Thursday, 23 December 2010

Kekuatan Lighting pada film Suspiria

Suspiria, film yang diproduksi tahun 1977 dan disutradarai oleh Dario Argento. Bercerita tentang seorang wanita muda yang merantau ke Germany untuk sekolah dansa (balet). Pada awalnya, segalanya biasa-biasa saja. Namun perlahan rahasia tentang sekolah balet tersebut terkuak, dan ia mendapati dirinya terancam bahaya. Akhirnya sang wanita muda berhasil lolos dari sekolah itu dan selamat.

Kurang lebih begitulah ceritanya. Sulit sekali membagi perhatian gw ketika nonton sebuah film, apalagi bila nontonnya baru sekali, seenggaknya dua kali laah. Tapi berhubung gw lagi sibuk abis ngejar deadline, yah, dipaksa-paksain deh. Kita coba fokus pada satu hal yang menarik perhatian gw dari film ini, cahaya.

Dari awal film sudah keliatan pemakaian cahaya yang unik dan menonjol dari film ini. Cahaya merah, hijau, biru, ungu, ..., kuning, putih. Pemakaian cahayanya setipe dengan film Scorsese Mean Streets dan Taxi Driver. Namun pada Mean Street, pemakaian cahaya yang mencolok seperti pada film Suspiria digunakan, biasanya, di dalam bar atau pada film Taxi Driver, warna cahaya tidaklah sebanyak film Suspiria, namun hanya merah, kuning, dan hijau (warna traffic light). Suspiria, selain pemakaian warna cahaya yang bermacam-macam, menghancurkan ide dalam kepala gw dan membuat inspirasi baru bagi gw. Bila dalam Mean Street warna-warna cahaya itu hanya identik dengan lampu-lampu di bar pada malam hari, Suspiria memberikan ide baru bahwa cahaya-cahaya mencolok itu mengancam! Ketika cahaya-cahaya ekstrim itu menyala, watak utama berarti dalam kondisi terancam.

Itu merupakan ide yang fresh dan inspirasional bagi saya karena ternyata ada kemungkinan untuk menjuruskan sesuatu yang selama ini dianggap menjurus pada satu hal ke sesuatu yang baru. Contohnya penggunaan cahaya dalam film ini. Dalam film Mean Street, cahaya-cahaya ini hanyalah membentuk atmosfir dalam bar, tidak mengancam. Namun dalam film Suspiria, cahaya-cahaya itu diubah menjadi simbol akan bahaya.

Ah, baru kepikiran. Kayaknya penggunaan objek untuk membuat penonton mengantisipasi sesuatu keren juga tuh. Misalnya kita pake contoh topi Indiana Jones. Dalam suatu frame, setting di bar di timur tengah, kondisi seperti wild west jaman dulu, kamera gerak menuju sebuah meja. Meja itu kosong, namun sebuah topi fedora tergeletak di atas meja itu. Jreeeeeng!! Penonton pasti udah riuh sendiri pas ngeliat topi itu. Kenapa? Karena mereka uda mikir kalo pada shot selanjutnya jagoan mereka bakal muncul. Jah!! Mantep!!

Kembali ke film Suspiria. Cahaya-cahaya itu juga membentuk dunianya sendiri. Gw inget banget satu adegan (di bagian akhir film) ketika watak utama wanita ingin menemukan ke mana arah langkah kaki yang sering ia dengar tiap malam. Pada awalnya semua lancar, koridor sepi karena anak-anak yang lain sedang pergi ke teater (yg saya lupa di mana). Ia turun tangga, terdengar obrolan dua orang wanita di dapur. Lalu shot beralih ke tempat itu. Perbedaan cahaya di koridor dan di dapur begitu kontras!!! Di koridor warna di dominasi warna-warna mencolok seperti merah, biru, dll, sedangkan di dapur menggunakan cahaya lampu biasa, dengan adegan yang wajar pula. Maksud saya dua orang wanita itu mengobrol seolah mereka sedang di dapur mereka sendiri di rumah, sedangkan di koridor suasana begitu tegang, mistis, menakutkan, dan mengancam. Seolah dapur dan koridor adalah dua dunia yang berbeda. Karena apa? Karena cahaya!! Well, akting juga berpengaruh sih. Tapi cahaya juga punya andil yang sangat besar di sana. Bayangkan bila chattering itu dilakukan dengan lighting yang sama dengan koridor. Walaupun percakapan mereka terdengar menyenangkan dan enteng, tetap saja atmosfirnya tertular dengan atmosfir di koridor, alhasil kontras tidak sebesar bila cahaya yg digunakan adalah cahaya wajar.

Itu aja sih yang pengen gw bahas, informasikan. Kali-kali bisa menjadi sumber inspirasi, entah buat siapa aja, bahkan buat gw sendiri nanti di masa datang.

