang diperankan Peggy Ann Garner, persahabatannya dengan Helen (yang diperankan Elizabeth Taylor-kecil), kehangatan tokoh Dr. Rivers, Mrs. Reed dan anaknya yang menjengkelkan, dan banyak lagi.
Peggy Ann Garner play as little Jane Eyre.



Namun secara keseluruhan film ini adalah sebuah karya hebat. Adegan-adegannya luar-biasa, kualitas gambarnya mengagumkan, dan akting karakter-karakternya (termasuk pemeran pendukungnya) sangat baik.

Thursday, 19 January 2012

Network - THIS is madness!

******************************************************* 

Untuk menyimpulkan segalanya sebelum menjadi terlalu rumit, film ini adalah sebuah karya-besar, sebuah masterpiece lainnya dari film-film Lumet yang ada. Sejujurnya saya masih belum terlalu mengerti mengapa Lumet selalu membuat masterpiece. Style dia begitu halus, kasat-mata, namun kesan itu pasti menempel dalam diri penonton bahwa film yang baru saja disaksikan adalah sebuah film yang spesial.
William Holden as Max Schoemacher

Lumet selalu mengambil genre drama bagi filmnya. Namun drama yang ia ambil bukanlah drama-romantis yang berkutat antara seorang pria, dirinya, dan seorang (atau lebih) wanita. Drama Lumet adalah drama yang seru, actionnya drama, drama yang action ... bukan drama yang lembek, yang penuh air-mata. Drama Lumet adalah drama yang macho, yang keras.

Film Network bercerita tentang kegilaan para pekerja televisi yang hidup bersumbu-kan rating/share program mereka. Mereka hidup demi rating. Film mengambil sudut-pandang Max Schoemacher, yang diperankan William Holden, seorang veteran pekerja stasiun televisi bernama UBS. Max melihat dunia-televisi di sekelilingnya yang menggila. Ia menyaksikan teman-lamanya terbawa arus itu dan menjadi seorang karakter yang disebut juru-selamat, padahal yang ia lakukan hanyalah menyebarkan kegilaannya lewat saluran-TV yang disiarkan pada jutaan masyarakat. Ia juga melihat generasi penerusnya yang kelewat ambisius, bahkan terkesan tidak-manusiawi. Karakter Diana Christensen, yang diperankan Faye Dunaway, adalah seorang wanita 30-an yang hidup demi-rating-TV. Dalam salah satu adegan ketika ia akan bercinta dengan Max, Diana terus mengoceh tentang pekerjaannya, hingga ia naik tempat tidur dan mulai bercinta dengan Max. Diana mendesah tanda orgasme, namun mungkin ia mengalami itu bukan karena percintaannya pada Max, namun ambisinya pada tempat ia bekerja. Ia begitu gila bahkan ketika ia menawarkan suatu ide pada seorang kepala gerombolan teroris agar orang itu membuat acara baginya, kepala teroris tersebut menjawab, “What the f*ck you talking about?” Robert Duvall memerankan tokoh Frank Hackett yang obsesif. Ia adalah karakter penguasa diktator, semua perkataannya harus terlaksa tanpa kompromi. Wataknya kurang-lebih sewarna dengan Diana.
Diana Christensen during one of the scene where she realized she's unable to feel at all

Di samping performa Faye Dunaway, Robert Duvall, William Holden yang memukau, Peter Finch juga memainkan perannya sebagai Howard Beale dengan sempurna. Howard Beale seangkatan dengan Max. Namun perbedaannya Beale hanya memiliki karirnya di dunia pertelevisian, sedangkan Max memiliki keluarga. Karena itu, ketika ia tertekan karena program TV yang ia bawakan selalu mendapatkan share yang buruk dan akhirnya ia dipecat, ia kehilangan segalanya. Pada minggu-minggu terakhirnya di stasiun TV, ia berkata di depan publik bahwa ia akan menembak dirinya 2 minggu dari waktu siaran itu! Seluruh kru stasiun TV panik! Dalam beberapa saat, gedung stasiun TV tersebut dipadati wartawan yang memenuhi pintu-keluar gedung tersebut. Namun Diana melihat potensi dari kegilaan Beale. Maka Diana membuat suatu program yang mengekspos kegilaan Beale. Pada episode awal program tersebut, tak ada yang memperhatikan acara tersebut. Beale semakin frustrasi. Begitu frustrasi hingga suatu malam ia merasa telah mendapat pencerahan. Esok harinya ia datang dan menggila di depan kamera. Kata-katanya yang terkenal adalah, “I’m mad as hell! And I won’t take it anymore!” Lalu dia mulai mengeluh tentang dunia yang penuh dengan kebusukan.

