Friday 30 December 2011

The Third Man (1949)



Judul: The Third Man|Tahun rilis: 1949|Produser: Carol Reed, Alexander Korda, David Selznick|Sutradara: Carol Reed|Penulis: Graham Greene|Sinematografer: Robert Krasker|Editor: Oswald Hafenrichter|Music score: Anton Karas|Durasi: 104 menit

Joe Cotten sebagai Holly Martins
The Third Man bercerita tentang Holly Martins, yang berusaha menelusuri kematian teman-dekatnya. Film ini terkenal dengan musik zithernya yang dimainkan Anton Karas, kemunculan Orson Welles dalam film yang dramatis, dan monolog cuckoo-clock-nya. Kehadiran permainan zither dari Anton Karas begitu kuat di film ini hingga orang akan mengingat hampir setiap shot dalam film yang diiringi musik ini. Bahkan Roger Ebert menuliskan mengenai musik Karas pada paragraf pertama, menyebutnya sebagai kombinasi paling sempurna antara sebuah gambar dengan musik. Mayoritas kritikus pada saat itu (hingga saat ini) pada umumnya menuliskan review-positif terhadap film ini.
Saya tertarik dengan pendapat seorang kritikus luar, Bosley Crowther, seorang kritikus film NYT(New York Times,1950) menulis sebuah catatan-merah tentang film ini yang membuat saya menonton kedua kalinya untuk membuktikan pendapatnya:
“...For simple fact is that “The Third Man”, for all the awesome hoopla it has received, is essentially a first-rate contrivance in the way of melodrama—and that’s all. It isn’t a penetrating study of any European problem of the day (except that it skirts around black-markets and the sinister anomalies of the “zones”...”
Ia berkata bahwa film ini adalah film yang lepas dari kondisi Eropa pada saat itu, yang baru saja selesai perang. Padahal bila diperhatikan, meskipun film ini di permukaan hanya bercerita tentang investigasi-amatir yang dilakukan Holly, film ini esensinya ingin berkata mengenai bagaimana perang bisa mengubah drastis, bukan hanya yang kasat mata, karakter masyarakat yang ada. Misalkan pada adegan awal film ketika Holly yang depresi karena kematian temannya, berbincang dengan Major Calloway. Terlihat bagaimana seolah Holly, yang sudah 9 tahun tidak menemui temannya(yang berarti terakhir mereka bertemu adalah sebelum perang),dan Major Calloway, yang meskipun membicarakan orang yang sama, Harry Lime, namun seolah keduanya berbicara tentang dua orang yang sama-sekali berbeda. Bahkan Holly sempat ingin memukul Calloway karena dianggap ia mencemooh temannya. Di adegan lain Baron Kurtz, teman komplotan Harry Lime berkata, “I tell you, I’ve done things that would have seemed unthinkable before the war.” Dalam dua adegan ini, terlihat bagaimana perang mengubah, bukan hanya Harry Lime, namun Baron Kurtz (dan mungkin juga banyak penduduk yang lain.) Jadi pendapat Crowther yang mengatakan bahwa The Third Man adalah sebuah karya yang lepas dari realita adalah salah.
Baron Kurtz
