Sunday, 25 March 2012

Broken Blossoms (1919)



Tahun-rilis: 1919
Judul: Broken Blossoms
Produser: D.W. Griffith
Sutradara: D.W. Griffith
Penulis-skenario: Thomas Burke, D.W. Griffith
Sinematografer: G.W. Bitzer
Pemain: Lilian Gish, Richard Barthelmess, Donald Crisp
Genre: Drama
Durasi: 90 menit

Broken Blossoms, adalah sebuah kisah tragedi-cinta dua orang yang terbuang, seorang Chinese dan seorang gadis muda. Sang Chinese pada awalnya merantau ke London untuk menyebarkan kebaikan agamanya, Buddha; sebelum akhirnya realita menghancurkan impiannya itu. Gadis muda, Lucy, adalah anak perempuan yang tidak mengenal kebahagiaan dan selalu menjadi korban kekerasan ayahnya.

the yellow man

Yang paling menarik dari film ini adalah akting Richard Barthelmess yang menjengkelkan, memerankan tokoh Chinese. Gerak-geriknya begitu aneh dan asing, dengan mata yang disipit-sipitkan, badan yang kurus, punggung yang bungkuk, dan cara berjalan yang mengendap-endap -- sangat tidak gentlemen. Meskipun cerita tidak memojokkan sang Chinese sebagai ras inferior, namun gerak-gerik itu mengisyaratkan seolah ras Chinese adalah ras asing yang aneh.

Meskipun begitu, film ini memiliki cerita yang indah. Kisah cinta antara dua ras yang berbeda, antara dua manusia yang terluka. Cerita tentang dua orang manusia yang hidup dalam dunia yang kejam, dan menemukan kebahagiaan ketika keduanya dipertemukan.

Lucy never find reason to smile, but his father threatened her to do it


Karena filmnya adalah film-bisu, kita akan menemukan kreatifitas Griffith menyampaikan pesannya melalui gestur-gestur puitis. Yang paling berkesan dari film ini tentunya adalah ketika Lucy memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia menggunakan dua jarinya untuk menarik pipinya sehingga tersungging sebuah senyuman di bibirnya. Namun, di matanya masih terlihat horror yang ditebarkan oleh ayahnya, sehingga arti senyuman itupun menjadi lain.

Wednesday, 21 March 2012

The Informer (1935)



Judul: The Informer
Tahun-rilis: 1935
Produser: John Ford
Sutradara: John Ford
Penulis-skenario: Dudley Nichols
Sinematografer: Joseph H. August
Genre: Drama-noir
Durasi: 91 menit

The Informer diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karangan Liam O’Flaherty. Film ini bercerita kisah seorang anggota gerakan kemerdekaan bawah-tanah Irlandia, Gypo Nolan, yang ‘menjual’ teman-karibnya kepada pemerintah untuk mendapatkan sejumlah uang.

Gypo Nolan mengikuti bisikan-hatinya untuk membocorkan keberadaan temannya, Frankie McPhillips, mengakibatkan kematian temannya tersebut. Gypo mendapatkan uang yang dijanjikan, namun dihantui perasaan menyesal dan bersalah akan tindakannya. Mencoba untuk melupakan penyesalannya dengan minuman-beralkohol, ia menjadi semakin ceroboh dan besar-mulut. Akhirnya ia ditangkap oleh teman-teman kelompoknya karena dianggap telah berkhianat.

Gypo saw an wanted-ad of his friend

Namun sebenarnya Gypo adalah karakter yang baik-hati. Hanya saja, meskipun badannya kuat, namun berpikir bukanlah keahliannya. Ia dimanfaatkan pihak lain sehingga melakukan kejahatan, sehingga kita lebih merasakan simpati daripada kebencian pada dirinya.