Thursday, 9 December 2010

'Aku', karya seorang kawan

Pengambilan gambarnya secara umum biasa saja. Setting seadanya, pemain pun tidak ganteng seperti pemain2 sinetron di TV, namun dalam film pendek karya , sebut saja RWB, yang berjudul 'Aku' adalah, jujur sejujur-jujurnya, salah satu film paling emosional yang pernah gw tonton.

Padahal film pendek, durasi cuman 15 menit, tapi , mungkin, ada beberapa adegan yang membuat gw terikat dengan sang karakter utama. Gw ga bakal masuk ke segi2 teknis bla-bla-bla. Yang pasti, ini film pesannya kuat dan , buat gw pribadi, sangat inspirasional.


Sebuah film tentang seorang pemuda yang jatuh, diinjak-injak, hancur, berkelut dengan dirinya sendiri, namun pada akhirnya ia bisa mengalahkan itu semua, mengalahkan dirinya sendiri dan menjadi pemenang, diakhiri kata-kata 'Seorang pemberani adalah seseorang yang mampu menaklukan ketakutan dalam dirinya sendiri'.

Pertama kali gw menonton film ini, ditemani sama yang buat filmnya, gw ngerasa pusing. Entah kenapa, gw belum tau pasti, antara adegan-adegan awal film yang eksplosif (secara emosi) atau karena gw menahan tangis (nahan tangis bikin pusing juga loh). Namun pada saat itu, gw belum tersentuh saat ini ketika gw menonton filmnya untuk kedua kalinya, sendiri. Kali itu ia bercerita bahwa beberapa temannya yang ditunjukkan film ini menangis, gw belum begitu mengerti. Namun ketika menonton filmnya untuk kedua kalinya, gw paham, walau mungkin hanya sedikit, mengapa mereka menangis setelah menonton film ini.

Film ini akan gw jadikan inspirasi untuk film (eksperimen) gw selanjutnya, sebuah film yang lebih menyentuh daripada menghibur.

Tuesday, 2 November 2010

Foto-foto Sunda Kelapa Nov 2010

Ini linknya! Gw upload barusan di flickr.

http://www.flickr.com/photos/35807087@N07/

Tuesday, 12 October 2010

Simbolisasi Matahari


Matahari sebagai simbol kehidupan? Ok! Yah, masuk akal lah. Mayoritas manusia beraktifitas mulai pas matahari terbit, ampe terbenam, dan tidur pada waktu malam. Walaupun sebenernya pas manusia tidur itu masih idup atau engga mati, tapi salah satu tanda sesuatu hidup itu adalah bergerak, dan manusia lebih banyak gerak pas aktifitas dibanding pas lagi molor. Yah, gw yakin loe semua uda pada ngerti, ga perlu dikasih tau alesan2 lainnya.

Matahari sebagai lambang awal dari sesuatu atau akhir? Ok, setuju bang. Matahari terbit adalah simbol dari awal hari yang baru, sedangkan matahari terbenam adalah simbol akhir dari hari(yang baru saja terlewati).

Matahari sebagai lambang keceriaan? KAGAK OKE! Mungkin buat orang-orang yang tinggal di wilayah bermusim empat, it's oke-oke ajah. Mereka pas summer main-main ke pantai, pake bikini, main voli, main pasir, main bola (bola sepak, bukan bola basket), main kuda...eh, naik kuda, main surfing, main swimming, main air, main nyari harta-karun, main pura-pura mati(ngambang di aer, ato dikubur di pasir trus ditinggalin), pokoknya summer identik dengan main-main ke pantai yang identik dengan keceriaan. Sedangkan indonesia, yang ngaku-ngaku musimnya ada dua padahal ya temanya sama, panas, matahari boro2 lambang keceriaan. Matahari, setidaknya buat gw, adalah lambang kesengsaraan. Naik bis, jam 8 uda panas, keringetan, macet, polusi, bising, emosian, pokoknya tanya ajalah ama yang sering naik angkot ato naik bis, pasti opininya ga jauh-jauh ama gw.

Beda kultur itu bener2 nyata men, bukan dibuat-buat. Ada yang bilang, "ah, mereka kan manusia juga, sama aja!" Yah, memang kalo mau disimpel-simpelin itu bener. Tp ada perbedaannya juga. Seperti bendera negara kita. Gw pernah kasih tau ke temen gw kalo di bendera kita itu warna merah artinya berani, dan putih artinya suci. Tapi ternyata di negara lain merah di artikan lain, seperti di India merah artinya suci, di China merah artinya banyak rejeki, di Spanyol merah artinya adu banteng (yg ini becanda, tp mungkin bener), di Afrika selatan, merah artinya lambang berduka. Waktu itu sih temen gw kayaknya kurang antusias, berhubung gw juga bukan seorang pembicara oral yang baik. Tp gw cuman bayangin kalo misalnya di kelas pak Yayat, guru Bahasa Rupa di IKJ gw, nanya apa arti merah buat kalian, tiba-tiba ada seorang student-exchange dari India yang jawab "Suci, pak!" Nah, pasti anak-anak yang lain pada terbengong-bengong. Trus buat yang pikirannya sempit uda keburu buka mulut, "Ah, goblok banget tuh." trus sang India ngedenger omongan itu, nah, terjadi kerusuhan deh. Kenapa terjadi kerusuhan? Karena ga nyambung. Loh, kok jadi ke sini omongannya ya?

