Judul: Who’s That Knockin’ at my Door
Tahun-rilis: 1967
Produser: Betzie Manoogian, Haig P. Manoogian, Joseph Weill
Sutradara: Martin Scorsese
Penulis: Martin Scorsese, Betzie Manoogian
Pemain: Harvey Keitel, Zina Bethune
Genre: Drama
Durasi: 90 menit
Film ini akan menjadi satu-satunya film Scorsese yang saya
tulis artikelnya di blog ini karena satu-satunya film miliknya yang diputar
pada dekade 60’an.
Naratifnya sendiri longgar. Filmnya terasa seperti kumpulan
film pendek yang saling berhubungan sekedarnya. Yang berharga dari film ini adalah
rasa seolah kita melihat orang dan kehidupan yang sebenarnya, realistis. Robert
de Niro sendiri berkomentar bahwa film ini benar-benar terlihat real baginya (yang kebetulan katanya
tinggal satu daerah dengan Scorsese).
Bercerita tentang JR, diperankan oleh Harvey Keitel,
mempertahankan prinsipnya sebagai seorang Katolik untuk berhubungan sebelum
menikah. Pada akhirnya, kekukuhannya mempertahankan prinsip tersebut
menyebabkan ia kehilangan kekasihnya.
Dari segi bentuk maupun naratif, film ini terasa seperti
sebuah eksperimen segala aspek film-fitur, mulai dari framing, editing,
koreografi, musik. Bila ada yang sudah menonton Hi, Mom! – nya Brian de Palma,
film ini lebih ‘eksperimental’ dari film itu.
Karena kita mengetahui bahwa Scorsese sendiri dibesarkan
secara Katolik dan bahkan sekali dalam hidupnya pernah ingin menjadi pendeta/pastur,
film ini begitu terasa seperti refleksi dari diri Scorsese ketika itu; mengenai
perasaan bersalahnya ketika ia telah menjadi pria dewasa, perasaan-bersalahnya
akan kecintaannya pada film, ataupun pendapatnya mengenai hubungan seks sebelum
nikah.
Perasaan bersalahnya, terutama pada orang-tuanya (ibunya),
terlihat pada dua adegan awal film. Adegan pertama film adalah ketika di sebuah
rumah yang sangat religius, di sana-sini terlihat atribut Bunda Maria dan
lilin, seorang ibu dengan wajah penuh kasih menyiapkan makanan bagi
anak-anaknya. Adegan selanjutnya kita diperlihatkan beberapa lelaki
remaja/dewasa, yang menurut saya adalah versi dewasa anak-anak pada adegan
pertama, sedang berkelahi satu sama lain.
Perasaan bersalahnya karena kecintaannya yang terlalu dalam
pada film terlihat pada adegan dalam sebuah pesta, seorang pria bermain-main
dengan sepucuk pistol seolah barang itu hanyalah mainan. Ketika pistol tersebut
meletus, sekuens disambung dengan poster Rio Bravo, dengan John Wayne yang
sedang menembakkan revolvernya, disambut tembakan karakter-karakter lain yang
ada di poster tersebut. Saya mengartikan adegan ini adalah tentang pemahaman
Scorsese bahwa film adalah salah satu protokol yang sebenarnya merusak
mentalitas masyarakat, mengkontaminasinya dengan kekerasan (drug, sex – dan
kalau sekarang dengan homosexuality dan pedophilia). But he still become a filmmaker anyway.
Party scene, where one guy holding his gun as if it was a toy, until eventually he really shot it |
then followed with a sequence of shots from Hawks's Rio Bravo along with many noisy gun shot's sound |
JR berusaha keras untuk melawan godaan nafsu berhubungan
seks dengan kekasihnya. Dalam satu sekuens, diperlihatkan imajinasi JR yang
membabi-buta ketika ia berhubungan intim dengan empat wanita (saya bilang empat
karena pada salah satu shot JR terlihat memegang kartu 4-hati, dimana hati
adalah lambang wanita sebagai objek seks, bukan love!). Ketika keluar dari
imajinasi tersebut, JR terlihat frustrasi.
Pertempuran tersebut berlangsung cukup lama. It’s really as
if this movie is the American version of Kurosawa’s The Quiet Duel. Terkadang
JR dalam kefrustrasiannya melampiaskannya pada wanita lain—prostitute. Namun di
depan kekasihnya, ia selalu keras menolak berhubungan seks. Pada bagian akhir
(harap bagian ini maklum kalau salah karena perhatian saya terbagi dengan hal
lain ketika itu), JR disorot sebagai tokoh yang bersalah, bukan sebagai pihak
yang benar karena dia menolak berhubungan seks. Kekasihnya langsung memutuskan
hubungan mereka ketika mendengar bahwa “JR memaafkan dirinya.” This might be a clue that Scorsese
eventually gave in with the flow, the flow of The Rolling Stones. Bagian
ini cukup mengerikan bagi saya, karena Scorsese is my last hope.
No comments:
Post a Comment