Monday, 27 February 2012

For a Few Dollars More (1965)



 Sejarah-film menyatakan bahwa Leone melahirkan genre baru – Spaghetti Western. Di sebut demikian karena film-film tersebut, khususnya the Dollars trilogy, adalah film yang mengambil setting old-west Amerika, namun sebenarnya gambar diambil di Italia, pun sutradaranya adalah orang Italia. Karena itulah kata ‘Spaghetti’ ditambahkan di kata tersebut. Namun genre baru ini sebenarnya merambah lebih dalam dari itu.
Bila menggunakan istilah konvensional, maka bisa dibilang Spaghetti Western adalah gabungan genre western, action, dan comedy. Namun itupun kurang tepat – seperti yang terlihat pada salah satu adegan berikut:

------------Lee Van Cleef, adalah seorang koboi yang super-tough, secara fisik maupun mental. Tidak tersenyum, tidak tertawa. Raut wajahnya keras, tangguh, dan kotor dari debu-debu yang melekat pada wajahnya yang berminyak. Selalu serius, seolah dalam hidupnya tak ada yang namanya kebahagiaan, yang ada hanya derita.

Dia sedang berada di sebuah bar. Entah bagaimana ia ingin mencari masalah dengan sekelompok bandit yang terlihat sangar, yang sedang menikmati minuman mereka. Ia menghampiri bandit-bandit itu, mengeluarkan cangkok rokoknya, lalu dengan satu tangan ia menyalakan sebatang korek-api, dengan cara menggesekannya pada punggung salah satu bandit-sangar itu. 

Bandit  itu kaget, dan terhina; perlahan, dengan wajah menahan amarah, menolehkan badannya pada Van Cleef. Van Cleef menyalakan rokoknya dengan gerakan yang tetap elegan;  namun bandit itu meniup korek-api Van Cleef sebelum ia sempat menyalakan rokoknya. Van Cleef sedikit terkejut, namun tidak kehilangan kendali dirinya.

the bandit try very hard to calm himself
Bandit itu terlihat begitu kesal, dan siap membunuh Van Cleef kapanpun. Jangankan menyentuhnya, berada begitu dekat dengannya orang bisa membayangkan perasaan berada dekat dengan seekor binatang-buas. Namun Van Cleef, dengan cool, malah mengambil rokok yang terselip di bibir bandit itu...

Van Cleef keep it cool, as if taunting him, "I'm not afraid. What you gonna do about it?"

Bandit itu menahan amarahnya satu level di atas level sebelumnya. Ketika ia sudah siap menerkam, teman-temannya yang lain menghentikannya. Sementara Van Cleef masih sibuk dengan cangkoknya, seolah tidak terjadi apa-apa...

Selesai ia menyalakan cangkoknya, Van Cleef mengembalikan rokok bandit tersebut. Namun bandit itu pergi meninggalkan Van Cleef begitu saja dengan membawa kekesalannya. Setelah mereka pergi, Van Cleef hanya tersenyum.------------


Saya berdecak kagum, tersenyum, sedikit tertawa menyaksikan adegan ini. Ini adegan komedi. Namun tidak seperti komedi pada umumnya, karakter dalam film ini tidaklah bodoh (tolol) dan canggung. Penampilannya pun tidaklah konyol atau memalukan. Van Cleef adalah karakter yang tangguh nan kuat. Yang ia lakukan lebih-kurang semacam ‘hiburan’ yang dilakukan orang-kuat pada dengan cara mempermainkan yang lemah. Van Cleef tahu bahwa dirinya lebih kuat dari mereka, karena itu ia terlihat begitu percaya-diri dengan kecerobohan dan kekurang-ajarannya.

One of Spaghetti Western's trademark is its striking shot composition.
 For a Few Dollars More bercerita tentang dua orang pemburu-hadiah yang dipersatukan karena mereka sedang mengincar sekelompok bandit yang sama. Seperti prequel sebelumnya, yang kontroversi meniru cerita Yojimbo-nya Kurosawa, cerita dalam film ini bagi saya bukanlah aspek yang paling menarik dari film ini; namun cara Leone menyampaikan tiap adegan ceritanya.

