Saturday 30 June 2012

Captain Blood (1935)


Judul: Captain Blood
Tahun-rilis: 1935
Produser: Harry Joe Brown, Gordon Hollingshead
Sutradara: Michael Curtiz
Sinematografer: Ernest Haller, Hal Mohr
Editor: George Amy
Pemain: Errol Flynn, Olivia de Havilland
Genre: Swashbuckling
Durasi: 119 menit

Senang menonton Captain Blood. Film garapan Michael Curtiz yang dirilis pada tahun 1935 ini menyajikan petualangan seorang bajak-laut yang seru mengarungi samudra. 

Bercerita tentang Peter Blood, seorang dokter yang dituduh membantu pemberontak kerajaan Inggris dan akhirnya dijual sebagai budak. Filmnya bercerita tentang petualangan dia keluar dari perbudakan itu hingga menjadi bajak-laut, dan akhirnya kembali mendapatkan status terhormatnya  dengan menjadi seorang mentri Kerajaan Inggris.

Peter Blood is actually just an ordinary doctor

Dari segi casting filmnya memang sangat bagus. Lepas dari dua tokoh utama yang ada, Errol Flynn dan Olivia de Havilland, castingnya juga sangat baik untuk pemeran kru bajak-laut dan pemeran pembantu lainnya. Omong-omong tentang Olivia de Havilland, sepertinya saya pernah melihat wajahnya dalam film Gone with the Wind. Terakhir saya melihatnya pada credit-title di film The Swarm-nya Irwin Allen. Di sana ia memerankan seorang wanita tua (filmnya dirilis tahun 1974) penjual bunga. Memang sungguh berbeda antara ketika ia tua dan muda, pada film hitam-putih dan warna. Errol Flynn buat saya memberikan atmosfir ceria yang nakal mirip yang pernah saya lihat di film Adventure of Robin Hood.
Olivia de Havilland plays Ms. Bishop, who has a bit of interest to Blood since the first time they met

Pengambilan gambarnya unik. Karena ketika setting mengambil tempat di atas kapal, (kesan) gerakan mengayun kapal coba dibuat oleh para filmmakernya dengan cara track-in dan track-out terus menerus mengikut jalannya dialog antar karakter. Menurut saya pribadi hasilnya kurang efektif dan malahan memberikan rasa dramatis yang tidak terarah. Namun dari segi eksperimen, hal ini patut diacungi jempol. Kira-kira setipe dengan cara Godard mengambil gambar percakapan Anna Karina dengan seorang pria di sebuah cafe di film Vivre sa Vie dimana kameranya terus bergerak mengayun ke kanan-kiri. Bedanya dengan film Captain Blood adalah gerakan ayunan kamera di film ini adalah depan-belakang.

Blood at the end becomes a leader of a pirate gang

Filmnya sungguh menghibur. Kalau pusing dengan subtitle atau bingung bila menonton tanpa subs, film ini tidak masalah disaksikan tanpanya. Saya sendiri menonton tanpa subs dan dengan volume suara yang sangat rendah karena bapak saya yang merasa terganggu bila suaranya terlalu keras, dan tetap sangat menikmatinya.

Tuesday 26 June 2012

Who's that Knockin' at my Door (1967)


Judul: Who’s That Knockin’ at my Door
Tahun-rilis: 1967
Produser: Betzie Manoogian, Haig P. Manoogian, Joseph Weill
Sutradara: Martin Scorsese
Penulis: Martin Scorsese, Betzie Manoogian
Pemain: Harvey Keitel, Zina Bethune
Genre: Drama
Durasi: 90 menit

Film ini akan menjadi satu-satunya film Scorsese yang saya tulis artikelnya di blog ini karena satu-satunya film miliknya yang diputar pada dekade 60’an.

Naratifnya sendiri longgar. Filmnya terasa seperti kumpulan film pendek yang saling berhubungan sekedarnya. Yang berharga dari film ini adalah rasa seolah kita melihat orang dan kehidupan yang sebenarnya, realistis. Robert de Niro sendiri berkomentar bahwa film ini benar-benar terlihat real baginya (yang kebetulan katanya tinggal satu daerah dengan Scorsese).

Bercerita tentang JR, diperankan oleh Harvey Keitel, mempertahankan prinsipnya sebagai seorang Katolik untuk berhubungan sebelum menikah. Pada akhirnya, kekukuhannya mempertahankan prinsip tersebut menyebabkan ia kehilangan kekasihnya.

JR refuse to have sexual intercourse with his girlfriend

Dari segi bentuk maupun naratif, film ini terasa seperti sebuah eksperimen segala aspek film-fitur, mulai dari framing, editing, koreografi, musik. Bila ada yang sudah menonton Hi, Mom! – nya Brian de Palma, film ini lebih ‘eksperimental’ dari film itu.

