Sunday, 31 January 2010

what can I say ...

Pelajaran Pak Agus Leonardus

31 Januari 2010, Yogyakarta - Kalo boleh jujur, ketika mengunjungi sebuah seminar fotografi (untuk pertama kalinya) di JEC (Jogja Expo Center), saya tidak tahu siapa itu Agus Leonardus. Saya tidak tahu siapa dia, saya tidak tahu foto-fotonya, saya tidak tahu apapun tentang dia. Namun, yang pasti adalah saya mendapat pelajaran berharga dari menghadiri seminarnya.

Satu hal yang saya anggap paling penting dari seminar itu adalah mengenai pentingnya ide dalam sebuah fotografi. Bukan teknik, namun ide. Pak Leonardus bilang kalo fotografer biasanya terlalu terbebani dengan yang namanya masalah teknis, hingga melupakan ide dari foto mereka sendiri dan pesan dari foto tersebut. Pak Leonardus bilang , dengan parafrase, "Lupakan tentang teknik, teknik itu ya begitu-begitu aja, untuk menghasilkan suatu foto yang bernilai lebih dibutuhkan ide daripada teknik (yang mendalam)." Omongan beliau dibuktikan dengan slide foto-foto yang pak Leonardus mainkan, dimana foto-fotonya tidak membutuhkan teknik tingkat tinggi, namun unik dan bermakna.

Pak Leonardus juga berkata bahwa apa yang kita foto itu bisa 2 hal, apa yang kita lihat dan apa yang kita pikirkan. Menurut saya sendiri, ini tergantung dari kondisi dan personality sang fotografer. Ada fotografer yang cenderung ke spontanitas, ada fotografer yang lebih suka memikirkan dahulu apa yang akan difoto, lalu baru mencari objek yang telah diinginkan tersebut.

Pak Leonardus juga menjelaskan tentang hal-hal teknis fotografi seperti, masalah sudut-pandang, warna, pencahayaan, aperture, frame, dan komposisi. Tapi yang menurut saya menarik karena memberi saya ide baru mengenai cara berfotografi adalah hal mengenai bahwa objek yang terang akan menonjol di tempat yang gelap, vice versa, dan objek yang warnanya beda sendiri juga akan menonjol dari lingkungan sekitarnya. Beliau juga menunjukkan contoh-contoh foto dari konsep tersebut, dan menurut saya hasilnya luar biasa, artistik, walau saya menangkap kalau foto-foto tersebut lebih menonjolkan nilai seni ketimbang pesan/makna.

Seminar pak Agus Leonardus bagaikan sebuah pencerahan bagi saya. Saya tidak mungkin menyesal menghadiri seminar tersebut, saya merasa beruntung.

*Setelah seminar tersebut saya mencari info tentang Agus Leonardus di internet, dan saya menemukan bahwa beliau adalah seorang fotografer legendaris indonesia, bukan model darwis triadi yang menurut saya fotonya sama sekali tidak bernilai, tapi benar-benar seorang fotografer. Saya juga menemukan bahwa Pak Agus adalah alumni SMA De Britto, Yogya.

Monday, 11 January 2010

Pendakian gunung Merapi, Des '09






Januari 12, 2010 - Tanggal 26-27 Desember kemarin, gw dengan 3 orang kawan yang juga saudara2 gw, Om Wid, Egi, dan Mas Dik, naik gunung Merapi melalui jalur Selo. Kita sampai di basecamp sekitar pukul 17.00. Rencana kita bakal berangkat pukul 22.00 nanti. Untuk menghabiskan waktu, yang jelas, kita makan, soalnya dari tadi siang belum ada yang makan. Makanan di basecamp amatlah sederhana, namun tidak harganya. Kita bayar Rp 27.000 buat ber-4, padahal makanannya cuman telur pake tahu, ama tambah teh hangat buat minum. Masak kita harus bayar Rp 7.000 buat begituan? Tapi ya disamping harganya yang menurut gw terlalu mahal, lumayan lah buat ngisi energi.


Waktu 5 jam tidak mungkin kita makan aja. Setelah makan, kita main kartu. Om Wid yang ga bisa main kartu, mondar-mandir basecamp sendirian, sepertinya menghangatkan diri di dapur basecamp.

Tak terasa 5 jam berlalu, kami pun berangkat. Egi mengeluh kalau tiba-tiba kepalanya pusing ketika ia berkemas. Sesuai jadwal, tepat jam 10 kita berangkat.




Trek langsung menanjak. Bahkan sebenernya, trek merapi itu akan terus menanjak dari awal hingga akhir. Awalnya, pendakian sedikit terhambat dikarenakan Egi yang pusingnya semakin tidak keruan, mas Dika pun tak lama kemudian mengalami hal yang sama. Namun salut pada 2 orang ini, mereka terus mendaki, tidak menyerah(*).

Tak terasa, ternyata kita ber-4 mendaki lebih cepat dari yang lain. Satu persatu tim-tim lain yang mendaki sekitar 1 jam lebih dulu dari kita terlewati. Dalam waktu 4 jam, kitapun sampai di Pasar bubrah.

Pertanyaannya, sekarang apa?? kita tidak mungkin mendaki ke puncak pada pukul 2 pagi, itu hampir sama dengan bunuh diri. Tentunya kita memutuskan untuk membuat camp. Namun, ini satu hal yang tidak kita antisipasi dari awal karena berdasar informasi si Egi, ia membutuhkan waktu 8 jam untuk sampai pasar Bubrah, sedangkan kita 4 jam. Karena perkiraan kita sampai dalam waktu 8 jam, yang berarti kalau kita berangkat pukul 22.00 akan tiba sekitar pukul 6 pagi, kita tidak membawa perlengkapan untuk nge-camp! Tidak bahkan seutas tali pun. Padahal, udara di atas sana sangatlah dingin. Gw pun kaget, gw tidak mengira akan sedingin itu dan sudah lupa sedingin apa gunung-gunung di Indonesia karena sudah lama tidak naik gunung.