Misalnya, ada adegan ketika kedua protagonisnya ditangkap oleh bandit incaran mereka. Mereka dipukuli. Biasanya dalam adegan ketika tokoh-protagonis film sedang mengalami ancaman, maka lagu yang mencekam, horror akan dimainkan. Namun dalam film ini, kita hanya mendengar suara-tawa yang dimulai dari tawa kepala-bandit itu, dan disusul dengan anggota-nya yang lain – menjadikan adegan  tersebut terkesan ironis dan tragis.

Clint Eastwood plays again as Man with no Name
Film ini penuh dengan adegan yang menarik. Drama klimaksnya juga menurut saya hebat. Dan terakhir yang harus disinggung adalah score film ini, yang dibuat oleh Ennio Morricone yang setidaknya seterkenal filmnya sendiri.

Judul: For a Few Dollars More
Tahun-rilis: 1965
Produser: Alberto Grimaldi
Sutradara: Sergio Leone
Sinematografer: Massimo Dallamano
Editor: Eugenio Alabiso, Giorgio Serrallonga
Musik: Ennio Morricone
Pemain: Clint Eastwood, Lee Van Cleef, Gian Maria Volonte
Genre: Spaghetti Western
Durasi: 132 menit

Thursday, 23 February 2012

High Noon (1953)


 Judul: High Noon
Tahun-rilis: 1953
Produser: Stanley Kramer, Carl Foreman
Sutradara: Fred Zinneman
Penulis-skenario: Carl Foreman, John W. Cunningham
Sinematografer: Floyd Crosby
Editor: Elmo Williams, Harry W. Gerstad
Pemain: Gary Cooper, Grace Kelly
Scoring: Dimitri Tiomkin
Genre: Western
Durasi: 85 menit

High Noon, dibintangi Gary Cooper sebagai Will Kane dan Grace Kelly sebagai istrinya. Dengan adanya dua bintang besar itu, sudah cukup menjadikan film ini menarik untuk ditonton. Tapi film ini menawarkan lebih dari itu. Film ini memiliki cerita yang sangat baik dan menarik untuk disimak.
Gary Cooper and Grace Kelly

Bercerita tentang Will Kane, seorang mantan sheriff, yang baru saja menikah Grace Kelly. Pada hari yang sama, ia mendapat surat bahwa penjahat yang dulu pernah ia tangkap baru saja dibebaskan -- dan ia memburu Kane. Penjahat itu bernama Frank Miller, yang dilumpuhkan oleh Kane beberapa tahun sebelumnya karena sering mengacau menebarkan teror di kota tersebut. Teman-teman Will mencoba menyuruh Will untuk kabur dari kota itu; namun ia menolak. Will mencoba mengumpulkan teman-temannya untuk bersama menghadapi Miller, namun mereka enggan melakukannya dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Akhirnya, Will harus berdiri sendiri menghadapi gerombolan Frank Miller.

Konstruksi plotnya simpel dan menarik. Simpel karena alur-waktunya linear. Kita dibawa mengikuti usaha Kane selama 2 jam mengumpulkan teman-temannya untuk menghadapi Frank Miller. Selama proses tersebut Will Kane juga mengalami hal yang sama terus menerus, yakni lepas dari jasanya sebagai pelindung kota tersebut dan fakta bahwa sebenarnya Will bukan lagi sheriff dari kota itu, ia terus-menerus dikhianati oleh teman-temannya, oleh penduduk kota itu; Film ini menceritakan kekecewaannya, kesedihannya, penghinaan yang ia dapatkan, dan bagaimana ia menanggapi semuanya itu dan terus maju menurut keyakinannya.