Karena kita mengetahui bahwa Scorsese sendiri dibesarkan secara Katolik dan bahkan sekali dalam hidupnya pernah ingin menjadi pendeta/pastur, film ini begitu terasa seperti refleksi dari diri Scorsese ketika itu; mengenai perasaan bersalahnya ketika ia telah menjadi pria dewasa, perasaan-bersalahnya akan kecintaannya pada film, ataupun pendapatnya mengenai hubungan seks sebelum nikah. 


Perasaan bersalahnya, terutama pada orang-tuanya (ibunya), terlihat pada dua adegan awal film. Adegan pertama film adalah ketika di sebuah rumah yang sangat religius, di sana-sini terlihat atribut Bunda Maria dan lilin, seorang ibu dengan wajah penuh kasih menyiapkan makanan bagi anak-anaknya. Adegan selanjutnya kita diperlihatkan beberapa lelaki remaja/dewasa, yang menurut saya adalah versi dewasa anak-anak pada adegan pertama, sedang berkelahi satu sama lain.

Perasaan bersalahnya karena kecintaannya yang terlalu dalam pada film terlihat pada adegan dalam sebuah pesta, seorang pria bermain-main dengan sepucuk pistol seolah barang itu hanyalah mainan. Ketika pistol tersebut meletus, sekuens disambung dengan poster Rio Bravo, dengan John Wayne yang sedang menembakkan revolvernya, disambut tembakan karakter-karakter lain yang ada di poster tersebut. Saya mengartikan adegan ini adalah tentang pemahaman Scorsese bahwa film adalah salah satu protokol yang sebenarnya merusak mentalitas masyarakat, mengkontaminasinya dengan kekerasan (drug, sex – dan kalau sekarang dengan homosexuality dan pedophilia). But he still become a filmmaker anyway.

Party scene, where one guy holding his gun as if it was a toy, until eventually he really shot it
then followed with a sequence of shots from Hawks's Rio Bravo along with many noisy gun shot's sound

JR berusaha keras untuk melawan godaan nafsu berhubungan seks dengan kekasihnya. Dalam satu sekuens, diperlihatkan imajinasi JR yang membabi-buta ketika ia berhubungan intim dengan empat wanita (saya bilang empat karena pada salah satu shot JR terlihat memegang kartu 4-hati, dimana hati adalah lambang wanita sebagai objek seks, bukan love!). Ketika keluar dari imajinasi tersebut, JR terlihat frustrasi.

JR imagination of his desire

Pertempuran tersebut berlangsung cukup lama. It’s really as if this movie is the American version of Kurosawa’s The Quiet Duel. Terkadang JR dalam kefrustrasiannya melampiaskannya pada wanita lain—prostitute. Namun di depan kekasihnya, ia selalu keras menolak berhubungan seks. Pada bagian akhir (harap bagian ini maklum kalau salah karena perhatian saya terbagi dengan hal lain ketika itu), JR disorot sebagai tokoh yang bersalah, bukan sebagai pihak yang benar karena dia menolak berhubungan seks. Kekasihnya langsung memutuskan hubungan mereka ketika mendengar bahwa “JR memaafkan dirinya.” This might be a clue that Scorsese eventually gave in with the flow, the flow of The Rolling Stones. Bagian ini cukup mengerikan bagi saya, karena Scorsese is my last hope.

Monday 18 June 2012

Our Man in Havana (1959)


Judul: Our Man in Havana
Tahun-rilis: 1959
Produser: Carol Reed
Sutradara: Carol Reed
Penulis: Graham Greene
Sinematografer: Oswald Morris
Komposer-musik: Frank Deniz, Laurence Deniz
Pemain: Alec Guinness, Burl Ives, Maureen O’Hara
Genre: Drama-comedy
Durasi: 111 menit

Setelah memikirkan kembali judul dari blog ini, Jurnal Film, saya merasa harus lebih jujur tentang apa yang saya rasakan ketika saya sedang menonton suatu film. Bukannya saya selama ini berbohong mengenai apa yang saya rasakan, hanya saja terkadang saya hanya menuliskan sisi positif dari sebuah film disaat yang sebenarnya saya rasakan ketika menonton adalah ngantuk dan bosan. Mengorbankan nama-besar Carol Reed di mata saya sendiri, namun itulah yang saya rasakan ketika menonton Our Man in Havana.

