Wednesday, 30 May 2012

Angels with Dirty Faces (1938)


Judul: Angels with Dirty Faces
Tahun-rilis: 1938
Produser: Samuel Bischoff
Sutradara: Michael Curtiz
Penulis: Rowland Brown, John Wexley, Warren Duff
Sinematografer: Sol Polito
Pemain: James Cagney, Pat O’Brien, Ann Sheridan, Humprey Bogart, George Bancroft, The Dead End Kids
Genre: Gangster
Durasi: 97 menit

Kesimpulannya, filmnya sangat bagus. Saya tidak bosan-bosannya menonton film ini beberapa kali (karena bingung mau nulis apa untuk filmnya).

Pat O'Brien and James Cagney has very good chemistry on this film
Bersetting di Brooklyn tahun 30’an, ketika mafia meraja-lela, film ini bercerita kisah Rocky Sullivan yang meskipun berprofesi sebagai anggota mafia, namun berhati baik. Rocky beberapa kali menolong teman masa kecilnya, Pastur Jerry, teman masa kecilnya. Ketika kecil, Rocky pernah sekali menyelamatkan nyawa Jerry ketika ia terancam tertabrak kereta-api. Ketika dewasa, Rocky menyumbangkan uang hasil ‘kerja’nya kepada Jerry untuk mengembangkan gerejanya.

It's really a great achievement itself to be able to find a guy who almost identical with James Cagney

Namun tetap saja Rocky adalah seorang gangster. Ia membunuh, mencuri, melakukan kekerasan, berjudi, dan kegiatan haram lainnya. Pastur Jerry mencoba untuk mengeluarkan Rocky dari itu.

A moment where Rocky helped Jerry from getting crushed by a train

Pada akhirnya, pastur Jerry bukan hanya berhasil menyelamatkan Rocky, namun juga para anggota geng remaja yang mengidolakan Rocky sebagai pahlawan mereka.

Selain ceritanya yang sangat  baik, karakterisasinya pun mendukung. Saya sering mendengar nama James Cagney. Sepertinya baru kali ini saya menonton penampilan dia, dan saya langsung tertarik padanya. Mungkin memang dia aktor jenius, atau pengarahan sutradaranya yang brilian; saya belum tahu. James Cagney memerankan Rocky Sullivan. Meskipun sudah tidak lagi remaja, namun keremajaan itu melekat pada karakter Rocky. Jerry yang dulunya juga berandalan seperti Rocky, tumbuh lebih dewasa, lebih tenang. Sementara Rocky, karena pembawaannya, bisa lebih erat hubungannya dengan anak-anak remaja, terutama anggota geng.

Rocky has a close relationship with the Dead End Kids

Namun, bukan hanya penampilan Cagney yang memukau. Pemeran pastur Jerry, Pat O’Brien, lalu ada Ann Sheridan, dan anak-anak anggota geng remaja juga memberikan penampilan yang sangat luar biasa (kata sangat di kalimat ini bukan melebih-lebihkan). Maaf sekali karena saya tidak ingat nama anggota kelompong geng remaja itu, tapi tiap-tiap anak memberikan penampilan yang sangat baik.

Visualnya sendiri, menurut saya pribadi, kreatif. Ada beberapa shot yang masih saya ingat dan membuat saya tersenyum kala mengingatnya kembali. Salah satunya adalah trik visual yang dilakukan dengan cara menghubungkan 2 headlines koran yang berbeda, dimana satu koran bertanya semacam “Who run the government?”, lalu di koran sebelahnya ada judul yang seolah menjawab pertanyaan tersebut, “The mafia once again went to action.”, semacam itu.

Interesting visual composition where (if you can't see it) the paper on right says 'WHO RUNS OUR CITY?'

Filmnya benar-benar bagus. Kalau di harddisk saya tidak ada film lagi yang belum ditonton, saya pasti nonton filmnya lagi siang ini. Ada action, drama, suspense, it is totally recommended! Dan pastinya film ini membuat diri saya lebih tertarik lagi pada sinema Michael Curtiz.