Sepanjang film diperlihatkan karakter Gypo yang terbuang dari kelompoknya. Pada bagian awal film, Gypo diperkenalkan dalam sebuah adegan gelap yang dingin. Sendirian ia berjalan menyusuri pinggiran gedung, sementara kabut menyelimuti sekitarnya. Film berlanjut hingga ia akhirnya mendapatkan uang dan mulai berpesta-pora. Namun bahkan di tengah keramaian pesta tersebut, Gypo hanya memiliki dirinya sendiri dan mencoba menutupi kesepiannya dengan berkali-kali berteriak namanya, “Gypo!”
Gypo's friend was shot and died

Film-nya benar-benar suram, hingga adegan pengampunan pada klimaks yang kental dengan kisah religius. Film sedari awal memang mengaitkan ceritanya dengan kisah pengkhianatan Yudas Iskariot. Seperti halnya Yudas, Gypo mendapatkan uang hasil pengkhianatannya, dan diburu dengan rasa bersalahnya sendiri. Namun pada akhirnya, Gypo mendapatkan pengampunan dan lepas dari kegelisahannya.

Ford menciptakan dunia yang suram dengan menggunakan semua aspek yang ada pada film. Film ini adalah dunia yang dikuasai kegelapan malam dan tiupan angin yang kesepian. Dinding - dinding kotanya yang gelap, dingin, dan besar. Lagunyapun mengalun lamban, dramatis, dan juga mengesankan unsur tragedi pada film. Penduduk kota dan aktifitas mereka juga membentuk kesan yang depresif dan gelap, mendukung proses kejiwaan Gypo yang, dibalik tawa mabuknya, semakin jatuh ke jurang kegelapan.

Tuesday, 20 March 2012

Stagecoach (1939)



Judul: Stagecoach|Tahun-rilis: 1939|Produser: Walter Wanger|Sutradara: John Ford|Penulis-skenario: Dudley Nichols, Ben Hecht|Sinematografer: Bert Glennon|Editor: Otho Lovering, Dorothy Spencer, Walter Reynolds|Pemain: John Wayne, Claire Trevor, Thomas Mitchel, John Carradine, Andy Devine, George Bancroft|Genre: Western|Durasi: 96 menit

Ketika dihadapkan dengan sebuah film yang sangat baik, saya malah menjadi bingung bagaimana membahasnya. Bingung aspek apa yang sebenarnya membuat film begitu menarik untuk diikuti; yang tentunya adalah sumasi dari segala aspek yang ada pada film -- disaat yang sama untuk memfilter semua aspek-aspek itu menjadi lebih singkat atau lebih esensial demi pembaca (atau lebih mudah dibaca). Itulah yang terjadi pada film ini, Stagecoach.

Saya menonton film ini sudah hampir satu-setengah minggu yang lalu, namun lembaran kertas tetap saja kosong. Film yang merupakan awal kolaborasi Ford-Wayne memiliki banyak hal; ada yang indah, ada yang keren,lucu, dan ada yang seru...

The famous first appearance of John Wayne on the film

Basis cerita cukup simpel. Namun simplicity itu bukanlah sebuah kekurangan, melainkan kelebihan yang membuat film lebih mudah diterima bagi khalayak umum. Film Stagecoach bercerita tentang sebuah kereta-kuda yang membawa penumpangnya dari satu kota ke kota lain, namun dirintangi oleh gerombolan suku asli-Amerika Apache.

Menuju konflik klimaks tersebut, penonton disuguhkan konflik yang terjadi antar karakter penumpang kereta yang berbeda. Ada seorang pelacur yang diusir pergi dari kota tempat ia bekerja (Dallas, diperankan Claire Trevor). Ada seorang bankir yang membawa lari sejumlah uang. Ada seorang wanita yang dalam perjalanan menemui suaminya. Ada pula seorang penjahat yang sedang dalam perjalanan balas-dendam (Ringo Kid, diperankan John Wayne).

Ringo Kid and Dallas were secluded by the rest


Perpecahan terjadi pada awal perjalanan, terutama kepada Dallas dan preasumsi orang-orang disekitarnya pada profesi yang ia ambil. Ringo Kid adalah satu-satunya orang yang tidak menghakimi dia sehingga hubungan khusus terjalin antara keduanya.