Alec Guinness played the secret agent, Mr. Wormold

Tokoh utama diperankan oleh Alec Guinness (kalo engga salah, pernah liat dia pas masih muda di film David Lean, The Great Expectations), bernama Wormold. Mengambil setting di Havana, Kuba – Wormold adalah seorang pedagang Inggris. Suatu hari ia dihampiri seorang agen rahasia Inggris untuk direktrut menjadi agennya. Setelah ditawarkan sejumlah uang yang cukup besar, Wormold menerima tawaran tersebut. Jadilah ia seorang agen rahasia. Cerita bertambah seru ketika Wormold kesulitan beradaptasi dengan pekerjaannya yang mengharuskan ia merekrut sub-agen lain. Dengan putus-asa, ia mengambil jalan-pintas dengan berbohong mengenai profil sub-agen yang telah ia rekrut. Pepatah mengatakan bahwa ‘kebohongan melahirkan kebohongan lain’, dan itulah yang Wormold ketika organisasi-rahasia yang mempekerjakannya mengirimkan agen lain untuk membantu Wormold.

Mr. Wormold tried to convince a guy to work for him as his sub-agent

Dari segi visual dan suara sendiri menurut saya filmnya sangat bagus. Dari visualnya terlihat ciri-khas framing Reed difilm-film sebelumnya yang pernah saya lihat (The Fallen Idol, Odd Man Out, dan terutama The Third Man hampir mirip dengan yang satu ini, hanya saja The Third Man lebih hitam). Dari segi suara, ...well, gw ga tau nama genre musiknya apa, salsa, latin, chacha muchacha bonita,... namun cukup untuk menciptakan atmosfir komedi dan kontradiktif dari tema film yang gelap dan misterius.

Very nice shot at the beginning, typical Reed's shot I usually see on his films

Mungkin hanya karena saya letih ketika menonton, dan mengantuk sehingga tidak bisa menikmati film secara penuh. Namun sepertinya kekurangannya terletak pada ritme film yang agak lamban dan plotting yang longgar sehingga mendukung kondisi psikis saya yang saat itu sedang lelah untuk tertidur. Namun, orang pasti bisa melihat sentuhan brilian dari Carol Reed pada film ini lepas dari engaging atau tidak temanya.

Friday 15 June 2012

The Long Voyage Home (1940)


Judul: The Long Voyage Home
Tahun-rilis: 1940
Produser: John Ford
Sutradara: John Ford
Penulis: Eugene O’Neill, Dudley Nichols
Sinematografer: Gregg Toland
Editor: Sherman Todd
Pemain: John Wayne, Thomas Mitchell
Genre: Drama Adventure
Durasi: 105 menit

Dalam wawancara John Ford dengan Peter Bogdanovich, ketika disuruh untuk memperkenalkan diri, ia menjawab, “I’m John Ford. I make western.” Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar karena John Ford tidak hanya membuat film koboi, namun juga ia membuat banyak film drama dan gangster. Dia antaranya yang pernah saya tonton (dan belum saya buat artikelnyaJ) ada The Hurricane, The Informer, Prisoner of Shark Island, Grapes of Wrath, How Green was My Valley, dan yang baru saja saya tonton, The Long Voyage.

The interesting opening sequence. This is the second shot. After a shot of a distant ship, we see this shot with somekind of voodoo's music in the background

Film ini bagi saya hampir setipe dengan Stagecoach (atau Air Force-nya Howard Hawks), dimana tokohnya bersama-sama berpetualang di sebuah kendaraan, namun kali ini petualangan mengambil setting perjalanan sebuah kapal barang yang mengangkut amunisi mengarungi samudra. Bila di Stagecoach rintangan alamnya adalah badai gurun, di The Long Voyage rintangannya adalah badai laut (hahaha, of course (dikatakan dengan nada Chow Yun Fat dalam A Better Tomorrow)). Namun kali ini badai memakan korban, seorang kru senior yang mengambil inisiatif menarik jangkar kapal yang longgar ketika badai berlangsung. Ombak menariknya hingga ia terbentur badan kapal dan mengalami patah tulang rusuk hingga ia muntah darah karena tulang itu menusuk paru-parunya. Ngeri selama adegan ini, dan penampilan Ward Bond yang sangat real memerankan Yank (tokoh yang kesakitan itu), menampah rasa ngilu di hati ketika melihatnya-- Padahal tidak ditampilkan darah setetes pun.

dying Yank before his death

Film The Long Voyage bercerita tentang petualangan sekelompok kru kapal. Sebenarnya lebih tepatnya bukan petualangan, namun hanya pekerjaan sehari-hari mereka di atas kapal (diterpa badai dan semacamnya...). Pada awalnya, kita diberikan cerita seru petualangan mereka; mulai dari diterpa badai, kematian salah satu kawan, seorang kru baru yang diduga seorang mata-mata Jerman (bersetting awal PD II). 