Another interesting shot that I think assemble Rocky's position relative to father Jerry and his church' choir from after-life's perspective

PS:
Para anggota geng remaja diperankan sekelompok aktor muda yang dinamakan The Dead End Kids. Wikipedia menuliskan bahwa mereka cukup populer hingga akhir dekade 50’an.

Satu hal lagi tambahan, bahwa casting film ini sempurna! Untuk menemukan pemeran Rocky masa remaja yang mirip dengan Cagney menurut saya  sungguh luar-biasa.

Sunday, 27 May 2012

Days of Glory (1944)


Judul: Days of Glory
Tahun-rilis: 1944
Produser: Casey Robinson
Sutradara: Jacques Tourneur
Penulis-skenario: Casey Robinson
Sinematografer: Daniele Amfitheatrof
Pemain: Gregory Peck, Tamara Toumanova
Genre: War-drama
Durasi: 86 menit

Gw nonton film ini tadi siang. Untuk saat ini, ini adalah salah satu film yang bisa jadi masuk daftar film terburuk yang pernah gw tonton (ada Dick Tracy, satunya lagi gw lupa). Saya masih mencoba mencari sisi positif film ini, namun saya hingga saat ini masih belum menemukannya.

Vladimir first appearance gave an impression of strong leadership and character. Real-man!

Yang suka film lawas pasti tahu Gregory Peck. Dia adalah tokoh-utama pria dalam film ini, ketua sekelompok gerilyawan Rusia anti-Jerman bernama Vladimir. Film ini adalah film perdana Mr. Peck. Tokoh wanita diperankan oleh Tamara Toumanova, sebagai tokoh wanita yang pada awalnya terlihat elegan dan misterius, namun di akhir film, bagi saya pribadi, begitu clingy dan menjijikkan, bernama Nina.

Dari sisi akting menurut saya penampilan para pemainnya cukup baik. Namun sayang, pengarahan sutradaranya mengecewakan. Padahal saya suka satu film Tourneur lain yang pernah saya tonton, Cat People. Dari karakterisasi dan plot, film ini adalah sebuah bencana yang cukup membuat saya muak menyaksikannya.

Their eyes caught each other when they were hiding from German attack...and fell in love

Semua karakter di film ini busuk! Entah disengaja atau tidak (berhubung bercerita tentang negara rival mereka, Soviet). Anggota gerilyawan Vladimir terdiri dari orang-orang busuk. Ada pemabuk berbadan gembul yang sering bertengkar dengan temannya yang kurang-lebih berpostur sama. Ada anak kecil yang ingin menikahi kakak laki-lakinya, sifatnya juga menjengkelkan, kecil-kecil udah rewel kayak emak-emak! Ada prajurit wanita yang pada awalnya terlihat tangguh, namun tiba-tiba ngambek gara-gara Vladimir jatuh cinta pada Nina (mulai dari titik ini, plot berkembang ke arah yang sangat konyol bagi saya). Wanita ini mati ketika pergi sambil ngambek, ditembak tentara Jerman.

Tiba-tiba saja seolah perjuangan gerilyawan menjadi hal yang sepele. Ketua kelompoknya, Vladimir, bercinta dengan Nina ketika kelompoknya sedang di serang sekelompok tank Jerman, sementara ada satu anggota kelompok itu yang pendiam, mendengarkan saja percakapan romantis dua pasangan ‘konyol’ ini.
Pasangan baru ini bercumbu di mana saja. Nina yang dulunya membuat jarak dengan kelompok, tiba-tiba menjadi, berkesan, caper. Dimana saja ia muncul, dan mulai banyak bicara seperti anak kecil.

Even in front of his comrade, Vladimir's showing his romantic side
Suddenly Ms. Nina become the queen in the guerrilla hideout
Silly moment...

Vladimir, yang pada awalnya terlihat berwibawa dan bertanggung-jawab, terkesan melalaikan tugasnya sebagai ketua kelompok demi kisah cintanya pada Nina. Kalau kelompok gw dipimpin orang kayak Vladimir, harusnya kelompoknya uda bubar dari awal. Tapi ini enggak, anggota yang lain malah senyum-senyum aja melihat hubungan sepasang kekasih ini. Sementara penontonnya (saya) udah muak ngeliat kelakuan dua tokoh ini.