Peter Finch plays Howard Beale who's actually mad.
Oke, itu sekilas cerita tentang Howard Beale. Yang membuat saya menulis paragraf khusus baginya adalah akting kegilaannya yang begitu memukau bagi saya. Dari sorotan matanya, seperti halnya kita bisa melihat emosi-liar Dix Steele dalam In a Lonely Place-nya Nicholas Ray, kita melihat mata orang yang tidak-waras, yang berbahaya, yang...pokoknya anda tidak akan mau menatap mata Howard Beale ketika ia menggila. Ada banyak adegan dimana Beale yang berorasi di depan penontonnya mengajak mereka untuk memberontak pada situasi sosial saat itu, dan adegan-adegan itu begitu membuat saya terenyuh. Dia begitu bersemangat dan pandai berkata-kata, sehingga wajar bila ia memiliki pengikut, namun jelas ia bukanlah orang yang waras! Dan lebih gila lagi adalah ia memiliki pengikut.
Robert Duvall as Frank Hackett.

Film ini juga mengungkit tentang ketidak-matangan generasi-muda pada saat itu, betapa berbedanya pandangan mereka mengenai hidup. Semua penonton acara Howard Beale adalah anak-anak muda. Semua orang yang menjadi pengikut Beale menontonnya dari rumah juga adalah generasi-muda. Dalam salah-satu adegan William Holden dengan istrinya, William berkata mengenai generasi-muda saat itu adalah generasi yang belajar tentang kehidupan dari Bugs Bunny (karakter kartun TV). Generasi-muda digambarkan, dengan mudahnya mereka terbawa hasutan Beale untuk menolak kesulitan hidup, sebagai generasi yang tidak mau menerima kenyataan bahwa ada kesusahan dibalik sisi-mata koin kesenangan. William dan istrinya menjadi contoh-ideal generasi mereka yang dalam film ini digambarkan, kecuali Beale, sebagai pasangan yang dewasa, yang memepertahankan hubungan mereka meskipun Max secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya terlibah hubungan-khusus dengan seorang wanita-muda, Diana. Sedangkan ketika William mulai pindah ke tempat-tinggal Diana, hubungan tersebut begitu rapuh, dan dengan singkat William Holden pergi dari rumah tersebut.

"What the fuck you talkin' about?"

Ironi dari film adalah cara-pandang para pekerja stasiun TV yang hanya memikirkan share/rating, namun sangking gilanya, mereka sendiri–pun menjadi berita, atau mereka membuat berita dengan cara mereka menjalankan bisnis. Pada akhir film, para petinggi stasiun TV sedang berembuk untuk membunuh Howard Beale karena acaranya ‘membunuh’ stasiun-TV tersebut namun pemilik stasiun TV tidak mau menarik Beale dari program. Suatu saat, ketika sedang on-air, 2 orang teroris menembak Beale ketika ia membawakan acaranya. Namun kematiannya digambarkan seolah hanyalah sebuah acara TV.

Maafkan saya atas pembahasan filmnya yang cetek. Banyak hal yang bisa diperdalam dari film ini, bahkan mungkin layak dibahas adegan-per-adegan, namun tidak kali ini, mungkin lain kali atau ketika ada yang merequest, dengan bantuan yang me-request tentunyaJ Sebagai kata penutup, film ini luar-biasa! (“I say goddamn!! Goddamn!!”, says Mia.)