The man and a prostitute tried so hard to keep Olsen from returning to his home after 6 years away

Pada bagian akhir, cerita sedikit dibelokkan ke arah lain ketika pekerjaan pada awak kapal-laut itu digambarkan mencoba untuk menarik mereka kembali ke laut disaat sebenarnya mereka sudah muak dengan resiko dan imbalan yang tak setimpal dari pekerjaan tersebut. Olsen, diperankan John Wayne, adalah satu-satunya tokoh yang memiliki harapan untuk keluar dari, kalau tidak berlebihan, lingkaran setan itu. Segalanya berpusar pada dirinya. Teman-teman krunya mencoba untuk terus mendorong Olsen agar tidak lengah dan berhasil pulang ke kampung halamannya. Sementara orang-orang yang ada di pelabuhan mencoba untuk memperdaya dirinya (memperdaya adalah kata yang sangat tepat!) agar ia kembali ke kapal.

Dari segi visual, sejujurnya saya lupa. Tapi saya ingat nama sinematografernya, Gregg Toland – karena orang inilah yang menjadi sinematografer Orson Welles di Citizen Kane.

Tuesday 12 June 2012

Rancho Notorious (1952)


Judul: Rancho Notorious
Tahun-rilis: 1952
Produser: Howard Welsch
Sutradara: Fritz Lang
Penulis: Silvia Richards, Daniel Taradash
Pemain: Arthur Kennedy, Mel Ferrer, Marlene Dietrich
Genre: Western
Durasi: 89 menit

Terkadang saya merasa tidak adil; film yang menurut saya lebih bagus, belum tentu dalam artikelnya akan saya bahas secara lebih mendalam. Itu yang terjadi pada artikel ini, Rancho Notorious yang disutradarai oleh maestro film era bisu Jerman, Fritz Lang. Filmnya bagus, hanya saja setelah me-review artikel ini, saya merasa terlalu banyak menulis tentang hal-hal yang tidak menarik untuk dibahas dari sudut penonton(tapi menarik untuk disaksikan!).

Rancho Notorious, bercerita tentang petualangan seorang gun-fighter, Vern Haskell (diperankan oleh Arthur Kennedy), menemukan orang yang membunuh tunangannya. Ia menemukan bahwa pembunuh tunangannya bersembunyi di sebuah tempat bernama Chuck-a-Luck. Pencariannya membawa dia, pertama-tama, bertemu dengan kekasih pemilik dari tempat tersebut di penjara. Orang itu bernama Frenchy Fairmont (diperankan Mel Ferrer). Mereka berdua berhasil kabur, dan Frenchy membawa Vern ke Chuck-a-Luck. Pemilik Chuck-a-Luck adalah Altar Keane (Marlene Dietrich). Ditempat tersebut dilarang untuk bertanya pada penghuninya mengenai latar-belakang mereka sehingga menyulitkan pencarian Vern mengenai siapa yang sebenarnya telah membunuh kekasihnya. Namun ia menemukan petunjuk yang bisa mengarahkan ia pada orang tersebut, sebuah pin-bunga yang menempel di gaun Altar. Vernpun mencoba mencari-tahu siapa yang memberikan pin-bunga tersebut, yang pastinya adalah pembunuh dari calon istrinya yang telah mati.

Marlene Dietrich plays Alter Keane, the owner of a bandit's hideout called Chuck-a-Luck

Dari cerita, film ini sangat menarik. Beberapa kali saya kesulitan menerka bagaimana Vern bisa menemukan orang yang ia cari (bahkan menerka saja sulit karena terlalu banyak kemungkinan). Tentu saja kita tahu bahwa Vern pasti akan menemukan orang tersebut, tapi bagaimana caranya. Vern mendapatkan informasi tersebut dengan cara mendekati Altar. Menurut saya pribadi penagarahan Fritz Lang luar-biasa di titik itu sehingga kita tidak merasa ada perubahan yang janggal dari perlakuan Altar pada Vern (karena struktur dan babak plotnya pun sangat baik). 

Adegannya pun seru. Bukan adegan tembak-tembakannya, namun suspense, ketegangan, yang dihasilkan dari adegannya. Misalkan, upaya pendekatan-romantis yang dilakukan Vern pada Altar, disaat Frenchy, yang merupakan kekasih Altar, hampir menangkap basah mereka. Atau adegan ketika akhirnya Vern menantang pembunuh calon istrinya, namun pembunuh itu menolak untuk mengangkat senjata, padahal Vern tak mau membunuh (orang yang tidak melawan atau bertangan-kosong), ia mau duel. Disaat momen memanas, Vern mendekati pembunuh itu, lalu mulai menampar orang itu, dan saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi, tiba-tiba sheriff datang memotong ketegangan situasi. Adegannya luar-biasa!