Lepas dari segala pujian pada film ini, yang saya alami ketika menonton film ini adalah kebosanan selama 1 jam sejak film ini diputar. Opening film ini, bagian dimana seorang narator menjelaskan kondisi Vienna paska-perang, adalah pembukaan yang sempurna, menjelaskan tentang situasi Vienna paska-perang. Saya juga suka humor-visual yang ada di bagian itu. Namun setelah itu, saya mulai berangsur-angsur merasa bosan mengikuti jalannya cerita film ini. Kenapa? Itu adalah pertanyaan yang saya tanyakan setelah dua kali menonton film ini dan tersandung hal yang sama, bosan. Salah satu hal yang membuat saya bosan adalah karakter Holly Martins tidak pernah benar-benar dalam situasi yang terancam. Alasan ini sama dengan ketika saya menulis artikel mengenai alasan kebosanan saya selama 25 menit bagian awal film Foregin Correspondent-nya Sir Hitchcock. Selain itu, karakter Holly juga terkesan mengadakan investigasi yang sia-sia, tanpa ada kemajuan yang signifikan. Investigasi yang dilakukan Holly semakin absurd ketika pada akhirnya Major Calloway menunjukkan padanya aksi kejahatan yang telah dilakukan Harry, yang akhirnya membuat ia memutuskan untuk menghentikan investigasinya dan pulang ke negaranya. Pada akhirnya bahkan bisa dibilang bukan Holly yang menemukan Harry, namun sebaliknya. Keabsurdan bagian awal dan durasinya yang super-panjang, menurut saya adalah alasan mengapa bagian itu sungguh membosankan. Meskipun begitu, mungkin kebosanan itu juga yang menjadi pendongkrak histeria kemunculan-pertama Harry Lime ke dalam layar.
First appearance of Harry Lime on the screen
Kemunculan Harry Lime, diperankan oleh Orson Welles, yang legendaris, ibarat angin-segar bagi saya yang sudah kasak-kusuk mencoba mempertahankan konsentrasi pada film. Kebosanan itu mendadak hilang. Dan kebosanan itu tidak akan muncul lagi hingga akhir film. Ini dikarenakan Harry mempunyai informasi yang tidak diketahui oleh penonton, seperti mengapa ia memalsukan kematiannya dan mengapa ia mau melakukan perdagangan ilegal yang berakibat kematian banyak orang. Di saat yang sama, penonton juga disajikan dilema dari Holly, yang bergulat tentang gambaran Harry yang dulu ia kenal, dengan Harry yang sekarang; Apakah ia akan membantu Major Calloway untuk menangkap Harry, atau tidak. Setelah semua pertanyaan tersebut terjawab, penontonpun disajikan adegan luar-biasa pengejaran Harry di saluran air bawah-tanah. Semua hal menarik itu diputar pada penonton dalam durasi yang kurang dari 1 jam! Adegan pengejaran itu diakhiri dengan bunyi suara pistol Holly.
Apakah Harry Lime mati? Orson Welles sendiri yang mengatakan bahwa Harry Lime mati dalam adegan terakhir itu. Namun Harry Lime adalah karakter yang misterius. Dalam film ia hampir dianalogikan dengan kucing, yang memiliki banyak nyawa. Kematian Harry Lime di saluran air itu tidak diperlihatkan dalam layar, yang terdengar hanyalah suara tembakan Holly. Saya sempat sedikit berdebat dengan teman yang juga sudah menonton film ini mengenai hal (hal yang tidak penting iniJ), apakah Harry Lime benar-benar mati:

Dia: Lah, Harry Lime kan emang mati di sewer itu kan?
Saya: Masak, emangnya diliatin. Kan cuman dikasih bunyi pistolnya doang.
Dia: Iya juga sih.
Saya: Pas kematian-palsu pertamanya juga saksi-matanya, yang porter itu, bilang dia ga liat Harry Lime ketabrak, dia cuman denger suara rem-mobil, abis itu dia liat orang digotong.
Dia:...
Saya: Sama kan kayak adegan terakhir ini. Penonton ga ngeliat apa Harry benar-benar mati, penonton cuman ngedenger bunyi tembakan. Dengan kata lain, penonton menggantikan posisi si porter para kematian-palsu Harry yang pertama. Kalo dalam kematian pertama Harry cuman pura-pura mati, kenapa kali ini ga mungkin kematian Harry cuman rekayasa. Toh saksinya juga teman baiknya dia sendiri.
Dia:...
Holly Martins after the shot

Setelah ending itu. Kita masih disajikan sebuah adegan kelanjutan hubungan antara Anne dan Holly dengan sebuah gambar yang sangat indah. The ending part is perfect, one of the most beautiful...

The Style
Saya selalu tertarik aspek style atau teknis, dan film ini memiliki style yang cukup menarik untuk dibahas. Misalnya, visual joke yang ada di film ini, mulai dari pada bagian awal ketika narasi berkata:
“Wonderful, what a hope they had, all strangers to the place and none of them could speak the same language except a sort of smattering of German.”
visual joke tentang 4 soldiers from 4 different countries
Disaat yang sama ditampilkan gambar 4 prajurit dari 4 negara dalam satu mobil jip yang tidak berinteraksi sama sekali. Atau dalam banyak kesempatan di film, pembuat film berusaha membuat interaksi antara eksterior kota dengan karakter yang ada pada film dengan menampilkan patung-patung sebagai alat mem-frame karakter film. Namun patung-patung tersebut menampilkan ekspresi atau gesture tertentu yang membuat penonton mengaitkannya dengan karakter yang ada di layar.


Yang paling luar-biasa adalah aspek editing, terutama pada adegan pengejaran Harry di saluran air bawah tanah. Editing digunakan seperti sebuah tongkat-sihir, merekayasa ruang dan waktu sehingga menciptakan sebuah pengejaran yang berlangsung lama di sebuah lokasi yang besar. Padahal bila diperhatikan, setting saluran-air itu seringkali diambil di tempat yang sama, hanya saja sudut dan lightingnya yang diubah. Keberanian Reed melakukan eksperimen ini (lepas dari keberhasilannya menciptakan adegan finale yang real), membuktikan dirinya sebagai salah satu orang yang pantas diberikan gelar sutradara terbaik (walaupun saya tidak akan pernah sesombong itu berani bilang siapa itu sutradara terbaik dari masa kapanpun, kalo favorit masih bisa diterima.).
Meskipun bagian awalnya agak tumpul, kemunculan Orson Welles dan ending yang luar-biasa, ditambah lagi film ini memenangkan penghargaan Palm d’Or pada tahun 1949... Saya rasa film ini memang wajib tonton, setidaknya sekali seumur hidup, atau kalo ga suka, berkali-kali sampai suka(atau mabuk) (Ini Orson Welles, man! Sang Legenda,kyk judul film. Dan tahun-tahun ini adalah masa-emas aktingnya dia!)

Tuesday 27 December 2011

The Hustler


 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Judul: The Hustler|Tahun rilis: 1961|Produser: Robert Rossen|Sutradara: Robert Rossen|Penulis-skenario: Sidney Carroll|Sinematografer: Eugene Shuftan|Editor: Dede Allen|Pemain: Paul Newman, Jackie Gleason, Piper Laurie, George C. Scott|Genre: Drama|Durasi: 134 menit

Hingga saat ini, banyak orang yang membandingkan The Hustler dengan The Cincinnati Kid. Ini dikarenakan kedua film menceritakan tentang tokohnya yang dikendalikan ambisinya untuk menjadi yang terbaik. Namun, seperti yang saya tulis pada artikel The Cincinnati Kid, kedua film ini memiliki atmosfir yang jauh berbeda. Menurut saya, The Hustler lebih mirip dengan salah satu film awal Sidney Lumet, The Pawnbroker. Keduanya bertema sejenis, direkam dengan film b/w, dan memiliki atmosfir jazzy.

The Hustler dan The Pawnbroker menceritakan mengenai sisi-gelap watak tokoh-utamanya. The Hustler membahas sifat ambisius Eddie Felson (Paul Newman) yang sampai menyingkirkan teman yang menyayanginya karena ia anggap temannya sebagai penghalang impiannya. Sedangkan The Pawnbroker membahas mengenai tokoh-utamanya yang dingin dikarenakan masa-lalunya yang gelap dan misterius. Kedua film ini, meskipun secara spesifik berbeda, memiliki suasana film yang sama depresif dan stressful.
Paul Newman sebagai "Fast" Eddie Felson
Selain itu keduanya diambil menggunakan film-stok b/w. The Cincinnati Kid adalah film berwarna, dan warna dalam film itu memberi kesan lebih ceria ketimbang The Hustler maupun The Pawnbroker.