Will Kane deserted by his own people
Film ini juga memiliki musik dan sinematografi yang baik. Musik country yang dimainkan oleh satu orang dan satu gitar, dibuat oleh Dimitri Tiomkin, menambah kesan sepi dan kesendirian dari sang tokoh utama. Sinematografi secara umum sangat baik, lepas dari ketertarikan pribadi saya akan film hitam-putih. Shot yang paling berkesan bagi saya adalah ketika Will Kane pergi untuk menghadapi Frank Miller seolah ia menyongsong kematiannya, sementara situasi kota kosong, sepi, dan dingin kepadanya. Kamera mulai dari close-up wajah Kane yang pucat, lalu crane-shot ketika Will mulai melangkah pergi melewati kota tersebut, sementara kamera mulai menangkap situasi kota yang kosong.
Frank Miller and his friends

Saya baca di wikipedia.org bahwa film ini adalah film yang paling sering dimainkan di Gedung Putih, Amerika Serikat. Itu bisa dimengerti; film ini adalah film mengenai orang yang berjuang demi orang-lain, demi sebuah masyarakat; dan ketika akhirnya orang tersebut ditinggalkan oleh orang-orang yang ia bela, ia tetap melakukan tugasnya; ia tetap memenuhi tanggung-jawabnya.

Tuesday, 21 February 2012

Sherlock Jr. - hardworking Buster Keaton




Sebelumnya, saya pernah menonton film Buster Keaton yang lain, Our Hospitality, dan tidak terlalu terkesan. Dalam film lain, A Personal Journey with Martin Scorsese through American Movies, secara singkat Scorsese mengatakan Buster Keaton adalah seorang jenius. Tentu saja berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, kali itu saya tidak memahami maksud dari perkataan tersebut. Saya baru memahaminya setelah menonton film Keaton yang satu ini --  Sherlock Jr.

Buster Keaton as Sherlock Jr.
Bagi yang belum mengenal atau pernah mendengar mengenai Buster Keaton, dia adalah raja komedi era film-bisu tahun 1920-an, berdampingan dengan Charlie Chaplin. Namun masa-emas Keaton tidak berlanjut ketika popularitas film-suara meningkat pada akhir dekade 20-an hingga akhirnya menjadi standar teknologi pembuatan film (begitu pula dengan Chaplin). Lelucon keahliannya adalah visual-komedi -- komedi-aksi. Karakter yang ia ciptakan tidak menggunakan dialog sedikitpun. Dan ketika saya sekilas melihat cuplikan salah satu film-suara Keaton, What! No Beer?, saya terkejut hanya karena ia tidak lagi melakukan komedi-aksinya, dia hanya berbicara sepanjang waktu. Dia seperti V (dari film V for Vendetta) yang telah melepaskan topengnya; seorang pesulap yang telah mejual triknya kepada publik. Plus, dialognya tidak lucu. Dia hancur. Talentanya terbuang begitu saja. Salah satu tragedi besar dalam sejarah film.

Scorsese mengatakan bahwa ia adalah seorang jenius. Ia ibarat pesulap yang memiliki visi besar mengenai trik yang akan ia lakukan, dan ia berhasil merealisasikannya. Leluconnya sendiri sebagian besar tidak terlalu lucu bagi saya. Namun bagaimana ia melakukan lelucon itu, resiko apa yang ia hadapi ketika melakukan aksinya, itu terkadang sangat mencengangkan. Semuanya mengenai ilusi yang ia ciptakan membuatnya terlihat nyata dalam layar, tentang teknik.

One of his thrilling comedy

Resiko yang ia ambil dalam beberapa adeganpun sangat berbahaya untuk ukuran saat ini. Mungkin resiko yang ia ambil lebih besar dari apa yang dilakukan Jackie Chan. Beruntung, melalui segala resiko tersebut dan tetap hidup adalah sesuatu yang layak disyukuri oleh Keaton. 

One of the stunts he did on the film
Namun semua resiko tersebut di dasari akan visi yang ia percaya adalah visi yang layak dipertaruhkan. Visi lelucon-visual Keaton sangat mengagumkan. Dari yang grandeur, hingga aksi-aksi kecil. Dari yang saya tuliskan di atas, hingga aksi kecil ketika Keaton yang sedang mengendarai sepeda-motornya secara kebetulan berhasil melewati jembatan yang belum selesai dibangun karena dua buah truk secara kebetulan melintas di lubang jembatan tersebut (humor yang hingga sampai saat itu masih terus dieksploitasi) -- menunjukkan bahwa Keaton, dan visinya, memang sesuai dengan apa yang dikatakan Scorsese.