Adegan klimaksnya juga konyol ...tapi ga usah diceritain.

Intinya, gw sebagai penonton ga ngerasa simpati lagi ama tokoh-tokohnya. Dengan itu juga, gw ngerasa filmnya mengecewakan. Atau mungkin gw-nya aja yang tidak melihat kelebihan film ini? Atau mungkin Tourneur memang sedari awal tidak suka juga pada ceritanya, sehingga membuat filmnya sedemikian rupa. Entahlah...

PS: 
Setelah sekilas melihat lagi filmnya, saya menemukan bahwa saya suka opening film ini. Adegan ketika seorang prajurit muda dieksekusi di depan publik, namun dia malah tersenyum juga bagus.

Thursday, 24 May 2012

Air Force (1943)


Judul: Air Force
Tahun-rilis: 1943
Produser: Hal B. Wallis, Jack Warner
Sutradara: Howard Hawks
Penulis-skenario: Dudley Nichols
Sinematografer: James Wong Howe
Editor: George Amy
Genre: War Drama
Durasi: 124 menit

Seperti biasa, film Howard Hawks selalu menghibur, begitu pula dengan filmnya yang satu ini.
Meski pada title-awal nama John Garfield pertama kali keluar, namun film ini lebih menceritakan tim tempat ia bergabung dalam sebuah pesawat perang. Meski ia mendapatkan beberapa momen spesialnya sendiri, secara umum filmnya bercerita tentang kerja-sama yang terjadi antar kru dalam pesawat. Kurang-lebih hampir sama seperti film Hawks The Thing from Another World.

Sama seperti The Thing from Another World juga, dalam film ini saya merasakan kehangatan yang ada, serunya berpetualang bersama para karakter yang ada di film. Diiringi deruan mesin pesawat dan canda yang dilontarkan para pemain di film.

Tenderness of togetherness inside the war-plane Mary-Ann

Durasi filmnya cukup panjang, kurang-lebih 2 jam. Klimaks film, yang ada kira-kira 30 menit menjelang akhir film, adalah penyerangan kru pesawat, dibantu skuadron pesawat lain, membombardir kapal laut Jepang.

Adegan klimaksnya super-seru! Meski tekniknya terlihat kasar, apalagi buat ukuran penonton sekarang dimana Hawks bahkan menyelipkan footage asli dari dengan kualitas yang jelas-jelas beda dengan kualitas film yang ia gunakan, adapula dimana dia terlihat jelas menumpuk 2 film yang berbeda untuk efek ledakan dan tembakan. TAPI...buat ukuran saya itu sih bukan urusan, malah lebih seru, lebih nge-Rock! Adegan klimaksnya seru abis!

One of some real footage of war Howard Hawks slipped on the film

Ga tau ya, saya selalu bisa menikmati film-film Hawks. Filmnya seru-seru


PS: 

Sebagai tambahan, ada rumus tersendiri menulis skenario untuk film yang tokoh utamanya terdiri dari sekelompok orang karena penulis tidak bisa membahas tiap karakter secara sangat mendalam. Sebagai contoh, dalam film ini ada tokoh yang selalu menaruh foto ayahnya di dinding meja kerjanya. Dalam satu kesempatan ia bilang bahwa ia berharap ia bisa menjadi pilot sebaik ayahnya dengan nada sedih karena dimana pada kenyataannya ia jauh dari itu. And that's it! Persoalan tidak diperpanjang lagi.


A shot of squadron after they took off


Saya tidak bilang ukuran pas-tidaknya film ini sudah pas atau tidak. Tapi yang ingin diungkapkan hanyalah fakta bahwa kedalaman pembahasan tiap karakternya terbatas (untuk scene di paragraf atas, menurut saya itu terlalu dalam sehingga kita menjadi penasaran kisah tokoh tersebut). Mungkin contoh baik untuk skenario yang membahas sekelompok manusia dengan batas yang ideal adalah Apocalypse Now...mungkin. Mungkin gw cuman ngasih tau the obvious thing..well, I'm just reminding you then.