Terakhir adalah karena baik The Hustler maupun The Pawnbroker menggunakan score musik jazz sebagai pengiring film. The Cincinnati Kid menggunakan jenis score yang bervariasi, bahkan salah satunya ada musik jazz. Namun jazz yang digunakan The Cincinnati Kid adalah jazz yang membentuk suasana ceria, contohnya pada bagian opening film yaitu adegan parade-karnaval orang kulit-hitam. Lain halnya dengan The Hustler maupun The Pawnbroker. Keduanya selalu menggunakan musik jazz sepanjang film. Dan jazz yang mereka mainkan adalah sejenis jazz yang, untuk yang sudah pernah nonton The Conversation-nya Francis Coppola, mengiringi Harry Caul ketika ia bermain saxophonenya dalam kesendirian, suasananya muram.

Lepas dari persamaan itu, saya menemukan lebih banyak action di The Hustler karena memang tokoh-utamanya adalah seorang pemain bilyar dan dalam film kita akan beberapa kali ditunjukkan keahlian Eddie Felson bermain pool (dan tentunya juga adalah pujian kepada dedikasi Paul Newman terhadap karakternya). Meskipun lebih banyak action bukan berarti film yang lebih bagus, The Hustler menurut saya pribadi adalah film yang sangat bagus.

PS: Scorsese melanjutkan cerita mengenai Eddie Felson dalam filmnya The Colors of Money, yang juga menampilkan Paul Newman sebagai Eddie Felson,.
 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saturday 24 December 2011

USC Cinematography required text-book


Here's a link I found some time ago. I was so happy about this, I thought I had to buy the $46 book on Amazon. Here's the link.
This book is the required text-book for cinematography major at USC.

----------------------------------------------------------------------

Monday 19 December 2011

The Cincinnati Kid - satu lagi aksi cool Steve McQueen



Judul: The Cincinnati Kid|Tahun-rilis: 1965|Produser: Martin Ranshohoff|Sutradara: Norman Jewison|Penulis: Richard Jessup, Ring Lardner Jr., Terry Southern|Musik: Lalo Schifrin|Sinematografer: Philip H. Lathrop|Distributor: MGM|Durasi: 102 menit

The Cincinnati Kid, bercerita tentang Eric “The Kid” Stoner(Steve McQueen) yang berambisi untuk menjadi pemain poker terhebat. Untuk menjadi yang terhebat, ia harus mengalahkan Lancey “The Man” Howard yang diperankan oleh Edward Robinson. Banyak orang yang membandingkan film ini dengan film The Hustler yang disutradarai Robert Rossen yang dirilis tahun 1961.
Steve McQueen sebagai The Kid


Melba, diperankan Ann Margret

Slade, diperankan oleh Rip Torn
Kenapa banyak orang membandingkan film ini dengan The Hustler? Menurut saya ini karena karakter utama dalam kedua film adalah karakter yang ambisius. Baik Cincinnati Kid maupun Eddie Felson, karakter utama The Hustler yang diperankan Paul Newman, ingin menjadi yang terbaik. Dan keduanya juga terpuruk karena ambisi tersebut. Selain karakter utama, keduanya juga memiliki atmosfir noir, atmosfir negatif. Namun bedanya, dalam The Hustler aura itu muncul dari ambisi-buta Paul Newman. Sedangkan dalam The Cincinnati Kid, aura itu muncul dari lingkungan Steve McQueen; dari karakter disekitar McQueen yang licik , khususnya Melba dan Slade, 2 karakter yang memiliki sifat jahat, dan juga dari adegan yang ada di film, misalkan adegan perselingkuhan McQueen dengan Melba, ataupun adegan adu-ayam (saya barusan baca di wikipedia.com, bahwa adegan ini disensor di Inggris). Steve McQueen terlalu cool, dan dia selalu cool, di film manapun (The Sand Pebble, Bullit, The Great Escape, dll), karena itu sulit membayangkan Steve McQueen tiba-tiba menjadi gila dikendalikan ambisinya. Selain itu, The Cincinnati Kid memiliki unsur action yang lebih terlihat dibandingkan The Hustler.
Kehadiran McQueen cukup untuk menimbulkan suasan action dalam film.