Suspenseful moment when Vern confront the killer of his lover

Bentuknya sendiri menurut saya unik. Film ini menceritakan ceritanya seolah ceritanya adalah sebuah lagu legenda, tentang seorang cowboy yang ingin membalas-dendam. Lagunya sendiri sangat bagus, yang putar sedari awal ketika film menayangkan credit-title-nya. Lagu kembali dilantunkan pada waktu-waktu transisi babak di film.

Vern and Frenchy rode together while the Chuck-a-Luck music playing on the background

Castingnya menurut saya pribadi sangat baik. Pemeran kekasih Vern yang dibunuh cantik, terlalu cantik untuk mati pada sebuah film. Namun saya kurang suka visual ketika diperlihatkan mayat dari wanita ini; disamping kurang meyakinkannya bahwa wanita tersebut telah mati, bentuk-tangan wanita tersebut, yang seolah sedang memegang bola, menurut saya sungguh aneh, terlalu menyeramkan. Terlalu berbeda dengan penampilan wanita tersebut dari wajah ke badannya.

Vern and his lover before she was killed

Saya juga suka tone warnanya, yang sepertinya menyerupai tone Spaghetti Western-nya Sergio Leone, memberikan kesan kering dan keras, seperti batu di gunung kapur dalam cuaca yang terik.

Sunday 10 June 2012

Splendor in the Grass (1961)


Judul: Spledor in the Grass
Tahun-rilis: 1961
Produser: Elia Kazan
Sutradara: Elia Kazan
Penulis: William Inge
Sinematografer: Boris Kaufman
Editor: Gene Milford
Pemain: Natalie Wood, Warren Beatty
Genre: Drama
Durasi: 124 menit

Dari judulnya, orang sudah bisa mengira bahwa film ini bergenre drama. Kalimat Splendor in the Grass entah kenapa bayangan yang muncul adalah kover DVD film Sound of Music-nya Robert Wise (kovernya aja, soalnya filmnya sendiri saya belum nonton). Hal inilah yang menyebabkan saya agak males menonton film ini, meskipun sutradaranya Elia Kazan, dan film inipun ‘ngendok’ di drive gw cukup lama. Namun segalanya sirna ketika film mulai dimainkan, mulai dari ketika credit-title bergulir diiringi musik yang indah.

Seperti biasa, rekonstruksi cerita Elia Kazan padat dan menarik. Film bercerita kisah cinta dua anak remaja yang terlalu saling mencintai, hingga titik mereka saling menjauhi karena rasa sakit dan kekecewaan yang timbul tiap kali mereka bertemu.

Bud's father trying to influence his son to do what he wants him to do. The father always tell his family members what to do and never listen to what others want.

Sepenggal puisi karya William Wordsworth yang juga diambil menjadi judul film:

Though nothing can bring back the hour
Of splendor in the grass, of glory in the flower;
We will grieve not, rather find
Strength in what remains behind

Kalimat-kalimat ini begitu menyentuh ketika pertama kali dikatakan dalam film, yakni ketika di kelas gurunya bertanya pada tokoh-utama wanita, Deanie, arti dari puisi tersebut. Isi puisi yang mengandung kesedihan namun juga memberikan harapan dalam menjalani hidup,... I just felt so identified with that poem when I reflect it upon me.

Scene where Natalie Wood lose herself when the teacher ask her the meaning of splendor in the grass...

Selain cerita, tentunya Elia Kazan sebagai master-acting, dan seperti film-filmnya yang lain, mampu mengarahkan para pemainnya untuk memberikan performa yang outstanding. Heran, semua filmnya pasti akting pemainnya memiliki kualitas yang membuat mata kita tidak berkedip. Ketika menonton film, saya membayangkan adegan tersebut secara objektif dan rasa-rasanya bila adegan tersebut tidak diberi sentuhan Elia Kazan, akan menjadi adegan yang kurang dramatis. Tokoh-utama pria, Bud Stamper, diperankan oleh Warren Beatty yang saya kenal dari Bonnie & Clyde-nya Arthur Penn. Tokoh utama wanita, Deanie, diperankan oleh Natalie Wood (The Silver Chalice, Rebel without a Cause).

Tipe visual film-film Elia Kazan sendiri sering saya kelompokkan setipe dengan tipe visual Sidney Lumet, dimana visual tersebut tidak menonjol (kasar), namun pas dan halus. Maksud saya dengan menonjol atau kasar adalah seperti tipe visual film Spaghetti Western-nya Sergio Leone. Bukan berarti yang kasar itu lebih jelek atau yang halus lebih bagus, keduanya berbeda tipe dan masalah bagus-jelek itu masalah individu yang menilai.