Judul: Network|Tahun-rilis: 1976|Produser: Howard Gottfried, Fred Caruso|Sutradara: Sidney Lumet|Penulis-skenario: Paddy Chayefsky|Pemain: Faye Dunaway, William Holden, Peter Finch, Robert Duvall|Sinematografer: Owen Roizman|Durasi: 121 menit

*******************************************************

Tuesday, 17 January 2012

Tinju Newman dalam Somebody Up There Likes Me

 

Judul: Somebody Up There Likes Me|Tahun-rilis: 1956|Produser: Charles Schnee|Sutradara: Robert Wise|Pemain: Paul Newman, Pier Angeli|Penulis-skenario: Ernest Lehman| Music: Bronislau Kaper|Genre: Drama|Durasi: 114 menit

Menelusuri film awal Paul Newman, setelah film The Silver Chalice yang menurut saya sangat di-underrated oleh khalayak, Newman bermain dalam film drama Somebody Up There Likes Me yang disutradarai Robert Wise, memerankan tokoh-utama, Rocky Graziano, seorang petinju yang berjuang untuk lepas dari masa-lalunya yang kelam hingga akhirnya ia menjadi petinju profesional.

James Dean (East of Eden, Rebel without a Cause) dulunya dikabarkan adalah pilihan-pertama Wise (atau pihak studio?) sebagai pemeran Rocky. Namun, James Dean meninggal sehingga pilihan jatuh ke Paul Newman. Apakah Newman memerankannya lebih baik dari Dean? Saya tidak tahu. Namun dari dua film James Dean yang sudah saya tonton, James Dean masih sangat muda dan wajahnya agak seperti bayi, kurang cocok untuk memerankan seorang tokoh petinju. Apalagi pada awalnya film direncanakan akan di-shot berwarna. Namun siapa tahu apa yang bisa dilakukan Hollywood? Akan tetapi Paul Newman sendiri menurut saya memerankan tokohnya dengan sangat baik. Begitu pula casting istri Rocky yang dimainkan oleh Pier Angeli, yang kebetulan juga bermain dalam film perdana Newman sebelumnya. Para pemain pendukung yang lainnya pun memerankan perannya dengan luar-biasa. Sal Mineo, yang saya pernah lihat bermain di Rebel without a Cause sebagai Plato, memerankan Romolo dengan, teman ketika Graziano masih menjadi anggota geng, dengan sangat menarik. 
Titik-balik Graziano setelah bertemu ibunya.

Plotnya sedikit bercelah karena sepanjang film, film ini tidak menyinggung tentang agama atau Tuhan. Padahal judulnya Somebody Up There, dan pada shot terakhir film ketika Newman mengatakan “There’s somebody up there likes me” , kata ini menjadi semakin penting, namun siapa itu somebody tidak pernah dijelaskan. Namun secara umum plotnya menarik, mengikuti perjalanan hidup Rocky Graziano dari kecil ketika ia ditindas oleh ayahnya, kemudia berlanjut ke kehidupan penjara, momen pencerahan setelah mendengar kesedihan ibunya, hingga akhirnya ia menjadi juara kelas-menengah tinju dunia.

Untuk style Robert Wise sendiri saya tidak mampu berkata apa-apa. Dua film Robert Wise yang sudah saya tonton adalah film ini dan The Sand Pebbles (dan mungkin Helen of Troy). The Sand Pebbles bercerita tentang seorang pelaut yang tidak-peduli pada aturan-aturan lingkungannya. Mungkin ciri-khas film Robert Wise adalah karakternya yang anti-sosial, hidup dengan aturannya sendiri. Saya juga pernah membaca Robert Wise banyak membuat film noir, namun tak satupun dari film noir (konvensional, tentang detektif polisi dan wanita-penjahat) itu yang sudah saya tonton.

Namun Wise juga bukan tipe sutradara yang sekedar merekam apa yang ada di dalam skenario. Pada adegan awal, Wise menggunakan relasi-komposisi-grafis antara dua shot yang dihubungkan dengan dissolving untuk menggambarkan time-lapse antara Graziano-kecil hingga ketika ia sudah menjadi dewasa. Atau cara Wise menggambarkan bagaimana kekerasan ayahnya menyebabkan kebiasaan nakal Graziano dengan cara menghubungkan gerakan pukulan ayahnya, dengan Graziano yang memecahkan kaca sebuah toko untuk mencuri.

