Friday, 30 December 2011

The Third Man (1949)



Judul: The Third Man|Tahun rilis: 1949|Produser: Carol Reed, Alexander Korda, David Selznick|Sutradara: Carol Reed|Penulis: Graham Greene|Sinematografer: Robert Krasker|Editor: Oswald Hafenrichter|Music score: Anton Karas|Durasi: 104 menit

Joe Cotten sebagai Holly Martins
The Third Man bercerita tentang Holly Martins, yang berusaha menelusuri kematian teman-dekatnya. Film ini terkenal dengan musik zithernya yang dimainkan Anton Karas, kemunculan Orson Welles dalam film yang dramatis, dan monolog cuckoo-clock-nya. Kehadiran permainan zither dari Anton Karas begitu kuat di film ini hingga orang akan mengingat hampir setiap shot dalam film yang diiringi musik ini. Bahkan Roger Ebert menuliskan mengenai musik Karas pada paragraf pertama, menyebutnya sebagai kombinasi paling sempurna antara sebuah gambar dengan musik. Mayoritas kritikus pada saat itu (hingga saat ini) pada umumnya menuliskan review-positif terhadap film ini.
Saya tertarik dengan pendapat seorang kritikus luar, Bosley Crowther, seorang kritikus film NYT(New York Times,1950) menulis sebuah catatan-merah tentang film ini yang membuat saya menonton kedua kalinya untuk membuktikan pendapatnya:
“...For simple fact is that “The Third Man”, for all the awesome hoopla it has received, is essentially a first-rate contrivance in the way of melodrama—and that’s all. It isn’t a penetrating study of any European problem of the day (except that it skirts around black-markets and the sinister anomalies of the “zones”...”
Ia berkata bahwa film ini adalah film yang lepas dari kondisi Eropa pada saat itu, yang baru saja selesai perang. Padahal bila diperhatikan, meskipun film ini di permukaan hanya bercerita tentang investigasi-amatir yang dilakukan Holly, film ini esensinya ingin berkata mengenai bagaimana perang bisa mengubah drastis, bukan hanya yang kasat mata, karakter masyarakat yang ada. Misalkan pada adegan awal film ketika Holly yang depresi karena kematian temannya, berbincang dengan Major Calloway. Terlihat bagaimana seolah Holly, yang sudah 9 tahun tidak menemui temannya(yang berarti terakhir mereka bertemu adalah sebelum perang),dan Major Calloway, yang meskipun membicarakan orang yang sama, Harry Lime, namun seolah keduanya berbicara tentang dua orang yang sama-sekali berbeda. Bahkan Holly sempat ingin memukul Calloway karena dianggap ia mencemooh temannya. Di adegan lain Baron Kurtz, teman komplotan Harry Lime berkata, “I tell you, I’ve done things that would have seemed unthinkable before the war.” Dalam dua adegan ini, terlihat bagaimana perang mengubah, bukan hanya Harry Lime, namun Baron Kurtz (dan mungkin juga banyak penduduk yang lain.) Jadi pendapat Crowther yang mengatakan bahwa The Third Man adalah sebuah karya yang lepas dari realita adalah salah.
Baron Kurtz
Lepas dari segala pujian pada film ini, yang saya alami ketika menonton film ini adalah kebosanan selama 1 jam sejak film ini diputar. Opening film ini, bagian dimana seorang narator menjelaskan kondisi Vienna paska-perang, adalah pembukaan yang sempurna, menjelaskan tentang situasi Vienna paska-perang. Saya juga suka humor-visual yang ada di bagian itu. Namun setelah itu, saya mulai berangsur-angsur merasa bosan mengikuti jalannya cerita film ini. Kenapa? Itu adalah pertanyaan yang saya tanyakan setelah dua kali menonton film ini dan tersandung hal yang sama, bosan. Salah satu hal yang membuat saya bosan adalah karakter Holly Martins tidak pernah benar-benar dalam situasi yang terancam. Alasan ini sama dengan ketika saya menulis artikel mengenai alasan kebosanan saya selama 25 menit bagian awal film Foregin Correspondent-nya Sir Hitchcock. Selain itu, karakter Holly juga terkesan mengadakan investigasi yang sia-sia, tanpa ada kemajuan yang signifikan. Investigasi yang dilakukan Holly semakin absurd ketika pada akhirnya Major Calloway menunjukkan padanya aksi kejahatan yang telah dilakukan Harry, yang akhirnya membuat ia memutuskan untuk menghentikan investigasinya dan pulang ke negaranya. Pada akhirnya bahkan bisa dibilang bukan Holly yang menemukan Harry, namun sebaliknya. Keabsurdan bagian awal dan durasinya yang super-panjang, menurut saya adalah alasan mengapa bagian itu sungguh membosankan. Meskipun begitu, mungkin kebosanan itu juga yang menjadi pendongkrak histeria kemunculan-pertama Harry Lime ke dalam layar.
First appearance of Harry Lime on the screen
Kemunculan Harry Lime, diperankan oleh Orson Welles, yang legendaris, ibarat angin-segar bagi saya yang sudah kasak-kusuk mencoba mempertahankan konsentrasi pada film. Kebosanan itu mendadak hilang. Dan kebosanan itu tidak akan muncul lagi hingga akhir film. Ini dikarenakan Harry mempunyai informasi yang tidak diketahui oleh penonton, seperti mengapa ia memalsukan kematiannya dan mengapa ia mau melakukan perdagangan ilegal yang berakibat kematian banyak orang. Di saat yang sama, penonton juga disajikan dilema dari Holly, yang bergulat tentang gambaran Harry yang dulu ia kenal, dengan Harry yang sekarang; Apakah ia akan membantu Major Calloway untuk menangkap Harry, atau tidak. Setelah semua pertanyaan tersebut terjawab, penontonpun disajikan adegan luar-biasa pengejaran Harry di saluran air bawah-tanah. Semua hal menarik itu diputar pada penonton dalam durasi yang kurang dari 1 jam! Adegan pengejaran itu diakhiri dengan bunyi suara pistol Holly.
Apakah Harry Lime mati? Orson Welles sendiri yang mengatakan bahwa Harry Lime mati dalam adegan terakhir itu. Namun Harry Lime adalah karakter yang misterius. Dalam film ia hampir dianalogikan dengan kucing, yang memiliki banyak nyawa. Kematian Harry Lime di saluran air itu tidak diperlihatkan dalam layar, yang terdengar hanyalah suara tembakan Holly. Saya sempat sedikit berdebat dengan teman yang juga sudah menonton film ini mengenai hal (hal yang tidak penting iniJ), apakah Harry Lime benar-benar mati:

Dia: Lah, Harry Lime kan emang mati di sewer itu kan?
Saya: Masak, emangnya diliatin. Kan cuman dikasih bunyi pistolnya doang.
Dia: Iya juga sih.
Saya: Pas kematian-palsu pertamanya juga saksi-matanya, yang porter itu, bilang dia ga liat Harry Lime ketabrak, dia cuman denger suara rem-mobil, abis itu dia liat orang digotong.
Dia:...
Saya: Sama kan kayak adegan terakhir ini. Penonton ga ngeliat apa Harry benar-benar mati, penonton cuman ngedenger bunyi tembakan. Dengan kata lain, penonton menggantikan posisi si porter para kematian-palsu Harry yang pertama. Kalo dalam kematian pertama Harry cuman pura-pura mati, kenapa kali ini ga mungkin kematian Harry cuman rekayasa. Toh saksinya juga teman baiknya dia sendiri.
Dia:...
Holly Martins after the shot

Setelah ending itu. Kita masih disajikan sebuah adegan kelanjutan hubungan antara Anne dan Holly dengan sebuah gambar yang sangat indah. The ending part is perfect, one of the most beautiful...

The Style
Saya selalu tertarik aspek style atau teknis, dan film ini memiliki style yang cukup menarik untuk dibahas. Misalnya, visual joke yang ada di film ini, mulai dari pada bagian awal ketika narasi berkata:
“Wonderful, what a hope they had, all strangers to the place and none of them could speak the same language except a sort of smattering of German.”
visual joke tentang 4 soldiers from 4 different countries
Disaat yang sama ditampilkan gambar 4 prajurit dari 4 negara dalam satu mobil jip yang tidak berinteraksi sama sekali. Atau dalam banyak kesempatan di film, pembuat film berusaha membuat interaksi antara eksterior kota dengan karakter yang ada pada film dengan menampilkan patung-patung sebagai alat mem-frame karakter film. Namun patung-patung tersebut menampilkan ekspresi atau gesture tertentu yang membuat penonton mengaitkannya dengan karakter yang ada di layar.


Yang paling luar-biasa adalah aspek editing, terutama pada adegan pengejaran Harry di saluran air bawah tanah. Editing digunakan seperti sebuah tongkat-sihir, merekayasa ruang dan waktu sehingga menciptakan sebuah pengejaran yang berlangsung lama di sebuah lokasi yang besar. Padahal bila diperhatikan, setting saluran-air itu seringkali diambil di tempat yang sama, hanya saja sudut dan lightingnya yang diubah. Keberanian Reed melakukan eksperimen ini (lepas dari keberhasilannya menciptakan adegan finale yang real), membuktikan dirinya sebagai salah satu orang yang pantas diberikan gelar sutradara terbaik (walaupun saya tidak akan pernah sesombong itu berani bilang siapa itu sutradara terbaik dari masa kapanpun, kalo favorit masih bisa diterima.).
Meskipun bagian awalnya agak tumpul, kemunculan Orson Welles dan ending yang luar-biasa, ditambah lagi film ini memenangkan penghargaan Palm d’Or pada tahun 1949... Saya rasa film ini memang wajib tonton, setidaknya sekali seumur hidup, atau kalo ga suka, berkali-kali sampai suka(atau mabuk) (Ini Orson Welles, man! Sang Legenda,kyk judul film. Dan tahun-tahun ini adalah masa-emas aktingnya dia!)

No comments:

Post a Comment