Namun seiring berjalannya film mendekati konflik-utama dengan suku Apache, para penumpang kereta ini pada akhirnya melupakan perbedaan mereka. Lepas dengan rasisme yang ditunjukkan John Ford pada filmnya (dan simpatinya pada sang prostitute), dengan menutup sebelah mata, pertempuran-besar antara para penumpang kereta yang dikejar gerombolan Apache adalah adegan yang sangat seru! Sebagai tambahan,  adegan inilah yang menjadi pegangan sutradara-baru Orson Welles dari gencarnya ‘angin’ sinematografernya, Gregg Toland, dalam film Citizen Kane mengenai pembentukan gambaran ruang film pada penonton (yang kalau diingat, terus dipegang Welles disemua filmnya).

Romantic relationship between Ringo and Dallas. Here, Ringo expressed his feeling under the moon light


Selain drama yang diberikan dari hubungan Dallas dan Ringo, hubungan antar karakter lainnya juga memperkaya genre film. Misalnya: hubungan yang ada antara si alkoholik Doc Boone dengan Mr. Peacock, menjadi sumber utama komedi pada film. Ada pula tokoh yang mengesalkan, bankir Mr. Gatewood yang munafik, bermulut-besar dengan negara, hukum, dan hak-hak yang ia miliki sebagai warga negara, di saat ia sendiri adalah seorang pencuri. Tak ada karakter yang menyukai Mr. Gatewood. Hubungan romantis seorang penjudi, Hatfield, yang memuja keanggunan salah satu penumpang kereta yang sedang mencari suaminya, Mrs. Mallory, memberi kesan romantis yang berbeda dengan yang diberikan Ringo dan Dallas.

The climax-- not the final battle


Lebih dari itu, film ini memiliki mise-en-scene yang indah. Karakterisasinya juga menarik untuk diikuti, dan pemeranannya pun sangat baik, ditopang dengan casting yang baik. Secara pribadi, saya tertarik dengan Claire Trevor. Penggunaan spesial-efek, suara, setting berhasil menciptakan suasana berpetualang di alam bebas, suasana yang saya senangi.

Sunday, 18 March 2012

Kineforum merayakan Bulan Film Nasional 2012


Tanggal 15 - 31 Maret 2012 ini, dirayakan Bulan Film Nasional. Diputar film-film besar karya sutradara terkemuka sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Film-film diputar di teater Kineforum, Studio XXI TIM, Galeri Cipta III, Teater Studio, dan Subtitles. Khusus untuk pemutaran film di Kineforum, jadwa acaranya bisa diklik di sini.

Sunday, 11 March 2012

From Here to Eternity - another pearl from Fred Zinnemann


Sebuah film yang mengesankan dari Fred Zinnemann, From Here to Eternity bercerita mengenai Robert E. Lee Prewitt (Montgomery Clift) yang dikirim ke markas tentara Pearl Harbour ketika hari mendekati bombardir Jepang pada tahun 1941. 

Montgomery Clift plays Robert E. Lee Prewitt
Bagi saya, casting film ini adalah salah satu faktor utama yang mensukseskan film ini. Montgomery Clift memerankan tokoh utama dalam film ini; Prewitt, seorang prajurit berperawakan biasa, namun memiliki mental baja. Burt Lancaster memainkan peran Sersan Milton Warden. Badannya besar, tegap, dan terlihat kuat. Ia adalah atasan Prewitt. Awalnya, ia menindas Prewitt. Namun pada akhirnya Prewitt dan Warden menjadi teman-baik. Peran Donna Reed, sebagai seorang wanita penghibur di sebuah klub bernama Alma Burke, mampu mengambil perhatian penonton manapun sejak pertama kali ia muncul di layar. Dia sungguh menawan. Deborah Kerr memerankan Karen Holmes, istri atasan Sersan Warden yang kesepian. Ia menjalin asmara dengan Sersan Warden. Aura sensualnya menarik saya untuk selalu memperhatikan wajahnya ketika ia muncul di layar (terutama adegan ketika dia berenang di pantai dengan Warden).

