Friday 23 September 2011

Nobody care what you say ...


Sebenernya uda kepikiran lama juga sih, tapi akhir-akhir ini gw lagi seneng lagu dangdut sunda, judulnya 'Talak Tilu', dinyanyiin ama bejibun artis cult-independen (gw ga tau bahasa dunia musiknya apaan, tp klo dunia film biasa disebut cult itu), yang sering naik bis antar kota, atau dengerin radio RDI, pasti pernah denger. Dari situ, pikiran gw langsung nyambung ke film Shawshank Redemption-nya Frank Darabont. Salah satu momen yang bahkan sampe sekarang kalo ngebayangin aja buat ati gw 'sesek'(sesek karena tersentuh) adalah ketika Tim Robbins ngunci dirinya di kamar, sementara polisi penjaga mencoba ngedobrak masuk, abis itu nyalain gramophone memutarkan lagu, kalo ga salah, Casta Diva, disiarin ke seluruh penjara. Morgan Freeman, yang jadi teman main Tim Robbins di film itu, bilang (paraphrasing) "Itu adalah salah satu hal terindah yang pernah ia dengar dalam hidupnya. Gw ga tau musiknya tentang apa, tapi gw membayangkan musik itu tentang cinta2 dua orang.....", lupa lanjutannya.....Kembali ke lagu Talak Tilu. Wah gila, nih lagu mantep abis men! Namun sama situasinya ama Morgan Freeman, gw ga tau(seenggaknya secara detil) lagunya cerita tentang apa. Dari judulnya sih bisa disimpulkan lagunya bertema tentang orang cerai. Tapi siapa peduli? Gw ga peduli. Yang penting musiknya bagus. Padahal gw ga tau tentang apa. Sejujurnya sih liriknya juga buat gw suka ama nih lagu, terutama pas penyanyinya 'ngomong' "Aduh alah ieung, tega teh teing"(sori klo salah2), ama pas bagian 'Nyeri-nyeri-nyeri'. Emang ada unsur kata2nya disana. Tapi yang menarik dari 2 hal itu bukan kata2nya, tapi intonasinya. Setiap gw denger intonasi 'nyeri3x'nya, entah kenapa gw kepikiran sesuatu yang tersentak-sentak, kayak kuda lumping lompat2...padahal gw jg ga tau kuda lumping lompatnya kyk gimana. Gw juga suka dengerin lagu2 operanya Maria Callas. Semuanya bahasa Italia. Io non parla Italiano. Pardon bos(cuman tau itu doang buat excuse kalo diajak ngomong Itali), tapi gw suka....Itulah point yg pengen gw sampaikan saat ini.

Contoh lainnya, lagu-lagu Jepang, ato soundtrack drama korea (wah, lagi booming nih), lagu India (cayacaya), lagu ....Mandarin(Itutuh, yang ada lagu jadul mandarin bagus). Banyak sekali orang yang suka lagu-lagu itu. Tapi apa meraka tau tiap kata2nya apa arti liriknya? PASTI ga tau lah!(Seenggaknya buat mayoritas, termasuk gw). Tapi mereka seneng2 aja tuh

Kalo dalam musik yang diperhatiin adalah suara(audio), lain halnya dalam film. Film lebih mengutamakan visual(yang mau protes tentang istilah 'audio-visual' , protes aja ama dinding). Ini terlihat jelas kalo orang lagi nonton film-film, yang cukup populer, Prancis, Italia, Jerman, atau Jepang. Ga ada penonton satupun yang mengangkap jalan ceritanya dari audio, alias apa yang mereka katakan. Mungkin buat nangkap emosi karakter bisa dari audio, tapi untuk nangkep cerita, penonton mengandalkan subtitle.

Tentang apakah film '400 Blows'-nya Truffaut? Tentang anak yang terasingkan, bahkan oleh keluarganya sendiri. Dari mana orang-orang tau? Dari subtitle. Namun, apa benar filmnya bercerita tentang itu? Bagaimana bila subtitlenya ada yang ngisengin. Misalnya, tiba-tiba subtitlenya diubah jadi tentang penculikan anak, bukan di Paris, tapi di Melbourne. Emang sih di opening ada gambar Eiffel, tapi loe nangkep lah maksud gw.

Kenapa kita membatasi diri dengan bahasa tertentu kalau hal itu bahkan tidak diperhatikan? Untuk apakah suara-suara yang keluar dari mulut para aktor dan aktris itu? Sepertinya fungsinya hanyalah untuk menunjukkan emosi dari pemain-pemain itu, tidak lebih. Lalu kenapa harus berbahasa tertentu kalau memang tidak diperhatikan? Logikanya kita bisa aja ngomong 'blablublablu' dengan intonasi yang sesuau dengan lakon, dan subtitle yang koheren menyesuaikan lokasi pemutaran film, dan orang akan tetap menangkap pesan kita (atau pesan subtitler-nya, hahahaha). Kalo ada orang tanya, bilang aja ini bahasa Goblok dari negara Gila. Dan dengan cara ini, kita bisa memiliki puluhan atau bahkan ratusan cerita, dari 1 film yang sama. Hmmm, idenya kurang bagus sih, tapi bisa dan mungkin, kan? Toh negara2 di dunia sekarang mulai kehilangan jati diri ,apalagi Indonesia. Apa gunanya mempromosikan bahasa kita, yang 9 dari 10 nya diambil gitu aja dari bahasa asing(eh, bener ga sih, ituloh judul bukunya Remy Silado)? Yang semakin barat, semakin engga-Indonesia, maka semakin oke!(Orang Jakarta aja kali ya), oke-ntut!

Ini jaman globalisasi bung! Kita harus berpikir luas. The World is Flat bung! Ngalor ngidul, bung!(paragraf ini mohon diidahkan)

Ini sebagai pembuka mata aja. Kalo ngandelin pasar Indonesia aja, kayaknya rada susah buat kaya. Saya sampaikan disini apa yang menurut saya penting ketika kita membuat lirik lagu dan yang penting ketika kita membuat dialog buat film. Mungkin penyampaiannya rada tolol, idenya pun mungkin aga' miring., tapi kalau masuk akal kenapa tidak direnungkan.