Friday, 28 October 2011

After Hours (1985) - Exposition analysis


After Hours, director: Martin Scorsese,penulis: Joseph Minion, produser: Amy Robinson-Griffin Dune – Robert Colesberry, Cinematographer:Michael Balhauss , Editor: Thelma Schoonmaker .

Film bercerita tentang seorang pegawai kantoran biasa yang mengalami pengalaman terlalu luar-biasa baginya.

Entah kenapa saya menulis analisis ini. Awalnya saya ingin menulis untuk keseluruhan film. Namun melihat panjangnya film, dan banyaknya film yang ada di luar sana, saya mencoba membahasnya hanya bagian tertentu. Untuk saat ini, berhubung saya juga sedang menyusun sebuah skenario dan saya merasa saya lemah dalam eksposisi, saya mau bahas eksposisi story yang dilakukan Scorsese dalam filmnya After Hours yang keluar tahun 1985.

Di perkenalkan penampilan tokoh utama dan lingkungan tokoh utama lewat shot pertama. Dalam shot itu diperlihatkan lingkungan kantor, lalu kamera bergerak ke wajah seorang pria yang sedang menjelaskan cara mengoperasikan komputer pada seorang karyawan baru. Dari shot ini bisa dilihat si pria bekerja di kantor tersebut, dan penonton akan menebak kemungkinan bahwa sang pria adalah si tokoh utama. Pada momen ini kita belum mengetahui nama dari si pria.

Setelah shot pertama, diperlihatkan bagaimana si pria menjelaskan sistem kerja komputer pada koleganya, dengan style Scorsese, adegan yang sebenarnya biasa, ritme biasa, ukurang penting pun biasa, namun disajikan Scorsese dengan caranya lewat editing yang cepat dan shooting kombinasi medium dan Extreme closeup sehingga terasa lebih dinamis. (Editing cepat yang dilakukan Scorsese juga saya sebut city-worker’s pace editing, karena saya merasa pace-nya sesuai dengan pace pekerja-pekerja kota metropolitan yang serba cepat dan dinamis, ...)


Lalu sang kolega mulai ‘curhat’ pada si pria bahwa pekerjaan yang akan ia lakukan bukanlah pekerjaan yang ia inginkan dengan polosnya. Si pria tersinggung, kamera fokus pada dirinya, ia menghela nafas sedikit, lalu memalingkan wajahnya dari si kolega, menatap teman-teman kantornya yang lain yang berlalu-lalang dengan ekspresi sedih, dialuni lagu klasik yang cukup ternama sebagai background music (tapi saya tidak tahu namanya...haha) menambah kesan muram, sendu pada si pria. Lalu kamera beralih pada lensa lebar, memperlihatkan si pria dan si kolega dalam satu frame. Di perlihatkan melalui dialog dan gerak tubuh bahwa si pria tidak tertarik dengan mimpi-mimpi si kolega dan meninggalkannya sendiri. Durasi shot bertahan sebentar memperlihatkan si kolega yang ditinggalkan sendirian. Dan lagu klasik nan sendu itu masih terus mengalun.

Lalu gambar beralih ke para pekerja yang pulang kantor. Gerbang besar ditutup oleh 2 orang penjaga, seolah gerbang itu memagari para pekerja yang sudah seharian bekerja dalam gedung, membuat kesan seolah tempat si pria bekerja seharian adalah tempat yang asing, bukan bagian dari dirinya atau hidupnya, dan para pekerja itu hanyalah dimanfaatkan, dan ketika tidak dibutuhkan gerbang tertutup bagi mereka.(wow, this is something that I just realized! Cool!) Lalu si pria keluar menuju satu arah, dan angin berhembus menerpa wajah si pria, postur si pria layaknya man with no name pada film The Good, The Bad, and the Ugly melewati gurun dalam kesendirian (apalah...) menguatkan kesan kesepian, dingin, dari si pria. Lagu klasik nan sendu itupun masih mengalun, dan terus mengalun hingga si pria sampai di rumahnya.
shot gerbang 1