Wise juga membumbui filmnya dengan sedikit komedi. Misalkan adegan ketika akhirnya Graziano mulai mencoba untuk menjauhi dunia-kriminal, hanya beberapa langkah dari pintu-keluar penjara, ia dihadang oleh dua orang yang mewajibkan dirinya untuk bergabung dengan militer untuk ikut dalam PD II. Atau adegan ketika Graziano menghajar seorang tentara yang pangkatnya di atas dirinya. Atau dalam adegan lain, Graziano mencoba meyakinkan calon istrinya, Norma, bahwa tinju tidaklah sekejam yang ia bayangkan dengan cara membawanya melihat Graziano berlatih tinju ‘halus’ dengan partnernya. Lain halnya dengan Raging Bull. Film itu penuh dengan kekerasan, kesedihan, perkelahian, kekacauan, dan ketika ada adegan yang berkesan komedi, komedi tersebut tidak sepenuhnya komedi, namun ironis (saya hanya sekedar menunjukkan perbedaannya).

Karakter Graziano-pun digambarkan meskipun dari luar terkesan brutal dan kasar, namun dalam hatinya ia sangat mencintai ibunya dan ia juga begitu menjaga perasaan orang disekitarnya. Graziano mencoba untuk lepas dari dunia kriminal setelah ibunya menjenguknya dipenjara, menangis karena ia merasa tidak sanggup lagi mempertahankan kasih-sayangnya pada Graziano. Sekeluarnya dari penjara, ia masuk sebuah tempat dimana orang bisa bertinju dan mendapatkan uang. Graziano selalu menang, mendapatkan uang, namun berat badannya turun. Ternyata Graziano selalu memberikan uang tersebut untuk ibunya. Ketika ia sudah menjadi petinju terkenal, ia tidak mau menjual nama bekas temannya yang telah mengancam dirinya untuk menyerah pada sebuah pertandingan. Graziano memilih untuk bungkam, meskipun karena hal itu ia harus kehilangan ijin bertinjunya.
Pier Angeli kembali bermain sebagai kekasih Newman

Namun, meskipun ia memiliki hati yang baik, Graziano menjadi buas di atas ring. Adegan final-fight antara Graziano dan Tony Zale digambarkan begitu seru dengan Graziano berusaha mati-matian untuk memenangkan pertandingan tersebut. Meskipun pada awalnya Graziano terdesak, ia akhirnya memenangkan pertandingan tersebut. Film ditutup dengan adegan Graziano dan teman-temannya konvoi melewati daerah tempat-tinggalnya dengan penduduk sekitar menyorakinya bagai seorang pahlawan. Dalam keriuhan tersebut, Graziano berkata pada istrinya bahwa suatu saat ia akan kehilangan segalanya, gelar dan tinjunya, namun ia tidak akan kehilangan hal yang lebih penting dari itu, yakni istrinya dan orang-orang yang ia cintai.
Film ini adalah sebuah film drama kehidupan seorang petinju yang indah, tentang seorang pria yang ingin berubah dari jahat menjadi baik, yang terlihat kasar namun berhati baik. Kedua kalinya saya menonton film ini, saya mendapati film ini semakin menarik untuk ditonton.

Saturday, 14 January 2012

A Patch of Blue - more than just a love-story



Judul: A Patch of Blue|Tahun-rilis: 1965|Produser: Guy Green, Pandro Breman|Sutradara: Guy Green|Penulis-skenario: Guy Green|Sinematografer: Robert Burks|Editor: Rita Roland|Musik: Jerry Goldsmith|Durasi: 105 menit

Shelley Winters dan Sidney Poitier
A Patch of Blue bercerita tentang Selina, seorang gadis-buta yang jatuh-cinta pada seorang pria berkulit-hitam. Selina hidup dengan ibunya, Rose-ann, seorang pelacur yang kasar, dan kakeknya, yang ia panggil Ole-Pa, yang baik-hati namun tidak-berilmu. Dari kehidupannya yang dingin dan terisolasi dari dunia-luar, Selina menemukan kehangatan dan kehidupan yang baru ketika ia bertemu dengan seorang pria berkulit hitam bernama Gordon Ralfe (diperankan Sidney Poitier).

