Saturday, 14 May 2011

Contemplating work of Abbas Kiarostami, Taste of Cherry

Sebenarnya saya merasa takut dan ragu nulis tentang film ini, dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, bisakah saya menginterpretasikan karya sebesar Taste of Cherry. Tapi dalam 2 minggu, sudah 2 kali saya nonton film ini, selebihnya film ini seringkali menemani awang-awang saya ketika saya berkendara motor, menunggu dosen masuk kelas, bahkan ketika berkumpul bersama teman-teman sekolah yang lain. Karya ini benar-benar 'berbahaya' (setengah bercanda) karena membangkitkan semangat introvert saya. Dan saya menulis ini dengan tujuan agar setidaknya beban pikiran ini terlepaskan walau hanya sedikit dari pikiran saya sehingga ada sedikit tempat untuk extrovercy, biar bisa gaul lah istilahnya.

Taste of Cherry berkisah tentang seorang tua, yang kalau ga salah namanya Mr Badii, yang ingin melakukan bunuh-diri karena suatu hal, dan untuk menyempurkan rencana bunuh diri ini, ia butuh seseorang untuk mengubur mayatnya nanti setelah ia mati. Kenapa harus dikubur? Mungkin karena alasan budaya atau sesuatu, saya tidak tahu pasti. Film bercerita tentang pertemuannya dengan 3 orang, yang ia mohon untuk 'membantunya'.

Kita mulai dari orang kedua saja berhubung saya masih lebih meraba-raba tentang arti kehadiran orang pertama. Orang kedua adalah seorang seminaris, seorang pelajar agama di sebuah sekolah di Iran. Mr. Badii meminta pertolongan pada pelajar ini. Namun pelajar ini menolak dengan alasan agamis yg saya rasa cukup awam bagi orang Indonesia, yaitu bunuh-diri dilarang agama, bunuh-diri itu dosa, dan semacamnya. Mr. Badii tidak 'tercantol' dengan omongan sang pelajar, ia bahkan bilang kalau ia butuh ceramah, ia tidak akan meminta itu dari sang pelajar karena ia bisa langsung meminta orang yang sudah lulus dari sekolah agama, yang lebih ahli tentang teori2 semacam itu.

Menurut saya kehadiran sang pelajar hanyalah untuk menunjukkan PANDANGAN AGAMA terhadap upaya bunuh-diri yang dilakukan Mr. Badii. Sedangkan Mr. Badii sendiri sama sekali tidak terpancing dengan ceramah sang pelajar karena ia menganggap semua hal itu hanyalah sebatas teori, kasarnya lepas dari realita atau apa yang ia derita saat itu. Seperti yang dikatakan Mr. Badii dalam film, bahwa si pelajar bisa bersimpati, bisa menunjukkan belas-kasih, namun ia takkan pernah merasakan persis apa yang Mr. Badii rasakan, artinya ada diskoneksi antara ceramah-ceramah itu dengan realita apa yang Mr. Badii rasakan, bahwa 'obat-obat' batin agamis itu bukanlah obat yang tepat untuk penyakit yang diderita Mr. Badii.

Lain halnya dengan orang ketiga. Orang ketiga bercerita bahwa DULU ia pernah melakukan upaya yang sama seperti yang Mr. Badii lakukan saat itu, ia pernah mencoba untuk bunuh diri. Mr. Badii langsung diam mendengarkan, kenapa? Karena ada hubungan, ada relevansi, pendapat atau cerita yang masuk akal bagi situasi yang Mr. Badii rasakan saat itu, bahwa orang itu pernah di tempat yang sama, walau mungkin penyebabnya berbeda, dengan tempat di mana Mr. Badii saat itu berdiri. Sepanjang perjalanan, Mr. Badii diam mendengarkan perkataan akan pengalaman orang ketiga. Perkataan-perkataan itu berhasil masuk ke dalam pintu hati dan pikiran Mr. Badii (walau ending film tidak menunjukkan apapun secara pasti bagaimana keputusan Mr. Badii).