Tuesday, 22 May 2012

A Streetcar Named Desire (1951)


Judul: A Streetcar Named Desire
Tahun rilis: 1951
Produser: Charles Feldman
Sutradara: Elia Kazan
Penulis-skenario: Tennesse Williams, Oscar Saul
Sinematografer: Harry Stradling
Genre: Drama
Durasi: 122 menit

Streetcar Named Desire, ini adalah kedua kalinya saya menonton film ini. Seperti biasa, sebagai seorang yang ingin belajar teknik filmmaking, Kazan memberikan banyak pelajaran apa yang bisa digunakan dari diri pemain yang ada. Yang mengejutkan, dulu, saya merasa film ini membosankan. Namun kali ini, saya terbawa oleh apiknya akting para pemain yang ada, terutama Vivien Leigh, lalu Brando, ikut merasakan pengalaman emosi yang disampaikan oleh mereka.

Bercerita tentang Vivien Leigh, memerankan Blanche, yang memendam trauma di hatinya. Brando memerankan Stanley, seorang preman bully kampung, yang terus mengganggu ketenangan Blanche hingga Blanche semakin sakit.

First appearance of Blanche (Vivien Leigh) when she arrived at the train station asking about a car named Desire.

Brando, dengan wajah gantengnya, bisa diidentifikasi oleh masyarakat Indonesia sebagai preman kampung yang ganteng. Tapi tetap saja ia hanyalah preman kampung. He’s the bad guy(dikatakan dengan nada Tony Montana pas lagi nonton TV di jacuzzi-nya), dan Brando memainkannya dengan sangat baik. Kabarnya, akting dia di film ini merevolusi cara akting film-film Amerika pada saat itu.

Pretty much explain Blanche relationship with Stanley

Blanche, perlahan menampakkan kerapuhannya. Kekecewaan dan penyesalan Blanche diceritakan. Hingga hal-hal magis yang ia lakukan untuk mengobati penyesalannya itu (secara implisit, terlihat dari dialognya yang berbicara tentang astrology, magic, bintang, dll,). Blanche berusaha untuk menutupi umurnya yang sudah tua (menurut dia, dia atas 30-an tua). Ia menolak berada di tempat-tempat yang terang benderang. Pada adegan awal ketika ia mengobrol dengan Kim disebuah kafe, sekilas Blanche menyingkirkan lampu dinding yang menyorot ke wajahnya.

Namun dibalik usaha itu, diceritakan Blanche pernah memiliki kisah cinta yang tak pernah bisa ia lupakan ketika ia masih muda. Kisah cinta tersebut berakhir sedih, namun meninggalkan kesan yang sangat baik pada laki-laki muda. Blanche ingin mengulang kisah cinta masa mudanya, disaat waktu terus berjalan dan ia semakin tua. Itulah alasan Blanche melakukannya.

When Mitch reveals everything about Blanche.

Sekali, Blanche tampak akan menggenggam kembali harapan hidupnya ketika ia berencana menikah dengan seorang teman Stanley, Mitch. Namun Stanley menggagalkan rencana tersebut dengan menceritakan masa-lalu Blanche dimana ia dirumorkan berhubungan dengan banyak lelaki sebelum jatuh di tangan Mitch. Mitch percaya, dan membatalkan rencana pernikahan tersebut. Ini merupakan pukulan berat bagi Blanche dan iapun semakin 'sakit'.

Di samping ceritanya, filmnya juga memiliki visual yang sangat bagus, bisa dilihat dari screenshot-screenshot di atas. Dari fisik yang enak dilihat, dan hubungan visual tersebut dengan plot, this is one is really one of Kazan's best (menurut saya). I think the following screenshot is really one of the most famous and best shot(and scene) from the movie, dimana Stanley memohon pengampunan Stella yang kabur setelah dipukul oleh Stanley.