Film ini terutama menyinggung masalah sosial mengenai hubungan kulit-putih dengan ras lain, terutama kulit-hitam. Latar Selina dan Gordon berbeda dari stereotipe ras mereka pada saat itu. Selina yang ras kaukasian hidup dalam rumah yang kacau, tidak mengenal etika dan hormat. Dimana Selina dilecehkan secara fisik dan mental, namun tidak menyadarinya karena ia tidak pernah bersekolah dan buta-huruf(braille). Lain halnya dengan Gordon yang berkulit-hitam. Disaat stereotipe menyatakan bahwa kulit-hitam kurang-lebih memiliki latar-belakang seperti Selina, Gordon adalah pria berkulit hitam yang memiliki pendidikan dan berbudaya. Ia bekerja, hidup di apartemen yang layak, dan berbudi-bahasa yang baik (lebih baik dari Selina). Penilaian Selina akan Gordon juga lebih pada kepribadian Gordon karena Selina buta sehingga ia tidak menilai berdasarkan warna kulit atau penampilan fisik. Gordon-pun bisa lepas dari persepsinya akan kulit-putih karena ia mengerti bahwa meskipun Selina berkulit-putih, ia tidak akan men-judge  dirinya karena ia berkulit-hitam.
Hubungan Selina-Gordon di tengah sindiran masyarakat

Cerita ini juga didukung dengan performa luar-biasa kedua tokoh-utama, Sidney Poitier dan Shelley Winters. Shelley Winters memerankan Selina yang buta. Selina memiliki karakter campuran antara karakter seorang anak-anak namun memiliki pengalaman yang berat dan menyedihkan, bahkan begitu menyentuh bagi Gordon. Ia buta karena kesalahan Rose-ann, namun ia menganggap bahwa itu adalah kesalahan dirinya. Ia juga pernah mengalami pelecehan-seksual yang dilakukan oleh salah-satu pelanggan Rose-ann. Ia tidak(atau lebih tepatnya belum) menyadari betapa gelapnya pengalaman hidupnya, namun bisa terlihat adanya sesuatu yang ‘lain’ dari perkembangan mental Selina. Sedangkan Gordon adalah malaikat bagi Selina. Di tengah miringnya perlakuan Rose-ann dan kakeknya, Ole-Pa, pada Selina, Gordon memperlakukan Selina dengan layak. Ia memiliki kepribadian yang hangat dan hidup. Ia menularkan kehangatan dan kehidupan itu pada Selina.
Style Burks yang juga ditemui pada film Hitchcock
Selain ceritanya yang sangat-baik, Guy Green, sutradara dari film ini, juga menyelipkan adegan-adegan yang menunjukkan kualitas visualnya sebagai seorang filmmaker tanpa mengambil alih perhatian penonton dari jalannya cerita. Sebagai contoh adalah adegan sekuens-fantasi Selina ketika ia pertama-kalinya berada di taman, dimana ia tidak-lagi buta, berlari menjelajahi taman yang dalam imajinasinya terlihat seperti surga. Atau dalam adegan flashback ketika Selina menceritakan bagaimana ia kehilangan penglihatannya. Selain itu, saya juga menyukai scoring dari film ini. Scorenya yang indah dibuat oleh Jerry Goldsmith. Sinematografer film ini adalah Robert Burks, yang sering berkolarborasi dengan Alfred Hitchcock. Namun style gambarnya kali ini jauh berbeda dengan yang biasa Burks lakukan dalam film Hitchcock. Ia mengambil gambar dengan style neo-realis Italia dengan banyak dilakukannya pergerakan kamera. Namun dari segi lighting, Burks memberikan sedikit kesan noir yang biasa terlihat pada film Hitchcock.