Disinilah Om Wid mengambil alih highlight panggung. Dia berinisiatif dengan kreatifitasnya untuk membuat sebuah tenda dengan peralatan seadanya dan menyesuaikan dengan bentuk alam pasar Bubrah yang penuh dengan batu-batu boulder besar. Om Wid pun satu-satunya orang yang ternyata membawa tali rafia. Bersyukur kita ada Om Wid dalam tim.


Tenda yang dibuat Om Wid benar-benar membantu dan meningkatkan kualitas istirahat kita malah itu secara signifikan, bener! Soalnya waktu itu terekspos sedikit sama angin dingin, wah, ga tahan. Rasanya lebih baik mati aja cepet2 biar lewat tuh penderitaan.

Tidur kami nyenyak, setidaknya saya benar-benar tertidur pulas dan sekitar jam 5 pagi saya baru terbangun. Langit di luar sudah berwarna biru tua menandakan matahari telah sedikit mengintip dari balik horizon. Pukul 6 pagi kami melanjutkan pendakian. Si Egi memutuskan untuk tidak ikut dan menunggu saja di camp beralasan dia sudah pernah ke puncak merapi dan sangat benci dengan pasir-pasir menuju puncak tersebut dan medan yang memang luar biasa terjal dan berbahaya.
 

Melihat keterjalan dan pasir2 itu saya langsung tahu kalau yang paling repot bukan pas naik, tapi pas turun, ditambah lagi cedera lutut gw yang waktu itu udah terasa 'nyut-nyut' yang nyebabin sakit kalo lutut gw ditekut atau diputar.


Lepas dari semua itu, dalam waktu 1 jam-an, kami sampai di kawah mati. Seperti namanya, kawah ini sudah tidak aktif lagi. Bahkan di dasarnya, banyak pendaki yang menuliskan namanya dengan cara menata batu-batu yang ada membentuk sebuah nama untuk mengabadikan pendakian mereka. Tapi yang lebih menakjubkan dari nama-nama itu adalah struktur batu-batu yang mengitari kawah tersebut.




Puncak garuda, yang merupakan puncak dari gunung Merapi berada tak jauh dari kawah mati, sekitar 5-10 menit pendakian dan kamipun sampai di puncak Garuda.



 Sekitar 1/2 jam di puncak, kamipun langsung turun. Kesenangan yang kami alami ketika di puncak tadi langsung berubah 180 drajat. Di depan kami, hamparan pasir dan hutan telah menunggu kami. Perjuangan belum berakhir.

Benar saja, menuruni pasir2 dan batu-batu terjal ini adalah siksaan dunia. Cara agar terbebas dari siksaan tersebut adalah dengan mengalihkan perhatian kita, seolah kita tidak mempunyai kaki. Gw dan Om Wid serta Mas Dik berpisah di satu poin. Mereka mengira mereka telah mengambil jalur yang benar. Sayapun tak keberatan, lagipula jalur manapun yang diambil, kemungkinan tersasar pada saat itu cukup kecil karena target lokasi camp sudah terlihat dari tempat tersebut.

Saya sampai di camp duluan. It ends up that Om Wid dan mas Dik mengambil jalur yang melenceng lumayan jauh dari camp. Egi pun harus menghampiri mereka untuk memberi tahu mereka jalan ke camp. Sambil menunggu mereka, saya pun beristirahat di atas matras yang sudah tergeletak di tanah. Badan saya rasanya hancur dan lemas. Badan saya tidak terlalu fit pada pendakian tersebut karena pada waktu itu memang saya sedang sakit tenggorokan parah dan badan saya ama rentan terhadap serangan meriang. Sekitar 1 jam saya menunggu, Egi pun kembali. Ia bilang Om Wid dan mas Dik malah tiduran di 'sana'.



Sekitar pukul 11, kita akan turun. Namun sebelum itu, gw bilang kalo kita belum ada foto ber-4. Karena itu, kita foto-foto dulu berempat. Foto-foto sebelum kita memasuki neraka dunia.

 

Ini versi informalnya:



Setelah foto-foto, rintangan terakhir menunggu di depan mata. Menuruni gunung turns out to be a lot harder than climbing it. Lebih banyak cobaan mental dalam menuruni gunung, dan saya pun, walau saya akhirnya bisa overcome dan sampai ke basecamp, menganggap diri saya gagal dalam cobaan tersebut. Tapi itulah hidup, kita gagal, kita jatuh, namun selanjutnya kita akan lebih baik dari sebelumnya. Saya sangat setuju dengan kata temen saya (di facebook), 'what does not kill you, make you stronger'



Note: (*) Pada waktu itu memang gw ga terlalu paham sepusing apa mereka berdua, bahkan sempat menganggap remeh sakit mereka. Gw berpendapat seperti itu hingga suatu malam gw mengalami hal yang sama dengan mereka. Ketika itu gw olah raga sekitar jam 9 malam, padahal gw belum makan. Olah raga gw hentikan di tengah2, dan gw merasa mual dan pusing yang parah, bahkan untuk berjalan saja rasa pusingnya gila-gilaan. Tak berapa lama, gw muntah. Tapi bukannya tambah baik, kondisi mual dan pusing gw tambah parah. Sejak itu, gw tau bagaimana kira-kira parahnya pusing mas Dik dan Egi pada waktu itu dan gw makin salut ama mereka.

Sunday, 10 January 2010

hello world..!!

Hooi,
gw cuman numpang lewat bentar, just wanna try the template...

ciao, -abi