shot gerbang 2

shot gerbang 3


Kamarnya gelap, kamera fokus pada dirinya, lalu bergerak menjauh memperlihatkan situasi kamar. Sementara si pria hanya berdiri kosong. Kamarnya terlihat rapih, dan kosong, lampunya datar dan tidak ceria, si pria berdiri membatu/terpaku/kosong di tengah ruangan, lagu sendu yang mengalun, membuat kesan hampa yang kuat dalam shot. Lalu si pria kembali menunjukkan kekosongan hatinya ketika ia menonton TV, mengganti channel maju-mundur tanpa menunjukkan ketertarikan dari acara di TV.

Ok, sebagai kesimpulan sejauh ini, jadi sejauh ini sudah diperlihatkan bahwa si pria adalah seorang pekerja kantoran, yang mengalami krisis jiwa merasa kosong dengan pekerjaannya.

Apakah benar pada shot ini keberadaan wanita lebih kuat?

Buku Tropic of Cancer. Kamera fokus di buku tersebut. Terlihat buku tersebut sedang dibaca oleh seorang pria, namun kita belum tahu siapa dia. Lalu kamera mundur, memperlihatkan pria yang sama, lalu mulai terlihat ia berada di sebuah cafe/restoran, dan seorang wanita yang kemungkinan sedang memperhatikan dirinya. Kehadiran si wanita terasa kuat, bahkan lebih mendominasi pada shot ini, dengan keberadaannya yang lebih mendekati kamera, dan pijar lampu-merah yang jatuh di rambut si wanita (Saya lampirkan frame shotnya, ada komentar? Karena saya sendiri tidak terlalu yakin dengan pendapat saya). Lalu si wanita mengambil inisiatif berbicara dengan si pria. Lalu si wanita mengutip sesuatu dari buku yang dibaca si pria, kamera bergerak menyamping mendekati si wanita, membentuk imej yang berkesan dari si wanita, mungkin ini adalah refleksi pandangan si pria pada si wanita. Yang jelas, si wanita adalah karakter penting dalam film. Lalu kamera berganti pada si pria, namun kamera tidak bergerak, memberi kesan bahwa adegan ini didominasi oleh si wanita. Namun setelah kamera kembali kepada si wanita, kamera bergerak persis seperti ketika mereka si wanita dengan dramatis sebelumnya, si pria menjelaskan kenapa ia menyukai buku itu dan kamera bergerak menyaping namun berlawanan dengan arah kamera ketika mengambil si wanita, seperti pasangan yang sedang berdansa, atau lebih otak-kirinya, berinteraksi. Mulai dari momen itu, mereka berdua berkesan setara. Sementara si pria berbicara, terlihat kasir di background (blurred) sedang melakukan gerakan-gerakan balet (atau semacamnya). Dan gerakan-gerakan itu menyita perhatian si wanita.

Lalu si wanita memiliki alasan(bagi pembuat cerita) untuk mendekat pada si pria. Si wanita tidak mendekat begitu saja seperti seorang wanita penggoda. Namun ia melihat kasir dari restoran tersebut yang terlihat seperti sedang berlatih menari. Karena alasan itu yang dipilih, si wanita memberi kesan, daripada seorang flirter, seorang yang bersemangat dan antusias tentang hal sekelilingnya, lebih positif.