Stanley beg for his mercy to Stella


Thursday, 17 May 2012

The Fallen Idol (1948)


Judul: The Fallen Idol
Tahun-rilis: 1948
Produser: Carol Reed
Sutradara: Carol Reed
Sinematografer: Georges Perinal
Editor: Oswald Hafenrichter
Genre: Drama
Durasi: 95 menit

Film Carol Reed ketiga yang telah saya tonton (setelah The Third Man dan Odd Man Out), meyakinkan saya bahwa karya Carol Reed adalah film-film bermutu. Pada awalnya sempat pesimis ketika satu waktu saya membaca komentar seorang blogger yang mengesankan Reed hanya menghasilkan satu karya hebat, The Third Man, selebihnya hanyalah film-film biasa yang tak berkesan. Namun sekarang saya bisa bilang bahwa orang itu salah.

Film ini juga mengkukuhkan keyakinan saya bahwa yang paling penting bagi seorang sutradara adalah membuat sebuah film yang menghibur penontonnya -- Steven Spielberg, Howard Hawks, Buster Keaton, Charlie Chaplin, David Lean. Bolehlah sebuah film agak flamboyan seperti halnya film-film Martin Scorsese; namun jangan berlebihan sejauh Jean-Luc Godard (Godard bagi saya secara visual sangat banyak yang bisa dipelajari, namun cara menyampaikan ceritanya membingungkan bagi orang awam). Masyarakat sudah pusing dengan rutinitas dan masalah dalam hidup mereka dan mereka pergi ke bioskop untuk mendapat hiburan, bukan beban pikiran (kecuali tentunya bagi beberapa minoritas).
Film The Fallen Idol bercerita tentang anak seorang duta-besar, Phile (Bobby Henrey), yang mencoba melindungi pelayan rumahnya, Baines (Ralph Richardson), dari tuduhan pembunuhan oleh polisi. Namun bukannya membantu, kebohongan yang ditimbun baik dari Phile maupun Baines sendiri malahan semakin memperumit masalah dan memperbesar kecurigaan polisi pada Baines.

Bobby Henry as Phile

Ceritanya memiliki unsur suspense yang sangat baik. Misalkan, pada pra kematian korban, Nona Baines (diperankan Sonia Dresdel), kita diperlihatkan bagaimana nona Baines menguntit suaminya yang berselingkuh dengan seorang wanita lain, Julie (Michele Morgan), di rumah ayah Phile. Atau pada adegan lain, kita diperlihatkan Phile yang berusaha keras menghindari memberikan informasi apapun pada pihak kepolisian demi keamanan temannya, Baines.

Berbeda dengan suspense yang disajikan Hitchcock yang biasanya berkisar mengenai pembunuhan atau sabotase, unsur suspense dalam film ini lebih bersifat kekanak-kanakkan. Mungkin ini karena kita melihat film dari kaca-mata Phile yang naif dan terkadang terkesan dimanipulasi oleh orang-orang dewasa di sekitarnya. Ada rasa humor dari sifat anak-anak Phile – membuat film ini (mungkin) lebih cocok untuk ditonton bagi keluarga dibandingkan kebanyakan film-film Hitchcock.

Film ini juga terkadang menghadirkan sinematografi yang terkesan humoris. Misalkan, tulisan “Closed” ketika Julie meninggalkan Baines dan Phile di sebuah kafe, menginformasikan kekecewaan Julie pada Baines sehingga hatinya pun tertutup padanya.

One of the visual-joke that is hard to forget

Untuk editing, tentunya yang paling menonjol adalah editing yang dilakukan pada sekuens interogasi Phile oleh detektif Ames (Jack Hawkins). Pemotong cepat yang dilakukan berhasil memberikan efek breath-taking pada penonton yang sebenarnya adalah situasi yang sedang dialami oleh Phile.

a shot from one of the sequence on the movie where Phile was interrogated by the detective

Terakhir, menurut saya casting film ini juga sangat baik. Secara pribadi, saya memfavoritkan casting Bobby Henrey sebagai Phile yang manis, dan juga Jack Hawkins sebagai detektif yang dingin dan lihai. Baines dan nona Baines juga diperankan dengan sangat baik; begitu pula dengan Julie.

