Feb 10, 2010 - Baru pulang dari nonton konser musik klasik. The show was super awesome!!
Sedikit yang gw tahu tentang para musisi yang tampil di concerto. 5 Orang yang terdiri dari 4 pemain viola dan seorang tap dancer I believe came from Holland. Then, there's one woman, the pianist, named Tanaka-san, of course, from Japan.
Dari konser tersebut, membandingkan dari pengalaman menonton konser musik klasik ketika saya di Amerika, saya ingin mengomentari 3 hal dari konser tersebut; penontonnya, auditoriumnya, dan , tentu saja, pertunjukkan musiknya sendiri.
Penontonnya, well, menurut gw penonton konser tadi cukup antusias. Bahkan, terlalu antusias hingga mereka bertepuk tangan atau tertawa ketika musisi sedang memainkan musik! Buat gw, suara-suara itu cukup mengganggu pertunjukkan musiknya sendiri. Lagian, yang namanya konser musik klasik, setau gw, etikanya adalah ga boleh ada suara apapun ketika performer sedang perform. Bukannya gengsi atau gaya, tapi memang suara-suara itu cukup mengganggu ketika orang ingin mendengar pertunjukkan sang performer.
Dan juga, orang Indonesia menurut saya harus belajar untuk DIAM atau menyadari 'TUJUAN' mengapa pergi ke suatu tempat. Maksud gw begini, ketika orang pergi ke sekolah, orang itu harus sadar benar kalau dia mau belajar. Ketika orang pergi ke konser musik, orang itu harus tahu dan sadar bahwa tujuan ia ke konser itu adalah untuk mendengar musik! Bukan mengobrol!! Menurut saya ini bawaan orang Indonesia dari masa-masa SMP atau SMA mereka, dimana mereka HARUS pergi ke sekolah, padahal mereka tidak tahu kenapa mereka harus ke sekolah. Padahal, harusnya orang harus tahu dulu mengapa melakukan sesuatu, baru setelah itu melakukannya.
Dan juga yang berisik bukan hanya orang yang ngobrol, namun entah kenapa suasana tidak bisa hening. Saya ingat sewaktu itu saya menonton konser Piano. Atmosfernya sungguh berbeda. Tidak ada keheningan. Tidak ada momen aneh, dimana sangking heningnya hingga selalu membuat saya menahan tawa(yang tentunya menambah parah suasana). Kemanakah keheningan itu?
Ketika saya memasuki auditorium Fakultas Kedokteran UGM, saya langsung melihat betapa kecilnya tempat tersebut. Selain kecil, kursi-kursinya juga bukan 'fixed-seat', tapi kursi merk 'Chitose' yang bisa digotong kemana-mana yang tentunya mengurangi keeleganan dari ruangan tersebut. Namun, karena permainan warna dan cahaya, suasana elegan masih terasa sedikit. Saya jadi sedih melihat auditorium itu. Kenapa? Karena saya baru menyadari betapa miskin negara ini, dan betapa saya take it for granted fasilitas yang saya dapat ketika saya di Amerika! Kita bicara tentang UGM, salah satu Universitas terbaik di Indonesia. Dan ketika saya melihat auditoriumnya, lalu membandingkan dengan auditorium sekolah community-college gw dulu, terlihat perbedaan yang sangat besar. Padahal sekolah saya di California itu hanya community-college, masih semi-universitas. Namun fasilitas sangat jauh melampaui salah satu Universitas terbaik Indonesia. Ternyata, inilah perbedaan antara negara maju dengan negara dunia ketiga.
Musisinya, saya tidak tahu yang bagus atau yang jelek itu seperti apa bila dibandingkan dengan musisi lain, atau mungkin perbandingan tidak berlaku di dunia seni-musik. Yang pasti, saya sangat menikmati musik klasik yang mereka sajikan. Kekayaan musiknya, dan emosi yang lahir dari suara instrumen, menyentuh hatiku. Yang pasti, aku tidak merasa aku berada di Indonesia ketika aku berada di konser tersebut. Jadi, dari satu sisi, musik yang disajikan, buat saya, berhasil membawa atmosfer dari negara para musisi tersebut.
Ketika pulang, saya merasa senang campur sedih. Senang karena pertunjukan musik yang memang luar biasa. Sedih dikarenakan sensasi yang saya rasakan ketika saya menonton konser, hilang, kembali ke realita bahwa saya hidup di sini, di negara ini. Namun kesedihan ini membangkitkan lagi perasaan untuk keluar dari negara ini. Aku jadi ingin ke Eropa. Tempat dimana seni-seni indah nan megah berada.