A scene depicts the life of Bud's sister, Ginny, who's loved only within dark shadow and as sex-slave to 'hungry' men

Selain itu, saya juga menangkap filosofi pemilihan setting dari adegan-adegan di film ini yang memang tidak sembarang tempat. Misalkan, pada film ada tempat dimana pasangan-pasangan biasa ‘mojok’, yaitu disebuah tempat pembuangan-air yang spontan saya tangkap sense dari tempat tersebut dan opini sang sutradara perihal ‘mojok’ (kok kalimatnya jadi alay gini?).

Banyak sekali yang bisa dipelajari dari film-film Kazan. Tapi hingga saat ini saya paling tertarik dari cara dia mengkonstruksi dan memadatkan ceritanya hingga saya tidak pernah merasa bosan menyaksikan filmnya. Hell, ini film sebenarnya adalah tipe film yang paling saya benci : drama sekolahan yang tokohnya melulu cinta. Disitulah Elia Kazan turun, menyihirnya dengan kejeniusannya.

Thursday 7 June 2012

The Swarm (1978)


Judul: The Swarm
Tahun-rilis: 1978
Produser: Irwin Allen
Sutradara: Irwin Allen
Penulis-skenario: Stirling Silliphant
Sinematografer: Fred J. Koenkamp
Editor: Harold F. Kress
Pemain: Michael Caine, Katharine Ross, Richard Widmark, Richard Chamberlain, Olivia de Havilland.
Genre: Science-fiction
Durasi: 156 menit

Saya belum pernah menonton film Irwin Allen sebelumnya. Sekali saya pernah mendengar namanya ketika Coppola menyebut namanya dalam salah satu interviewnya di Heart of Darkness, tentang pembuatan film Apocalypse Now. Dia bilang bahwa dia ingin menjadi seperti Irwin Allen. Mendengar itu, tentu saja nama Irwin Allen menjadi menarik buat saya karena Apocalypse Now ketika itu terkenal sebagai film yang berani, modal yang besar (USD 31 juta, sementara Jaws hanya USD 9 juta), sementara cara dan bentuk filmnya sangat mengandalkan intuisi Coppola di lapangan. Benar saja, Irwin Allen mengeluarkan USD 21 juta untuk film ini. Di bagian awal filmnya saja dua helikopter di jatuhkan dari udara dan meledak. Namun sayang sekali, disaat filmnya bertaruh besar, namun kalah.

One of the exploded-helicopters right the crash

I’m really sick about this movie! Bukannya filmnya jelek banget atau jelek semua. Dengan uang USD 21 juta, perlu seorang jenius untuk membuat filmnya benar-benar jelek. Ada beberapa adegan yang menurut saya menarik, seperti adegan ketika sebuah kereta-api diserang sekelompok lebah-pembunuh, dan akhirnya jatuh ke jurang. Namun filmnya tidak memberikan perasaan yang enak. You don’t feel about the movie. In fact, gw bete selama beberapa jam paska nonton film ini (hingga akhirnya gw muak, dan keluar buat olah-raga, cari angin).

Bercerita tentang sekelompok lebah mutan yang mulai menyerang kota-kota yang ada. Sekelompok ilmuwan dan tentara berusaha untuk menghabisi mereka sebelum korban semakin banyak.

I think this is the best performance of Michael Caine on the film

Selain action, film ini juga memiliki unsur komedi. Namun komedi itu muncul biasanya karena kebodohan yang ada pada film; yang tentunya karena pada dasarnya bodoh, lama-kelamaan jadi tumpul dan membosankan (sejenis dengan film-film Ed Wood, saya tidak bisa menikmatinya sama sekali). Seperti, seorang Jendral yang dimainkan oleh Richard Widmark (padahal performanya brilian di film Elia Kazan, Panic in the Street) yang terus saja berkata, “What the hell bla bla...!” dan juga presence-nya yang sama sekali tidak diperlihatkan layaknya jendral, dimana semua orang hormat padanya. Instead, Michael Caine, yang memainkan tokoh utama, memperlakukan sang jendral layaknya seorang OB (sementara dua-bintang terlihat menempel di pundaknya). Atau hal-hal kecil seperti ketika sang Jendral berbicara melalui video-confrence dengan atasannya. Arah mata sang atasan tidak sesuai dengan letak layar di kantornya. Silly mistake, pada awalnya saya tertawa, tapi lama-kelamaan saya muak. Dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan sejenis.

Too rough. I think Irwin Allen execution is too obvious, though the message is acceptable

Untuk musik scoringnya sendiri sebenarnya sangat bermutu. Namun apa artinya musik bila yang diiringinya kualitasnya kurang baik. Composernya adalah Jerry Goldsmith.