Donna Reed took Clift attention since the first time he saw her
Selain casting, akting dari mereka pun mengesankan, sangat mengesankan. Bagi saya pribadi, akting Deborah Kerr adalah yang paling menonjol. Namun yang lainnya pun menunjukkan kualitas akting yang tinggi. Oh iya, saya lupa menyebutkan satu lagi aktor utama yang juga bermain sangat baik pada film ini – Frank Sinatra. Frank Sinatra memerankan peran pembantu; Angelo Maggio, teman dekat Prewitt yang bertubuh kecil dan kurus, namun energik.

Karen went the other way of Pearl Harbour
Screenplay film ini juga sangat baik dan berkesan bagi saya. Secara khusus, saya tertarik dengan cara pembuat film menyampaikan informasi-informasinya. Misalkan pada adegan perpisahan Warden dan Karen sehari sebelum pengeboman Pearl Harbour. Mereka berdua berjalan ke arah sebuah penunjuk jalan – ke arah kiri tertulis “Pearl Harbour 8 miles”dan Karen berjalan berlawanan dengan arah tersebut, mengimplikasikan bahwa Karen akan aman dari pengeboman esok paginya, dan suspens bahwa Warden akan menghadapi ‘neraka’. Atau dalam kesempatan lain, Prewitt yang sedang didetensi duduk di sebuah kursi dekat jendela kaca. Di balik kaca, Maggio mengintip sambil berkata “Sorry Prewitt, I can’t help you from here” dengan pencahayaan yang sangat terang pada sisi Maggio seolah Maggio berbisik dari dunia-lain.

Film ini juga memiliki aspek surprise yang sangat baik. Yang paling menarik tentunya adalah perubahan perlakuan Warden kepada Prewitt. Pada awal cerita, Warden berperan sebagai atasan Prewitt yang jahat. Ia menindas Prewitt semena-mena karena alasan yang tidak bisa dibenarkan. Namun suatu waktu, Prewitt memainkan keahlian bugle-nya. Warden untuk pertama kali terlihat tersenyum karena terkesan akan permainan Prewitt. Setelah itu, Maggio terlibat pertengkaran berbahaya dengan seorang atasan tentara lain yang berbadan sangat besar dan mengancam, di saat Maggio adalah salah satu kadet berbadan paling kecil. Atasan itu sudah siap dengan pisaunya, ketika Warden berdiri untuk menyelamatkan Maggio. Ketika Warden keluar bar Prewitt berkata, “He’s a good man.” Semenjak itu, hubungan mereka berubah total.

Warden tried to protect Maggio from 'Fatso'

Turning point of Warden-Prewitt relationship


Character development juga menjadi unsur yang menarik untuk disimak dalam film ini. Tiap karakter memiliki perkembangan karakter yang matang. Prewitt yang dulunya menolak untuk kembali bertinju (dia mantan petinju), melanggar aturannya sendiri ketika ia kehilangan kesabarannya ketika seorang atasannya, salah satu yang mencoba untuk memaksanya kembali bertinju, memanas-manasi dirinya. Semenjak itu, karakter Prewitt yang dulunya ‘putih’, menjadi semakin ‘gelap’ dan membawa dirinya sendiri pada kehancuran.

Alma memiliki hubungan yang semakin dalam dengan salah satu ‘mantan’ pelanggannya, Prewitt. Alma akhirnya menyatakan keengganannya untuk menikahi seorang prajurit demi menggapai impiannya, yakni hidup yang ia katakan sebagai ‘proper’. Prewitt sakit hati. Sesaat setelah pengeboman Pearl Harbour, Prewitt memaksakan diri untuk kembali ke kelompoknya. Alma mencoba menghentikannya karena Prewitt sedang terluka dan ia adalah buronan tentara setelah membunuh seorang tentara lainnya. Ia bahkan menjual janji untuk menikahi Prewitt – namun terlambat.