Lalu mereka berdua mulai membicarakan tentang perilaku si kasir yang aneh. Overshoulder shot digunakan untuk sekuens ini. Namun yang bisa lebih diperdalam adalah alasan ada apa dengan kasih yang melakukan balet, kenapa? Buat saya, balet hanyalah pilihan untuk menunjukkan sesuatu yang berbeda dari lingkungannya(alias aneh), dimana nantinya kejadian aneh bukanlah lagi sesuatu yang minor bagi si pria, ia akan memasuki dunia aneh itu sendiri, sehingga ialah sang minor(dialah yang aneh). Namun itu nanti ketika cerita mulai pada babak rising-action. Alasan lain buat saya adalah mengimplikasikan ending. Pada awal film diperlihatkan si pria yang merasa kosong tentang hidup dan pekerjaannya, seolah pekerjaan itu tak layak diperjuangkan dan si pria sendiri tidak memiliki apapun yang penting baginya. Si kasir memiliki hal yang tidak dimiliki oleh sang pria, keinginan untuk memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting baginya, dan ia melakukan apa saja untuk itu(termasuk berlatih dalam part-time job-nya). Namun si pria terlihat tidak bisa menghargai hal itu. Alhasil, iapun kembali pada rutinitas hampanya, seperti halnya yang terjadi di akhir film.

Dalam adegan pertemuan wanita dan si pria di restoran, ditunjukkan bagaimana si wanita meninggalkan si pria dengan perasaan ‘khusus’. Bagaimana prosesnya? Ketika pertama kali si wanita menyapa si pria, si pria bahkan tidak mendengar sapaan itu. Jelas berarti bahwa belum tumbuh ketertarikan dalam diri si pria. Lalu ketika mereka mulai berdialog, ada hubungan antar keduanya, secara psikologis karena keduanya penggemar buku yang sedang dibaca sang pria si pria begitu terbuka menceritakan kesukaannya pada novel itu, secara teknis pergerakan kamera yang mengambil gambar pria dan wanita yang berkesan seperti 2 pergerakan kamera yang berdansa (apalagi ditambah lagu klasik yang masih berputar di background). Lalu mereka berdua mulai membicarakan kasir yang aneh. Si pria mulai tertarik dengan si wanita, bertanya hal ini-itu pada si wanita (sementara si wanita bersiap-siap pulang). Pada akhirnya terkesan jelas bahwa si pria tertarik pada si wanita (dipaku ketika si pria buru-buru menuju kasir hanya untuk meminjam pulpen untuk mencatat nomor telepon si wanita).

shot jam
Si pria dan si wanita sampai momen ini belum juga kita ketahui nama mereka. Sesampai di rumah, ia langsung menelpon nomor yang tadi si pria catat. Teman si wanita yang mengangkat telepon, lalu ketika akhirnya si wanita dan pria kembali terhubung, kamera berganti shot, menjadi shot yang lebih dekat, dan kamera itu bergerak semakin mendekat pada si pria. Dalam percakapan itu juga diberikan informasi bahwa si wanita bernama Marcy, dan si pria bernama Paul Hackett, namun kedua informasi itu tidak terkesan ditekankan sama sekali. Percakapan semakin intim, dan kamera akhirnya berhenti bergerak, memframing kepala dari Paul. Lalu sekuens disela shot jam yang juga diiringi sfx bunyi jam berdetik, memberikan kesan sesuatu yang dimulai, semacam bom waktu yang telah ditriggered, dan takkan bisa dihentikan lagi. Ada perasaan surreal juga di shot itu. Lalu adegan ditutup dengan shot close up pendek telepon yang ditutup(another city worker’s pace editing). Adegan selanjutnya adalah jembatan antara eksposisi dan rising-action.

Paul menyetop sebuah taksi. Taksi mengebut,di edit fast-motion, lalu disertai semacam lagu voodoo africa (membentuk atmosfir surreal lagi, seperti kesurupan, semacamnya, imej-imej yang keluar ketika kita mendengar lagu voodoo). Yang jelas, adegan taksi ini adalah sebuah perjalanan, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu babak ke babak selanjutnya, suatu perjalanan inter-dimensi, seperti halnya adegan surreal time-warping di film Space Odyssey dari Kubrick. Namun dalam film ini perjalanan itu lebih mendunia (“yes, of course”, kata Mark) dan ada unsur komedi.

No comments:

Post a Comment