Judul: Sherlock Jr.
Tahun-rilis: 1924
Produser: Joseph M. Schenck
Sutradara: Buster Keaton
Penulis-skenario: Clyde Bruckman, Jean Havez, Joseph A. Mitchell
Sinematografer: Byron Houck, Elgin Lessley
Editor: Buster Keaton
Genre: Comedy
Durasi: 44 menit

Thursday, 16 February 2012

early Spielberg - Something Evil

Something Evil bercerita tentang sebuah keluarga yang pindah ke sebuah rumah di pedesaan yang ternyata berhantu.
Yang buat saya hebat dari film ini, di saat kita bisa merasakan horror dari filmnya, kita tidak diperlihatkan monster apapun sepanjang film. Kita melihat mainan-gantung bergerak-gerak tertiup angin, atau lampu-halaman yang terombang-ambing liar, namun keberadaan antagonis hanya diperlihatkan sebatas itu.

painting of the haunted house
Ini lebih baik ketimbang menampilkan monster yang jelas-jelas palsu seperti, maaf, The Thing from Another World atau The Wasp Women, yang monsternya adalah manusia yang menggunakan kostum. Bukan berarti keduanya film buruk, namun bila kita tidak menampilkan monsternya, penonton diberi kebebasan untuk membayangkan sendiri bentuk fisik monster tersebut. Dan khusus bagi filmmaker-nya, mereka tidak harus mengeluarkan uang mereka untuk membeli kostum. Great deal, kan?
the wife left alone to protect her childs

Satu lagi aspek yang sangat memperkuat kesan horor film ini adalah score-nya. Sejak awal film, ketika kita diperlihatkan gambar seorang wanita yang mengintip dari balik pintu, rantai-pintu melintang di wajahnya, lalu sebuah score yang sangat menakutkan dimainkan. Musiknya semakin lama semakin tinggi, sehingga sayapun merasa semakin takut. Beberapa menit awal film, ketika score ini sering dimainkan, saya berkali-kali menengok ke belakang, arah pintu-kamar saya, kalo – kalo... Score ini dibuat oleh Vladimir Salinsky.

Judul: Something Evil
Tahun-rilis: 1972
Produser: Alan Jay Factor
Sutradara: Steven Spielberg
Penulis-skenario: Robert Clouse
Sinematografer: Bill Butler
Editor: Allan Jacobs
Pemain: Sandy Dennis, Darren McGavin, Ralph Bellamy
Genre: Horror
Durasi: 73 menit

Monday, 13 February 2012

Laura - 1944



Laura adalah sebuah film misteri-noir yang bercerita tentang McPherson, seorang detektif yang mencoba mengungkap pembunuhan seorang wanita. Meskipun film ini mendapatkan rating yang hampir-sempurna di beberapa website terkemuka, beberapa kritikus menilai film ini cacat dari sudut pandang realita. Hal itu memang benar adanya. Namun, casting dan performa para pemainnya yang memukau bagi saya menghapus itu semua.

Waldo and Shellby who's often seen with McPherson
Dalam websitenya, filmcritic.com, Christopher Null menuliskan tentang Laura bahwa film ini tidak masuk akal. Ia menuliskan bahwa jaman-sekarang, tidak mungkin seorang detektif akan mengikut sertakan orang yang dicurigai sebagai pelaku apalagi yang berprofesi sebagai penulis untuk ikut dalam investigasi sang detektif. Dan memang hal itu yang terjadi di dalam film. McPherson mengajak dua pria yang ia curigai di beberapa kesempatan dalam investigasinya. Selain itu, pada bagian akhir, Waldo, salah satu karakter pria tersebut, ternyata membawa dua peluru shotgun di dalam sakunya, yang tentunya hal yang sangat riskan mengingat ia sering kali bersama McPherson dan ia adalah salah satu tersangka utama. Lalu ia menembakkan shotgun tersebut ke arah Laura, namun meleset; padahal jarak antar keduanya tidak lebih dari 4 meter, berada di dalam satu ruangan yang sama. Shotgun tidak melepaskan pelurunya dalam 1 garis lurus, namun menyebar. Karena itu tidak mungkin ia meleset.

