Tuesday, 26 June 2012

Who's that Knockin' at my Door (1967)


Judul: Who’s That Knockin’ at my Door
Tahun-rilis: 1967
Produser: Betzie Manoogian, Haig P. Manoogian, Joseph Weill
Sutradara: Martin Scorsese
Penulis: Martin Scorsese, Betzie Manoogian
Pemain: Harvey Keitel, Zina Bethune
Genre: Drama
Durasi: 90 menit

Film ini akan menjadi satu-satunya film Scorsese yang saya tulis artikelnya di blog ini karena satu-satunya film miliknya yang diputar pada dekade 60’an.

Naratifnya sendiri longgar. Filmnya terasa seperti kumpulan film pendek yang saling berhubungan sekedarnya. Yang berharga dari film ini adalah rasa seolah kita melihat orang dan kehidupan yang sebenarnya, realistis. Robert de Niro sendiri berkomentar bahwa film ini benar-benar terlihat real baginya (yang kebetulan katanya tinggal satu daerah dengan Scorsese).

Bercerita tentang JR, diperankan oleh Harvey Keitel, mempertahankan prinsipnya sebagai seorang Katolik untuk berhubungan sebelum menikah. Pada akhirnya, kekukuhannya mempertahankan prinsip tersebut menyebabkan ia kehilangan kekasihnya.

JR refuse to have sexual intercourse with his girlfriend

Dari segi bentuk maupun naratif, film ini terasa seperti sebuah eksperimen segala aspek film-fitur, mulai dari framing, editing, koreografi, musik. Bila ada yang sudah menonton Hi, Mom! – nya Brian de Palma, film ini lebih ‘eksperimental’ dari film itu.

Karena kita mengetahui bahwa Scorsese sendiri dibesarkan secara Katolik dan bahkan sekali dalam hidupnya pernah ingin menjadi pendeta/pastur, film ini begitu terasa seperti refleksi dari diri Scorsese ketika itu; mengenai perasaan bersalahnya ketika ia telah menjadi pria dewasa, perasaan-bersalahnya akan kecintaannya pada film, ataupun pendapatnya mengenai hubungan seks sebelum nikah. 


Perasaan bersalahnya, terutama pada orang-tuanya (ibunya), terlihat pada dua adegan awal film. Adegan pertama film adalah ketika di sebuah rumah yang sangat religius, di sana-sini terlihat atribut Bunda Maria dan lilin, seorang ibu dengan wajah penuh kasih menyiapkan makanan bagi anak-anaknya. Adegan selanjutnya kita diperlihatkan beberapa lelaki remaja/dewasa, yang menurut saya adalah versi dewasa anak-anak pada adegan pertama, sedang berkelahi satu sama lain.

Perasaan bersalahnya karena kecintaannya yang terlalu dalam pada film terlihat pada adegan dalam sebuah pesta, seorang pria bermain-main dengan sepucuk pistol seolah barang itu hanyalah mainan. Ketika pistol tersebut meletus, sekuens disambung dengan poster Rio Bravo, dengan John Wayne yang sedang menembakkan revolvernya, disambut tembakan karakter-karakter lain yang ada di poster tersebut. Saya mengartikan adegan ini adalah tentang pemahaman Scorsese bahwa film adalah salah satu protokol yang sebenarnya merusak mentalitas masyarakat, mengkontaminasinya dengan kekerasan (drug, sex – dan kalau sekarang dengan homosexuality dan pedophilia). But he still become a filmmaker anyway.

Party scene, where one guy holding his gun as if it was a toy, until eventually he really shot it
then followed with a sequence of shots from Hawks's Rio Bravo along with many noisy gun shot's sound

JR berusaha keras untuk melawan godaan nafsu berhubungan seks dengan kekasihnya. Dalam satu sekuens, diperlihatkan imajinasi JR yang membabi-buta ketika ia berhubungan intim dengan empat wanita (saya bilang empat karena pada salah satu shot JR terlihat memegang kartu 4-hati, dimana hati adalah lambang wanita sebagai objek seks, bukan love!). Ketika keluar dari imajinasi tersebut, JR terlihat frustrasi.

JR imagination of his desire

Pertempuran tersebut berlangsung cukup lama. It’s really as if this movie is the American version of Kurosawa’s The Quiet Duel. Terkadang JR dalam kefrustrasiannya melampiaskannya pada wanita lain—prostitute. Namun di depan kekasihnya, ia selalu keras menolak berhubungan seks. Pada bagian akhir (harap bagian ini maklum kalau salah karena perhatian saya terbagi dengan hal lain ketika itu), JR disorot sebagai tokoh yang bersalah, bukan sebagai pihak yang benar karena dia menolak berhubungan seks. Kekasihnya langsung memutuskan hubungan mereka ketika mendengar bahwa “JR memaafkan dirinya.” This might be a clue that Scorsese eventually gave in with the flow, the flow of The Rolling Stones. Bagian ini cukup mengerikan bagi saya, karena Scorsese is my last hope.

No comments:

Post a Comment