Lepas dari perbandingan itu, film The Cincinnati Kid adalah film-ringan yang (sangat) menghibur. Asal jangan dianalisa terlalu dalam, jangan terlalu banyak protes tentang logika dan plausability, formula [Steve McQueen + poker] ekual film-bagus.  Kualitas gambarnya bagus. Sekuens klimaks-nya ok banget, dan tidak terduga. Inovasi suaranya mantap...pokoknya, ini bukan film berat. Santai aja dan nikmati aksi McQueen dan Robinson.  (terakhir, saya sajikan sekuens momen klimaks yang menurut saya ok banget.)
You think you can beat me, Kid?

Actually, yes I do, sir.

Are you ready to face the fact, Kid?

I'm always ready.

Here goes nothing!"











You owe me $5.000, kid

Saturday 17 December 2011

Foreign Correspondent (1940)

 

Judul: Foreign Correspondent|Tahun rilis: 1940|Produser: Walter Wangner|Sutradara: Alfred Hitchcock|Pemeran utama: Joel McCrea|Sinematografer: Rudolph Mate|Durasi: 120 menit

(PS: Analisis ini dibuat sebagai response artikel sebelumnya yang membahas film Hitchcock lainnya, Lifeboat)

Foreign Correspondent bercerita tentang Johnny Jones, seorang reporter Amerika yang ditugaskan untuk meliput situasi kritis Eropa yang sedang diambang perang dunia. Ia ditugaskan untuk mewawancarai seorang tokoh-perdamaian penting bernama Van Meer. Namun sebelum Jones mendapat jawaban dari orang tersebut, orang itu diculik. Cerita berkembang dari petualangan Jones menemukan Van Meer.
Joel McCrea sebagai Johnny Jones

Bagian awal film ini membosankan. Pada artikel sebelumnya(membahas Lifeboat), saya menuliskan bahwa Foreign Correspondent terasa membosankan karena plotnya yang longgar. Namun, setelah menontonnya untuk kedua kalinya, ternyata saya salah. Foreign Correspondent jauh dari sebuah film yang membosankan, hanya saja penonton harus bertahan agak-lama pada bagian awal film. Alasannya adalah karena Jones tidak berada dalam kondisi yang terancam sama sekali. Lain halnya dengan Lifeboat, dimana sejak awal film bahkan sebelum tokoh-utama memasuki layar film kita diperlihatkan gambar kapal yang tenggelam. Dalam Foreign Correspondent, tokoh utama baru masuk ke dalam situasi genting sekitar 25 menit setelah film dimulai. Selama 25 menit awal film, kita disajikan komedi Jones dengan editor-majalahnya, Jones dengan Van Meer yang terus berbicara tentang burung(?), Jones dengan seorang Latvia yang tidak bisa berbahasa Inggris, Jones dengan Carol yang kecantikannya menawan hatinya, dan adegan komedi lainnya. Namun setelah beberapa saat, komedi ini menjadi hambar karena penonton menonton Hitchcock untuk mencari ketegangan, pembunuhan, dan semacamnya. Jika orang ingin menonton komedi mereka akan mencari film Chaplin atau Keaton.