Warden tried to flirt Karen
Karen Holmes memiliki hubungan gelap dengan salah satu bawahan suaminya, Sersan Warden. Pada awalnya keduanya hanya sekedar bermain mata; Warden jelas menunjukkan ketertarikannya, sementara Karen memasang wajah dingin. Hubungan berlanjut ketika Warden mengunjungi rumah Karena dengan alasan untuk bertemu suaminya yang tak ada di rumah. Kerapuhan Karen terlihat dalam fase ini dan seterusnya, dan hubungan asmara pun resmi terjalin. Namun pada akhirnya, mereka berpisah karena Warden ia anggap tidak bisa memenuhi kebutuhan batinnya.

Judul: From Here to Eternity
Tahun-rilis: 1953
Produser: Buddy Adler
Sutradara: Fred Zinnemann
Penulis-skenario: James Jones (novel), Daniel Taradash
Pemain: Montgomery Clift, Burt Lancaster, Frank Capra, Donna Reed, Deborah Kerr
Sinematografer: Burnett Guffey
Genre: Drama
Durasi: 118 menit

Saturday, 10 March 2012

Wild River (1960)

 
 
Wild River mengambil setting setelah musibah banjir besar yang memakan korban terjadi di negara-bagian Tennessee, Amerika Serikat, pada awal dekade 30’an. Film ini bercerita tentang usaha seorang pemuda bernama Charles Glover (Montgomery Clift) untuk memindahkan seorang perempuan-tua (Jo van Fleet) dari tempat-tinggalnya karena lokasi tersebut berada di daerah berbahaya yang akan dialiri air dari bendungan yang baru saja dibangun.

Kazan use of documentary of real event at the beginning of the picture.

Meskipun alur-utama film ini adalah mengenai usaha Charles membujuk Nona Ella Garth, nama wanita-tua itu, untuk menjual tanahnya, film ini lebih banyak membahas kisah-cinta Charles Glover dengan salah satu kemenakan dari Nona Ella Garth, Carol Baldwin Garth. Carol yang dulunya hanya mengamati konflik Charles dengan neneknya, ternyata menyembunyikan rasa kesepian yang lama ia rasakan semenjak kematian suaminya. Alhasil, ketika ia merasakan sedikit perhatian dari Charles, ia langsung terlena – hubungan seksual pun mereka lakukan, sesuatu yang lama tidak Carol dapatkan. Mereka akhirnya menjadi sepasang kekasih.

Three representatives from the town to reject black-people
 Film ini juga sering menyinggung masalah rasisme yang kali-itu masih pekat di negara-bagian Tennessee; para pekerja kulit-putih menolak bekerja bersama pekerja kulit-hitam; wakil masyarakat setempat yang menuntut agar para pekerja kulit-hitam mendapat upah yang lebih rendah dari para pekerja kulit-putih meskipun beban pekerjaan mereka yang sama. Film ini mengkritik masih terbelakangnya pola pikir masyarakat Tennessee pada saat itu dibandingkan dengan Charles, yang berasa dari negara-bagian daerah utara, yang merasa bahwa budaya masyarakat tersebut tidaklah masuk-akal.