Wednesday, 9 May 2012

The Ballad of Cable Hogue (1970)


Judul: The Ballad of Cable Hogue
Tahun-rilis: 1970
Produser: Gordon T. Dawson
Sutradara: Sam Peckinpah
Penulis-skenario: John Crawford, Edmund Penney
Sinematografer: Lucien Ballard
Editor: Lou Lombardo, Frank Santillo
Pemain: Jason Robard, Stella Stevens, David Warner
Genre: Western-comedy
Durasi: 121 menit

2 – 3 hari ini adalah hari-harinya Sam Peckinpah. Setelah menonton kembali Straw Dogs yang ada Dustin Hoffman-nya, lalu menonton film Peckinpah lain berjudul Bring Me the Head of Alfredo Garcia. Satu film begitu fresh dan berkesan bagi saya, The Ballad of Cable Hogue.

Berbeda dengan film-film Peckinpah yang pernah saya tonton (selain di atas ada lagi The Wild Bunch), film The Ballad of Cable Hogue memiliki unsur komedi yang menonjol. Unsur Peckinpah yang biasanya ada terasa dari gritty-setting yang digunakan pada film, yakni di tengah gurun Amerika, dan karakter-karakter anak-anak yang antipati pada penderitaan tokoh-utama. Karakter wanita juga menampilkan nudity.

Bercerita tentang Cable Hogue (diperankan oleh Jason Robard), seorang miskin yang, setelah ditelantarkan dua orang partnernya di tengah gurun, secara tidak sengaja menemukan sebuah mata-air. Ia menjadi kaya karena penemuannya itu dan hidup bahagia. Pada akhir cerita, ia bertemu kembali dengan dua mantan partnernya dan harus memilih, di saat kebenciannya sudah memudar, apa yang akan ia lakukan pada mereka.

Pemeranan di film ini sangat baik. Jason Robard, David Warner, Stella Stevens...Mereka berhasil menciptakan karakter yang menarik.

Personally, I think Hildy (played by Stella Stevens) is pretty sweet:) But she's not just that.

Ceritanya juga solid. Pada awal film, Hogue dihadapkan sebuah pilihan untuk menembak dua partnernya atau tidak. Ia memutuskan untuk tidak menembak mereka hingga mereka berhasil merebut senapan dari tangannya dan berbalik memojokkon Hogue. Pada akhir film, Hogue kembali dihadapkan pilihan yang sama dan dengan orang yang sama pula. Dan ia kembali memilih untuk tidak memanfaatkan kesempatan menindas yang ia miliki. Untuk penjahat di film, Hogue dihina berkali-kali, “You yellow, Hogue?” karena Hogue tidak pernah menarik pelatuk senapannya ketika ia memiliki kesempatan. Namun penonton lebih tahu dari itu bahwa Hogue is so cool by doing what he does.

Hogue, when he had the chance to pull trigger on his 'partner' at the beginning of the film

At the end of the film, he once again had the same situation.

Namun yang paling ekstrem dari film ini adalah teknik editing yang benar-benar berani dari Peckinpah. Bahkan teknik editing yang tidak biasa ini digunakan untuk adegan klimaks film, dan tekniknya memang berhasil.

This is the visual style for the opening.

Ah, cukuplah!, saya membuat filmnya terasa membosankan dan kaku dengan tulisan saya. Pokoknya, filmnya memiliki kelucuan yang khas.

Oh ya, satu lagi. Ada cukup adegan yang berkesan bagi saya:

 Hogue, Hildy, dan Rev. Joshua duduk di meja makan, Hogue berkata pada Joshua bahwa ia harus membayar makanan tersebut. Joshua menjawab bahwa Hildy tidak pernah membayar. Hogue berkata bahwa hal itu dikarenakan Hildy juga tidak pernah meminta bayaran padaku (Hildy berprofesi sebagai seorang pelacur di kota), dikatakan dengan cara setengah-bercanda. Air muka Hildy berubah setelah mendengar perkataan itu.