adegan tembak-menembak di atas mobil
Namun setelah 25 menit tersebut, cerita perlahan-lahan menyerap perhatian penonton hingga akhirnya kita tak mau melewatkan sedikitpun momen dalam film. Setelah 25 menit berlalu, Jones menyaksikan pembunuhan Van Meer di depan publik. Ia mengejar pembunuh itu. Pembunuhnya mencoba menembak Jones beberapa kali, namun meleset. Pengejaran dilanjutkan di atas mobil. Pengejaran Jones, yang bernuansa action dengan adegan tembak-menembak di atas mobil antara Jones dan pembunuh itu, memecahkan kepenatan yang dirasakan selama 25 menit sebelumnya (bila penonton belum meninggalkan gedung bioskop). Namun dalam adegan ini pun, Jones sebenarnya belum benar-benar digambarkan berada dalam situasi yang berbahaya bagi nyawanya. Keadaan menjadi mengancam bagi dirinya 40 menit setelah film berlangsung.

Setelah adegan tembak-menembak itu, Jones kembali ke hotelnya. Tiba-tiba bel berbunyi. Dua orang polisi masuk, mereka bilang ditugaskan untuk membawa Jones ke kantor polisi untuk dimintai informasi. Namun Jones melihat gerak-gerik aneh dari kedua orang itu. Jones menyimpulkan bahwa mereka bukanlah polisi sungguhan! Tentu saja mereka bermaksud membunuh Jones. Sejak saat itu, situasi Jones menjadi genting, dan film semakin menarik untuk diikuti.

Jones mengintip dari lubang kunci
Cerita yang bagus ini di dukung oleh adegan yang menarik. Misalkan dalam adegan dua polisi gadungan. Lebih lengkapnya sebagai berikut, Dua polisi ini datang mengatakan mereka ditugaskan membawa Jones ke kantor untuk mendapatkan informasi mengenai pembunuhan Van Meer. Jones mencoba menelpon seseorang untuk membatalkan janji yang telah ia buat sebelumnya. Namun ketika ia mengangkat telepon, ia menemukan bahwa kabel telepon itu telah dipotong oleh seseorang(!). Jones curiga. Maka ia bilang pada kedua detektif itu bahwa ia ingin mandi sebelum ikut mereka. Jones masuk ke kamar-mandi, namun setelah ia menutup pintu, ia memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu dari lubang-kunci. Yang ia lihat semakin meyakinkan dirinya bahwa kedua orang itu bukanlah polisi sungguhan(!). Maka ia menyalakan kran air, lalu kabur lewat jendela.

Dalam adegan lain, Jones hampir mati jatuh dari menara sebuah gereja. Sebelum Jones, dengan seseorang yang menyamar sebagai body-guard dirinya, masuk ke gereja tersebut, diperlihatkan menara bangunan itu yang begitu tinggi. Sampainya di atas gereja itu, penyamar itu mencoba mendorong Jones, namun untungnya Jones sempat mengelak di saat terakhir, dan malah penyamar itulah yang jatuh dan mati.
Menara gereja

Adegan yang tidak mungkin terlupakan adalah adegan pada bagian akhir film ketika pesawat jatuh ke laut. Pesawat yang ditumpangi Mr. Fisher, Carol, dan Jones dikira kapal pem-bom oleh Jerman. Maka pesawat itu ditembak jatuh. Pesawat jatuh ke laut, dan diperlihatkan bagaimana air laut dengan cepat memenuhi badan kapal, sementara para penumpang mencoba untuk keluar dari pesawat tersebut. Sekeluarnya para penumpang, ternyata mereka belum keluar dari kesulitan karena ombak besar menyerang mereka.
Adegan terakhir pesawat jatuh