Namun plot mencoba untuk seimbang dalam menilai masalah ini bahwa masyarakat negara-bagian utara pun memiliki kekurangan. Charles adalah representatif masyarakat utara yang independen. Dalam salah-satu adegan romantis antara Charles dan Carol, Carol bertanya pada Charles apakah ia pernah merasa benar-benar membutuhkan orang-lain. Charles hanya bisa terdiam, mengisyaratkan individualisme lingkungan masyarakat yang telah membesarkannya.
Montgomery Clift plays Charles Glover
Konflik kepentingan antara Charles dan Ella membuat orang pada akhirnya tidak memihak pihak manapun. Keduanya adalah protagonis bagi alasannya masing-masing. Charles memaksa untuk membeli tanah Ella demi keselamatan Ella sendiri karena ketika air dari bendungan yang baru saja dibangun dilepaskan, maka tanah tersebut akan terendam air. Charles juga beralasan bahwa banjir yang sebelumnya terjadi telah memakan korban, dan bila bendungan tidak dioperasikan, maka pada banjir berikutnya korban akan kembali berjatuhan. Di tambah lagi arus dari bendungan bisa menghasilkan listrik, sesuatu yang belum didapatkan oleh hampir seratus keluarga di kota tersebut. Ella tetap menolak untuk menjual tanahnya! Ia beralasan bahwa tanah itu digarap dengan tangan suaminya sendiri. Tanah yang dulunya berantakan, dengan mengerahkan seluruh tenaga dan keringat, berhasil dijinakkan sehingga menjadi layak untuk ditinggali. Suami Nona Ella berpesan agar jangan pernah meninggalkan atau menjual tanah tersebut, dan Ella memiliki kewajiban untuk memegang pesan suaminya itu. Selain itu Nona Ella telah hidup di tempat itu selama hampir 80 tahun; nona Ella juga sudah sangat tua, sehingga untuk pindah meninggalkan tanah yang begitu berharga baginya dan hidup di tanah yang asing hingga akhir hayatnya terdengar dingin.  Dengan kata lain, ini adalah konflik logika dan sentimen.

Antagonis utama di film ini bukanlah Ella maupun Charles, namun para penduduk kota yang anarkis, dipimpin oleh seorang pria bernama Hank Bailey. Pada awalnya ia mencoba mengintimidasi Charles karena Charles mendekati Carol disaat seorang penduduk lokal bernama Walter Clark juga mencintainya. Namun seiring berjalannya film, terlihat bahwa Bailey tidak membela siapapun. Dia hanyalah pengacau dengan mentalitas yang rusak.

Secara pribadi saya sangat tertarik dengan watak Carol Garth. Pada awal film ia digambarkan sebagai seorang wanita yang pendiam. Lalu Charles mulai berinteraksi dengannya. Pada malam hari pertama itu, mereka bercinta. Esoknya, sinar-sinar kehidupan sedikit bersinar dari wajah Carol. Ia mulai pindah dari rumah neneknya ke rumah lamanya yang dulu ia tinggali bersama suaminya, dan Charles mengunjunginya setiap malam. Carol selalu berusaha menghindar ketika Charles menyentuhnya, dan selalu akhirnya Carol takluk dan lagi-lagi bercinta dengannya. Setelah itu, perang-batinnya selesai. Ia menyerahkan dirinya pada Charles dan terang-terangan menginginkan Charles. Dalam satu adegan di dalam mobil, Carol dengan begitu erotis, sambil menciumi Charles, berkata, “Say that you need me! Say it!”

Carol Garth -- "You can't get enough of me! Say it!"

Saya merasa sedikit kasihan kepada Carol. Ia sepertinya begitu ingin orang-lain membutuhkan dirinya. Mungkin selama ini ia merasa tidak dibutuhkan atau di anak-tirikan. Ketika Charles mengatakan bahwa ketika ia pulang ia tidak akan membawa Carol, Carol dengan putus-asa mencoba meyakinkan bahwa Charles membutuhkan dirinya. Ia bahkan terkesan hingga rela menyembah-nyembah Charles sambil mencoba membujuknya agar membawa dirinya, menaruh harga dirinya di lantai, siap untuk diinjak-injak.

Judul: Wild River
Tahun-rilis: 1960
Produser: Elia Kazan
Sutradara: Elia Kazan
Penulis-skenario: Borden Deal (Novel), William Bradford Huie (Novel), Paul Osborn
Sinematografer: Ellsworth Fredricks
Pemain: Montgomery Clift, Lee Remick, Jo Van Fleet
Genre: Drama
Durasi: 110 menit