Namun sebenarnya kesalahan-kesalahan kecil itu tidak lah berarti besar bagi saya. Hanya saja tidak adanya perasaan-nyaman setelah menontonnya menjadikan pengalaman menonton filmnya tidak menyenangkan. Mungkin sebaiknya filmnya dibuat lebih ceria, lebih positif, dengan adegan aksi yang lebih seru.

Tuesday 5 June 2012

The Big Parade (1925)


Judul: The Big Parade
Tahun-rilis: 1925
Produser: Irving Thalberg
Sutradara: King Vidor
Penulis: Harry Behn, Laurence Stallings (novel)
Sinematografer: John Arnold, Charles Van Enger
Editor: Hugh Wynn
Pemain: John Gilbert, Renee Adoree, Robert Ober, Tom O’Brien, Karl Dane
Genre: Drama-War
Durasi: 141 menit

Saya mendengar nama King Vidor pertama kali dari film A Personal Journey with Martin Scorsese through American Movies. Ketika itu, Martin Scorsese sebagai host, beberapa kali menyinggung film yang penting bagi dirinya, Duel in the Sun, yang disutradarai oleh King Vidor. Ini adalah film King Vidor pertama yang saya saksikan, dan saya sangat senang dengan filmnya.

Sebuah film-bisu keluaran tahun 1925 (film suara pertama, All That Jazz, keluar tahun 1928), The Big Parade bercerita tentang seorang pemuda kaya yang ikut berperang di PD I. Dalam perjalanannya, ia bertemu teman karib seperjuangan dan seorang kekasih. Di akhir cerita, (sori nih spoiler, tapi gw rasa meski tahu ceritanya, akan sedikit sekali mengurangi keasyikan menyaksikan filmnya), sahabat karibnya mati, dan ia kehilangan satu kakinya. Kekasih yang dulunya direncanakan akan dinikahkan dengan pemuda itu, telah meninggalkannya. Namun ia sendiri juga sudah berpindah hati ke gadis yang ia temui ketika dalam peperangan. Setelah perang berakhir, ia mencari gadis tersebut dan cinta merekapun dipersatukan kembali.

The first time when James Apperson's(John Gilbert) eyes found Melisande (Renee Adoree), from inside a beer barrel

Di samping pesan moral yang ada, filmnya sendiri sangat menarik. Filmnya memiliki drama(tragedi dan romantis), memiliki suspense dan action dari adegan perangnya, dan juga humor yang, buat selera saya pribadi, sangat menghibur sehingga filmnya serasa hidup/ceria.

Three war-mate-- (from the front) Slim, James, and Bull

Drama romantis dan jenaka diberikan pada awal film sehingga kita bisa jatuh cinta pada tokoh-tokoh yang ada, pemuda kaya dan dua orang temannya yang jenaka, seorang gendut bernama Bull, dan seorang yang tinggi-kurus bernama Slim.

Kitapun juga akan tersenyum menyaksikan humor yang ada dari hubungan pemuda-kaya dengan gadis lokal ketika kelompok si pemuda singgah di sebuah desa di Perancis. Perbedaan bahasa tidak menjadi penghalang hubungan keduanya, malahan menjadi unsur humor dari adegan mereka.

The scene where James and Melisande met. Kind of funny beside the language-barrier, James' face stayed very close to Melisande all the time. Has strong romantic and comedy flavors in it.

Dari adegan perang, kita disajikan suspense dan action. Adegan yang pasti tidak akan terlupakan adalah ketika pasukan pemuda tersebut maju menyerang barikade pertahanan Jerman. Sementara peluru terus berdesing menyerang pasukan pemuda itu (pasukan Amerika), mereka terus maju menerobos pertahanan Jerman, sementara pemuda kaya dan kedua temannya terus maju, teman-teman di kanan-kirinya berjatuhan satu persatu menjadi korban senapan-mesin dan sniper Jerman.

One of the best shot, when a German airplane attacked allied-soldier. I also love the music on this scene.

Dari aspek scoring, mungkin orang bisa melihat pengaruh scoring film ini pada salah satu masterpiece Francis Coppola, Apocalypse Now, terutama adegan penyerangan helikopter yang diiringi musik klasik Wagner.
Banyak sekali hal-hal kecil yang tidak saya bahas di tulisan ini (mungkin lain kali). Kalau ada tugas membahas film-bisu dan mencari judul film-bisu yang tidak membosankan, saya boleh saran film ini (atau bisa juga Paid to Love-nya Howard Hawks, dua-duanya bagus).