Selalu menarik untuk membahas cara-visual Hitchcock menyampaikan pesannya. Misalkan, cara dia menipu penonton agar mengira bahwa Mr. Fisher adalah protagonis dari film. Dalam satu shot ini, untuk kurang dari dua detik penonton mengira bahwa Mr. Fisher memihak pada Jones, hingga akhirnya kamera melakukan panning, beralih dari bayangan Mr. Fisher ke ekspresi wajah Mr. Fisher yang sama sekali berbeda dari perkiraan penonton. Efek yang sama terjadi ketika rekan Jones masuk ke sebuah ruangan di mana Mr. Fisher sedang menginterogasi Van Meer. Orang itu masuk perlahan, lalu ia berkata bahwa ia adalah seorang salesman, namun sesaat kemudian sebuah pistol ikut muncul dari balik pintu. Sesaat kita tidak tahu apa yang dilakukan rekan Jones karena ia bukanlah seorang salesman namun seorang reporter, Mr. Fisher juga mengenali dirinya. Jadi untuk sesaat kita bingung apa yang terjadi, namun setelah pistol itu keluar dari balik pintu, jelaslah bahwa ternyata ia telah menjadi tawanan.
Framing1: Antagonis dan bayangan Mr.Fisher

Framing2: Kamera pan, menampilkan wajah Fisher yang tresenyum
shot1: gagang pintu membuka

shot2: seseorang masuk, namun kita belum tahu siapa orang tersebut

shot3: Rekan Jones muncul

shot4: Ternyata ia berada dalam todongan senjata

shot5: Ia adalah tawanan

Visual lain yang menarik adalah ketika Jones akan di dorong oleh pendampingnya dari atap sebuah gereja. Cara Hitchcock mengambil gambar pendorong itu buat saya sangat menyeramkan karena ketika ia akan mendorong Jones, ia bergerak ke arah kamera, ditambah lagi sebelum shot itu, film menunjukkan betapa tingginya atap menara tersebut. (Ini shot yang pas banget buat teknolog 3D sekarang.)
Shot Jones yang mencoba di dorong dari atas menara.

Dalam salah satu cara-visualnya, Hitchcock menunjukkan perbedaan visual realita dunia dengan realita film. Ketika itu, Jones baru saja keluar dari rumah Mr. Fisher dengan pendamping barunya. Mereka melewati sebuah jalanan besar dengan beberapa kendaraan berlalu-lalang. Di tengah jalanan itu, tiba-tiba sebuah truk besar datang tidak terkendali ke arah Jones. Pendamping Jones tiba-tiba mendorong Jones. Tiba-tiba Jones sudah berada di sisi jalan yang lain, seolah dalam kurang dari sedetik, ia telah melompat, namun ruang yang ia lewati adalah jarak yang tidak mungkin untuk di lewati dalam waktu yang begitu singkat. Dalam realita sehari-hari, yang dilakukan Jones tidaklah mungkin. Namun, cara shot dan editing Hitchcock sangat meyakinkan penonton bahwa adegan itu benar-benar terjadi. Adegan itu memang benar-benar terjadi dan penonton percaya bahwa Jones memang hampir tertabrak karena itu adalah kenyataan dalam film, sedikit berbeda dengan kenyataan sehari-hari. (Sebagai tambahan, efek yang sama diperoleh misalkan adegan shower film Psycho yang terkenal, di mana tidak di satu frame-pun terlihat bahwa pisau Bates mengenai tubuh Marion, namun penonton tetap menerima informasi bahwa Marion mati oleh pisau tersebut.)
shot1-Jones dan pengawalnya berjalan melewati jalanan kendaraan

Shot2: sebuah truk datang dengan kecepatan tinggi

shot3: Pengawal Jones melihat kesempatan itu

shot4: shot selingat, bahkan saya tidak melihat shot ini ketika saya menonton biasa.

shot5: Jones sudah berada di seberang, dan truk melintas di depannya
Setelah melihat sisi-positif dari film ini, tak diragukan dari kaca-mata saya, adalah sebuah karya besar Hitchcock. Meskipun tidak dianggap salah-satu masterpiece Hitchcock oleh kebanyakan kritik, aneh, saya merasa film ini sangat bagus (pertama kali menonton saya bilang film ini membosankan. Kedua kali menonton saya bilang film ini sangat-bagus. Ketiga kali menonton...)