The beginning of love story between Laura and Waldo Lydecker

Namun lepas dari kekurangan itu, penampilan dan performa para pemain dalam film ini begitu apik, sehingga saya bisa melupakan plausibilitas film. Laura diperankan oleh Gene Tierney, seorang wanita yang anggun dan cantik, baik secara fisik maupun kepribadian sehingga orang-orang disekitarnya pun jatuh-hati padanya, termasuk McPherson, sang detektif -- dan kecantikannya itu pula yang menjadi memotivasi pembunuhan pada dirinya. Gene Tierney memainkan peran tersebut dengan sempurna.

Dana Andrews plays the detective, McPherson

Dana Andrews memerankan tokoh detektif McPherson, seorang detektif yang fokus, kaku, dingin terhadap pekerjaannya, bukan karakter yang menyenangkan dalam realita, namun dalam film ia terlihat memiliki pesona-nya sendiri. Karakternya yang terlihat seolah heartless, hingga ia akhirnya jatuh-hati pada Laura, membuat kisah-cintanya memiliki daya-tarik tersendiri.
Discreetly McPherson has a feeling toward the woman on the painting

Dua pria yang ia jadikan tersangka adalah Waldo Lydecker, yang diperankan oleh Clifton Webb, dan Shellby Carpenter, yang diperankan oleh Vincent Price (Ini kalau tidak salah disebut Tim Burton sebagai aktor favoritnyaJ). Shellby berbadan tinggi, tegap, berumur sekitar 30an, wataknya dominan lembut dan pengasih. Sedangkan Waldo berbadan kurus, berumur 50-60an, berwatak ambisius dan licik. Keduanya memiliki momen-momen mereka sendiri dalam film, dan memerankan perannya dengan sangat baik.

Secara keseluruhan, film ini bagus. Kekurangan yang ada pada film sebenarnya sulit terlihat bila kita tidak mencoba untuk mencarinya, dan bisa tetap menikmati film ini. 


Judul: Laura|
Tahun-rilis: 1944|
Produser: Otto Preminger|
Sutradara: Otto Preminger|
Penulis-skenario: Jay Dratler, Samuel Hoffenstein, Vera Caspary (penulis novel)|
Pemain: Gene Tierney, Dana Andrews, Clifton Webb, Vincent Price|
Genre: Noir|
Durasi: 88 menit|

Friday, 10 February 2012

Scorsese Screens for February 2012



Scorsese's again published his monthly comment on TCM's program every month. This time he wrote about the significance of Antonioni's Blow-up, von Sternberg, The Archers, and others.

Here's the link for his complete writing, here.

The Wasp Woman - 1959

 
 The Wasp Women adalah sebuah film horror sci-fi yang bercerita tentang seorang wanita yang mencoba sebuah hasil eksperimen baru yang diyakini bisa membuat dirinya menjadi lebih muda. Alih-alih, sang wanita malah bermutasi menjadi seekor monster-lebah yang harus membunuh orang untuk mempertahankan hidupnya.


Film ini sangat menghibur bagi saya. Filmnya tidak banyak mikir, pengalaman yang hampir mirip dengan film yang baru-baru ini saya tonton, The Thing from Another World. Penonton tidak harus membuka matanya lebar-lebar dan mengerenyitkan dahi untuk menonton film ini, karena filmnya enteng dan menghibur (meskipun sepertinya ada juga kritik sosial yang ingin disampaikan Corman, setidaknya dari judul film ini, WASP, yg juga adalah akronim dari White Anglo Saxon Protestant.)

Lepas dari rendahnya budget yang digunakan, penampilan karakter, suara, framing, lighting, dan score yang, bagi saya, setara dengan film kelas A. Akting karakternya, terutama tokoh-utama yang diperankan oleh Susan Cabot, menampilkan akting yang sangat baik(dan juga sexually attractive). Framing dan lighting film ini pun jelas menunjukkan visi visual Corman yang setara dengan sutradara-sutradara film kelas A.