Tambahan:
Casting film ini menurut gw melakukan tugas yang sangat baik dengan pilihannya yang jatuh pada John Gilbert, Karl Dane, dan Tom O’Brien untuk memerankan tiga sahabat dalam film. Ketiganya menurut saya memiliki chemistry penampilan yang sangat baik dan menarik. Pengarahan karakterisasi ketiganya menambah chemistry ketiganya menjadi semakin menarik. Pemilihan Renee Adoree sebagai kekasih tokoh-utama juga menurut saya sangat baik dari segi penampilan maupun performa.

Friday 1 June 2012

Ace in the Hole (1951)


Judul: Ace in the Hole
Tahun-rilis: 1951
Produser: Billy Wilder, William Schorr
Sutradara: Billy Wilder
Penulis: Billy Wilder, Walter Newman, Lesser Samuels
Penata-artistik: Earl Hedrick, Hal Pereira
Pemain: Kirk Douglas, Jan Sterling
Genre: Drama-noir
Durasi: 111 menit

Film Billy Wilder lainnya yang saya tahu dan pernah saya tonton adalah The Lost Weekend, sebuah film drama-noir yang depresif mengenai seorang alkoholik. Atmosfir yang mirip dapat dirasakan dalam film Ace in the Hole yang sebenarnya keluar beberapa tahun lebih dahulu.

Kirk Douglas played 'Chuck' Tatum, an ambitious, ruthless, and arrogant reporter, coming looking for a job with nothing but his gut and bad-reputation

Ace in the Hole, atau mungkin bahasa Indonesianya kalau kita lagi main kartu, kartu-gacoan; bercerita tentang seorang reporter, Charles Tatum, diperankan Kirk Douglas, yang telah didepak keluar dari lingkaran surat-kabar ternama Amerika dan berakhir nasibnya di sebuah surat-kabar lokal di kota yang, klo istilah Indonesianya, ndeso, antah-berantah. Namun ia masih memendam ambisi untuk kembali ke posisinya yang lama. Caranya adalah dengan menemukan berita yang menggemparkan.

Berita tersebut secara tidak sengaja ia temukan ketika ia sedang dalam perjalanan meliput sebuah festival yang tidak-penting. Seorang pencuri-kuburan bernama Leo terjebak di dalam goa, dan tidak bisa keluar. 

He plays an angel in front of people and Leo, who's trapped inside a cave, which is the mcguffin of the film

Meski dipenampilannya Charles terlihat bak pahlawan yang berusaha menyelamatkan Leo dari kematian, Charles sebenarnya ingin memanfaatkan dan memonopoli musibah yang diderita Leo untuk kepentingannya sendiri.

Gw baru aja mikir arti judul Ace in the Hole ini, atau kartu-gacoan. Terkadang ketika kita sedang main kartu, kita terjebak dalam kondisi dimana kita tidak bisa menggunakan kartu tersebut karena kita terlalu lama menyimpan kartu-gacoan kita hingga kita benar-benar kehilangan kesempatan untuk menggunakannya. Itulah yang terjadi pada Charles Tatum dan membawanya ke klimaks film.

Ambisi Charles Tatum memberikan nuansa gelap dari film ini, seperti halnya kisah karakter pada film The Lost Weekend. Filmnya berorientasi pada karakter Charles, ambisi, kecurangan, dan penyesalannya.

Selain itu, film juga menyinggung mentalitas masyarakat yang menganggap penderitaan Leo seperti sebuah tontonan. Meskipun menurut saya penggambarannya agak berlebihan. Tapi mentalitas seperti ini bisa diidentifikasi juga pada kehidupan sosial kita.

Film juga mengkritik tentang media-massa yang kurang-lebih mendekati sebuah tragedi dengan mentalitas yang sama dan juga betapa kuatnya kekuatan media, dimana Charles bisa membentuk opini masyarakat begitu mudah dengan kebohongan yang ia tulis pada artikelnya, membentuk kesan yang keliru mengenai musibah tersebut, dan orang-orang yang terlibat dengan Leo, terutama istrinya.

Saya juga menyukai aspek visual dari film ini. Kapan dramatis, kapan datar-datar aja. Pertama kali melihat orang-orang mulai berdatangan untuk ‘menunjukkan-simpati’ pada korban, spontan orang akan langsung teringat visual sebuah taman-rekreasi, seperti Dufan (atau Universal Studio).

Reminds us of a Hollywood movie set

Setting juga memberikan kesempatan spesial bagi Charles ketika ia naik ke atas bukit, memandang ke bawah dimana masyarakat sedang berkumpul, dengan microphone ia berteriak, “The circus is over!”

One of the best scene, the climax
"The circus is over!"

Filmnya sangat bagus, mulai dari cerita, karakterisasi, visual, SOUND. Filmmaker generasi movie-buffs, Cahier du Cinema, menganggap Billy Wilder sebagai seorang master sinema. Saya perlahan mulai memahami alasannya.