Friday, 4 May 2012

Red Dust (1932)


Judul: Red Dust
Tahun-rilis: 1932
Produser: Hunt Stromberg, Irving Thalberg
Sutradara: Victor Fleming
Penulis-skenario: John Mahin
Sinematografi: Harold Rosson
Pengarah-artistik: Cedric Gibbons
Pemain: Clark Gable, Jean Harlow, Mary Astor, Gene Raymond
Genre: Drama
Durasi: 83 menit

Red Dust, disutradarai oleh Victor Fleming, bercerita tentang kerumitan kisah cinta seorang pria bernama Dennis Carson (Clark Gable), yang jatuh hati kepada istri salah seorang pegawainya yang baru saja tiba di perkebunan karetnya di pedalaman hutan-belantara(Vietnam) dan akhirnya mendorong sang wanita, Barbara Willis (Mary Astor), untuk berselingkuh. Pada akhirnya, Dennis melepaskan Barbara dan menjalin cinta dengan Vantine (Jean Harlow), yang secara karakter lebih sejalan dengan dirinya.

Civilized barbaric, kata yang beberapa kali disebutkan dalam dialog film, menjadi gambaran kondisi karakter-karakter yang tinggal di perkebunan terpencil yang keras itu. Dennis adalah tokoh yang telah terpengaruh dengan kondisi barbarik hutan tempat ia tinggal. Sedangkan Barbara Willis dan suaminya yang baru saja datang dari perkotaan, dengan sikap yang dianggap civilized (bertata-krama baik). Namun pada akhirnya, Barbara jatuh kepada gelapnya karakter Dennis dan jatuh cinta padanya, sehingga ia tak-ubahnya sama seperti Dennis (dan Vantine).

Barbara slowly is sucked to the 'dark-side' by cheating behind her husband with Dennis

Biasanya, saya tidak menyukai film drama romantis yang mengangkat tentang tema percintaan. Namun, film ini sedikit membuka pandangan saya sendiri, apa yang sebenarnya saya suka dan tidak. Yang tidak saya sukai adalah kisah cinta yang lembek. Maksud saya lembek adalah biasanya tokohnya adalah anak-anak muda berlatar sekolahan atau kampus. Biasanya karakter filmnya lemah, air-mata diobral sehingga harganya turun, tidak jarang malah membuat muak. 

Namun kisah cinta dalam film Red Dust berbeda. Tokoh-utamanya, Dennis, adalah tokoh yang liar. Dia suka bermain perempuan, menyentuh mereka, seorang womanizer. Dia juga bukan pria yang hidup hanya berorientasi pada cinta, bahkan bisa dibilang yang ia lakukan bukanlah cinta, namun nafsu. Hitamnya karakter Dennis, tidak membuat Vantine untuk mundur, malahan tertarik. Vantine sejenis dengan Dennis. Keduanya liar, yang digambarkan dengan jelas pada adegan ketika keduanya akhirnya bersatu dengan bercinta layaknya dua ekor binatang buas.

Dennis and Vantine are pretty much similar character from the beginning

Barbara, tokoh yang akhirnya terlena pada Dennis, terlihat lemah dan tak berdaya di samping Dennis dan Vantine. Ia hanya terlihat seperti mangsa. Beruntung Barbara memiliki suami, Gary Willis (Gene Raymond), yang meskipun memiliki pembawaan yang baik-hati, namun bisa keras di saat dibutuhkan, sehingga ia akhirnya menarik Barbara keluar dari kegelapan.

Camera-work nya bagi saya biasa saja -- sempurna, namun tidak luar-biasa. Special-effectnya keren, terutama adegan ketika perkebunan Dennis diterpa monsoon beberapa kali, seru!

Durasi introduction-nya menurut saya juga sangat baik. Penonton akan cepat dibawa masuk ke dalam film sehingga tidak merasa bosan.

Cerita film ini sangat bagus, dibungkus dengan penyampaian yang sama bagusnya. A very good film! Sejauh ini film-film Victor Fleming belum pernah mengecewakan.

Thursday, 3 May 2012

Homecoming...

Finally, back at home.
Production is over. Now's time for editing 'em!
Nobody's expecting anything from me, but I'll start posting the usual starting tomorrow anyway:)