Janice Starlin, plays by Susan Cabot, appeared young after she overuse the experimental formula from the lab

Corman juga memiliki kesempatan untuk berinovasi di aspek suara, lighting, dan score; berhubung genre yang ia pilih adalah genre total-fiksi, horror sci-fi. Misalkan, penggunaan dengung lebah yang digunakan untuk menandakan keberadaan monster. Atau di aspek score, Corman menggunakan musik dinamis  untuk adegan klimaks, ketika dua tokoh-utama film bertarung dengan sang monster lebah, menghasilkan suasana liar hutan-rimba, seolah karakternya bertarung dengan hewan liar atau suku pedalaman yang primitif.

Untuk saya, this is a good movie, not a waste of time.

Judul: The Wasp Woman|
Tahun-rilis: 1959|
Produser: Roger Corman|
Sutradara: Roger Corman|
Penulis-skenario: Leo Gordon|
Genre: Horror Sci-fi|
Durasi: 73 menit|

Wednesday, 8 February 2012

Killer's Kiss - film awal Stanley Kubrick



Judul: Killer’s Kiss|Tahun-rilis: 1955|Produser: Stanley Kubrick|Sutradara: Stanley Kubrick|Penulis-skenario: Stanley Kubrick, Howard Sackler|Sinematografer: Stanley Kubrick|Editor: Stanley Kubrick|Pemain: Frank Silvera, Jamie Smith, Irene Kane|Genre: Noir|Durasi: 67 menit

Bagi para penggemar film Kubrick; 2001: Space Odyssey, Clockwork Orange, Full Metal Jacket, Dr. Strangelove, Path of Glory, The Shining, dll; Killer’s Kiss adalah sebuah film noir; fitur kedua Stanley Kubrick.

Film ini bercerita tentang seorang petinju yang karirnya telah terseok-seok, Vincent Rapallo (dimainkan oleh Frank Silvera), yang jatuh cinta kepada wanita yang ‘salah’, membawa dirinya ke dalam sebuah konflik dengan seorang bos-mafia.

Secara khusus saya menyukai penampilan tokoh wanita  dalam film ini; Gloria Price, diperankan oleh Irene Kane. Irene, meskipun terlihat sudah berumur sekitar 30an, memiliki daya-tarik sensual yang membuatnya menarik untuk dilihat. Ia juga memerankan tokohnya, yang sebenarnya, lepas dari happy-ending yang katanya adalah intervensi dari pihak studio dimana ia berlari menyongsong Vincent yang akan pergi meninggalkan segalanya, adalah seorang tokoh oportunis dan licik, dengan sangat baik.

Irene Kane as Gloria Price

Stanley Kubrick yang memiliki background sebagai seorang fotografer, memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan visi visualnya sebaik mungkin. Hasilnya secara umum kualitas gambar film ini sangat baik. Ada beberapa framing yang sangat menonjol sepanjang film; seperti shot ketika 2 orang preman membunuh seorang pria yang dikira adalah Vincent di sebuah gang kecil yang gelap – atau shot Vincent yang memperhatikan Gloria dari balik jendela kamarnya – dan ada pula pengejaran Vincent di atap gedung pada adegan terakhir yang diambil dalam dengan satu long-take. Lalu ada juga adegan pertandingan tinju yang diambil dengan sangat bagus, mungkin lebih bagus dari yang ada di Body and Soul-nya Robert Rossen atau Somebody Up There Likes Me-nya Robert Wise.

One of Kubrick's monumental shot on this film

Selain itu, kita pasti tidak akan luput dari ekperimen yang dilakukan Kubrick dalam film ini, terutama dari aspek editing. Meskipun hasilnya terlihat kasar, namun memperkuat semangat independen dari film, dan saya mencintai film-film inovatif seperti ini.