Mengenai orang ketiga, saya sangat terharu melihat bagaimana puisi tulisan di kombinasikan dengan visual poetry. Ketika orang ketiga berbicara mengenai hal-hal yang belum pernah di lihat Mr. Badii, sisi-sisi yang mungkin terlewatkan dalam perspektif Mr. Badii, bukan hanya diutarakan melalui dialog, tapi juga secara visual. Di pertengahan perjalanan orang ketiga berkata pada Mr. Badii "Take this road. Even though it takes longer, it has beatiful scenery (parahphrase sih, tp kira2 semacam itu). Mr. Badii belum pernah melewati jalan itu. Saya mengartikannya bahwa orang ketiga membawa Mr. Badii ke tempat-tempat yang belum pernah ia lihat dalam hidupnya, lebih kepada cara berpikir Mr. Badii, atau cara pandang.

Sepanjang jalan, orang ketiga terus berbicara, sementara Mr. Badii hanya mendengarkan, dan visual hanya memperlihatkan mobil yang berjalan melewati pinggiran-pinggiran bukit. Bila di tanya siapa yang menyetir mobil saat itu? Saya akan jawab bahwa orang ketiga lah yang menyetir, dan orang ketiga ini membawa Mr. Badii pada hal-hal baru yang mungkin terlewatkan atau tak tampak sebelumnya oleh Mr. Badii. 2 paragraf inilah yang saya maksud dengan visual poetry.

Sedangkan orang pertama, adalah seorang calon prajurit muda, namun saya melihat kehadiran dia lebih sebagai orang yang mencerminkan tanggapan sifat manusiawi manusia terhadap bunuh diri. Orang pertama adalah prajurit miskin. Ketika ditanya bila ia kekurangan uang, ia menjawab bahwa gaji prajurit tidaklah cukup. Namun ketika Mr. Badii menawarkan sejumlah besar uang kepadanya, ia menolak! Padahal ia prajurit, kenapa ia menolak, padahal ia tidak di suruh untuk membunuh Mr. Badii, yang perlu ia lakukan hanyalah mengubur Mr. Badii yang sudah mati. Saya sih mengartikannya bahwa secara manusiawi, kita tidak tahan atau suka melihat kematian, membiarkan kematian. Mungkin si prajurit merasa membiarkan Mr. Badii mati sama saja dengan membunuhnya, apalagi bila ia tetap melakukan apa yang diminta oleh Mr. Badii. Karena itu ia memilih lari, karena ia tidak mungkin mengubah keinginan Mr. Badii untuk bunuh diri, lebih baik ia menjauh dari hal yang akan membuat dia merasa bersalah. Mungkin yang saya maksud dengan respons manusiawi adalah tindakan yang akan dilakukan manusia manusiawi pada umumnya ketika diberi tawaran Mr. Badii.

Masih banyak sekali pertanyaan tentang film ini, yang mungkin baru akan saya temukan jawabannya bertahun-tahun setelah penulisan artikel ini. Sebagai contoh kecil, apa arti jalan yang berbatu ketika Mr. Badii melewati jalan bersama orang ketiga? Atau sebenarnya apa kriteria Mr. Badii ketika ia memilih orang yang akan membantunya bunuh diri? Mengapa ia menyapa 2 orang anak kecil yang sedang bermain di mobil bekas? Dan apa maksud adegan ketika secara tak sengaja mobil Mr. Badii terjeblos ke lubang lalu berbondong-bondong masyarakat sekitar membantu Mr. Badii membebaskan ban mobilnya dengan senyum bahagia? Untuk pertanyaan terakhir, mungkin saya bisa jawab. Mungkin jawabannya terkait perasaan terlupakan, dilupakan, entah oleh sanak saudara atau Tuhan yang dirasakan seseorang yang ingin bunuh-diri. Saya membayangkan begitulah kondisi saya bila saya telah memutuskan akan melakukan bunuh-diri. Namun ketika saya mengira bahwa saya adalah orang yang terlupakan, berbondong-bondong manusia datang menghampiri saya TANPA DIMINTA untuk menolong saya TANPA MEMINTA APAPUN dengan ikhlas. Buat saya adegan ini ingin menggambarkan bagaimana sebenarnya ada cinta, rasa kasih sayang, peduli, antar manusia yang jaman sekarang seolah digambarkan apatis terhadap lingkungan sekitarnya. bahwa orang-orang yang merasa kesepian sebenarnya tidaklah sendiri, ada orang yang peduli, atau mungkin mencintai mereka Semacam itulah.

Entah kenapa, setelah menulis ini, saya malah tidak mau melepaskan kontemplasi saya mengenai film ini...

No comments:

Post a Comment