Lepas dari apa yang terlihat dilayar, ternyata, setelah membaca artikel beberapa blog dan situs mengenai film ini, drama yang ada di belakang layar tidak kalah menarik untuk diikuti. Kali itu, Kubrick bukanlah siapa-siapa. Ia kesulitan untuk mengumpulkan modal; yang akhirnya ia dapatkan sebanyak $40.000 dari pamannya. Yang lebih menarik lagi, Kubrick hidup ditopang dana pemerintah pada kali itu. Dengan kata lain, ia adalah gembel. Namun semangatnya, di saat kondisi yang ‘naas’ tersebut, untuk membuat film sangat patut diacungi jempol.

Beberapa kritikus menganggap filmnya lifeless. Namun menurut saya film noir biasanya memang memiliki karakter yang tidak-hidup. Emosi yang dirasakan saya ketika menonton film noir adalah perasaan kosong, mati-rasa (ini sih bosan namanya...). Tapi memang film noir pada umumnya bila hanya dilihat dipermukaan adalah film-film yang membosankan. Film ini menyajikan lebih dari yang biasanya diberikan pada film-film noir, membuat film ini menarik untuk disaksikan.

Thursday, 2 February 2012

Peeping Tom - Powell's fragment



Judul: Peeping Tom|Tahun-rilis: 1960|Produser: Nat Cohen|Sutradara: Michael Powell|Penulis-skenario: Leo Marks|Sinematografer: Otto Heller|Genre: Psychological Thriller|Durasi: 101 menit

Peeping Tom bercerita tentang Mark Lewis, yang memiliki ambisi untuk membuat sebuah film dokumenter yang merekam ekspresi wanita ketika menjelang detik-detik kematian mereka. Ia selalu membawa sebuah kamera handheld 8mm kemanapun ia pergi. Dan ketika kesempatan itu datang, ia akan memulai aksi pembunuhannya.

Untuk saya, yang membuat film ini berkesan adalah warnanya yang ‘kering’, akting Karlheinz Bohm sebagai tokoh Mark Lewis, ceritanya dan konflik internal Mark, serta pembunuhannya. Warna film ini berkesan unreal, seperti komik, sejenis dengan kualitas warna Bonnie & Clyde atau Family Plot, atau The Cincinnati Kid. Ditambah lagi make-up Mark yang membuat wajahnya terlihat seperti patung-lilin, namun, hasilnya memberikan efek bagus bagi penonton, menguatkan karakternya yang ‘aneh’. Akting Karlheinz Bohm memerankan Mark Lewis sangat luar-biasa. Ceritanya, perkembangan plotnya, karakter Mark, yang buat saya lebih valid, atau mungkin lebih tepatnya lebih bisa dipercaya ketimbang Norman Bates, juga menjadi unsur yang berkesan bagi saya. Pembunuhannya berkesan misterius. Bila Hitchcock sering menggunakan musik dan cutting untuk memperkuat pembunuhan dalam filmnya, Powell kebalikan darinya. Ia tidak menggunakan musik sama sekali, dan pembunuhan dilakukan dalam satu long-take POV kamera handheld Mark. Efeknya sama mencekam dengan pembunuhan yang dilakukan di film Psycho. Bahkan mungkin, terkesan lebih nyata ketimbang Psycho karena pengguanaan long-take (long-take ini banyak dipuji oleh para kritikus karena dilakukan bertahun-tahun sebelum Carpenter menggunakan teknik yang sama dalam film Halloween-nya).

Long-take, the way Powell execute the murder scenes

Karakter Mark sendiri menarik untuk diobservasi. Pada awal film, dari cara Mark melepaskan dirinya ke atas kursi ketika filmnya(film pembunuhan ia baru ia lakukan) selesai diputar, saya mengira Mark melakukan pembunuhan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Namun setelah membaca artikel Scott Ashlin, ternyata saya salah. Mark tidak menikmati pembunuhan yang ia lakukan, ia membencinya. Dan cara ia merebahkan diri ternyata mengisyaratkan perasaan kecewa dan beban mentalnya karena film yang baru saja diputar belum memuaskan dirinya (sehingga ia harus melakukan pembunuhan lain). Interpretasi ini lebih valid karena dalam dialog filmnya pun, Mark berkata mengenai kekecewaannya pada hasil rekamannya dan menginsyaratkan keengganannya untuk melakukan hal itu lagi.

Hubungan antara Mark dan kameranya pun menarik untuk dibahas. Mark selalu terlihat waspada, takut, atau bagi beberapa karakter dalam film, malu, setiap saat ia bersama kameranya. Ketika ia mau masuk ke apartemennya, ia selalu berjalan mengendap-endap seperti anak kecil yang baru saja membeli majalah porno dan tak mau terlihat oleh ibunya. Begitu pula ketika ia berada di ruang gelap, bersama semua film hasil rekamannya, kamera-kamera koleksinya yang lain, dan proyektor yang ia miliki di sana, ia terlihat gelisah, tidak-lepas, seperti memendam atau menyembunyikan sesuatu. Yang mengejutkan, ketika ia bersama wanita yang ia sayangi, Hellen, ia berubah total. Ia tersenyum, ia melompat, kegirangan, ia begitu hidup. Apalagi ketika satu waktu mereka ingin makan-malam berdua, Hellen memintanya untuk meninggalkan peralatan kameranya, ia terlihat begitu antusias dan bersemangat. Totally different person! Kamera tersebut seperti setan, seperti pedang Soul-Edge (dari video game Soul Calibur), yang bila disentuh akan mempengaruhi orang yang menyentuhnya. Hubungan ini memang terkesan aneh. Namun bila dilihat dari masa-lalu Mark ketika ia masih menjadi bahan eksperimen ayahnya, hal tersebut masuk-akal. Ketika masih kecil, kamera menjadi bagian besar dari hidup Mark karena ayahnya melakukan eksperimen kepada dirinya dengan tiap hari merekam kegiatan Mark. Namun, ayah Mark juga melakukan eksperimen-eksperimen ‘gila’ yang menyebabkan luka psikologis pada diri Mark. Luka tersebut menjadikan hubungan yang ia miliki dengan kamera menjadi tidak-sehat. Karena itu, ketika ia menjauh dari kamera, ia menjadi begitu normal.
Mark when he's around his camera

Away from his camera

Film ini menurut beberapa orang adalah film yang sangat personal bagi Powell karena mengisyaratkan hubungan yang ia miliki antara dirinya, film, dan anaknya sendiri. Pertama, kamera memberikan efek jahat bagi Mark ketika ia berada di sekitar alat tersebut. Dari sini, orang bisa menebak bahwa dalam kenyataan sesungguhnya, Powell merasa film memberikan efek negatif bagi dirinya. Namun selain itu, dalam film ada adegan pemutaran salah satu film rekaman masa-kecil Mark. Di film tersebut ada Mark-kecil dan ayahnya. Mark-kecil diperankan oleh anak Powell, dan ayah Mark diperankan oleh...Powell sendiri. Ini semakin mengeratkan hubungan personal Powell dengan film ini, bahwa ada hubungan love-hate Powell dengan dunia-film, dan imbas buruk dari hubungan tersebut kepada anaknya.

Appearance of Powell and his son, as little-Mark and his father


Karena itu, ketika banyak orang berkata bahwa film ini menjatuhkan citra Powell, menjadi film Powell yang terakhir, dan setelahnya ia kurang-lebih tidak menghasilkan film apapun, menurut saya hal itu tidak berpengaruh bagi Powell. Mungkin ia tidak memprediksi bahwa filmnya akan gagal, namun karena kesadaran dirinya tentang dia dan film, kegagalan film ini dan kehancuran karirnya paska-film ini mungkin akan ia terima dengan senang-hati. 

Bertahun-tahun setelah pemutaran perdananya yang dinilai kegagalan-mutlak, film ini dikatakan sebagai film visioner, bahwa audiens pada saat film ini pertama-kali dipertunjukkan belum-lah siap dengan film tersebut. Film ini mendahului film-film lain pada masanya, sebuah film revolusioner. Revolusioner karena Powell bereksperimen dengan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang-lain pada masanya. Mungkin, ia memang telah siap menerima kegagalan filmnya dengan segala eksperimen yang ia lakukan pada film ini. Namun, pada akhirnya Powell tidak bisa menyembunyikan kilau talentanya sebagai seorang sutradara.

--------------------------------------------------------------