Film porno istilah di Amerika adalah blue-film, di Indonesia mentranslasikan istilah itu jadi film-biru, di Jepang mereka bilangnya (dulu) pinku - eiga atau film-merah jambu. Wah, jadi ngelantur nih.

Kembali ke masalah (sekali lagi, sebenernya bukan masalah) matahari. Matahari sebagai lambang keceriaan itu sangat mustahil buat orang Indonesia, terutama yang orang Jakarta, paling gak terutama yang tinggal di gunung. Kenapa? Keceriaan apa yang didapat dari matahari? Main di pantai? Wah, cari mati. Yang ada pulang-pulang ngeliyeng kena matahari seharian, blom lagi klo orang jakarta mah main di pantai ya adanya pantai ancol, pantai ancol ya loe tau ndiri bagaimana keadaannya. Wah, jadi kasihan ama orang jakarta, trus kesenangan di dapat dari mana buat mereka, ya? Ke mall? Hahahhaa, selamat bersenang-senang di mall deh. Eh, tp mall setelah di pikir-pikir ga begitu buruk juga walo cuman nongkrong2 di telpon umum samping WC, adem sih.

Buat yang kurang jelas pesan artikel ini apa (yang pastinya banyak banget), bahwa perbedaan kultur itu nyata, jadi buka aja pikiran loe, klo loe ketawa, brarti bukannya kultur lain itu salah, cuman loe aja yang ga ngerti, jadi sebaiknya loe tertawakan aja diri loe sendiri. Wah, pesen terakhir ini jg berlaku buat gw.

Friday, 17 September 2010

Annie Hall, Alvy Singer's op scene

Uda nonton Annie Hall-nya Woody Allen? Kalo belum, gapapa. Baca aja monolog berikut:

:"There's an old joke, two elderly women at Catskills mountain resort. And
One of 'em said: 'Boy, the food at this place is really terrible.' The other one says: "Yeah, I know, and such....small portions."

Coba pikirkan sebentar bagian-humor dari monolog itu yang mana. Udah?
Sebenernya monolognya ada lanjutannya. Ini lanjutannya:

"Well, that's essentially how I feel about life. Full of loneliness and misery and suffering and unhappiness, and it's all over too much quickly."

Pertanyaan gw , apakah ini sebuah monolog yang bagus?
Gw ga kasih komen apa2, saya hanya bertanya dan ingin mendengar pendapat dari pembaca(kalo ada, kalo enggak entar gw jawab sendiri ajah, hahahaha,Omong2, filmnya sendiri bener-bener berkesan buat gw.)

Wednesday, 8 September 2010

Mengenai nama "Soe Hok Gie"


Pasti pada tau Soe Hok Gie, kan? Pernah baca buku diarynya, kan? Atau seenggaknya pernah nonton filmnya, kan? Iya kan, 'kan, 'kan, 'kan?

Entah kenapa tadi pagi nama "Soe Hok Gie" mentereng layaknya iklan reklame di benak gw. Pertanyaan yang buat gw cukup unik, walau bisa diperdebatkan penting-enggaknya, telah lahir.


Yang tau tentang Soe Hok Gie pasti pernah denger doong tentang penolakan Gie ketika di'sarankan' untuk ganti namanya menjadi nama Indo(kayak kakaknya itu, siapa namanya, ah, lupa). Ia bersikukuh kalo ia tetep mau pake nama Chinesenya.

Namun, apa benar nama Soe Hok gie itu adalah nama Chinese(ato mandarin, ato kanton sekalian ajah). Yang jadi perhatian gw adalah nama depannya, 'Soe'. Soe, bukan 'Su'. Kenapa Soe, 'oe'(bukan suara muntah) itu ejaan lama, kan? Kalo bener namanya orisinil nama Chinese, seharusnya itu Su. Gw ga bisa bahas karakter bahasa Mandarin, tp berdasarkan informasi dari game Dynasty Warrior(source ga mutu yak), Lu Bu ditulisnya ya Lu Bu, bukan Loe Boe. ato Guan Yu ditulisnya ya Guan Yu, bukan Guan Yoe.

Jadi, kesimpulannya buat gw, Soe Hok Gie itu nama Chinese yang teradaptasikan ke dalam bahasa Indonesia.

PS: Kalo infonya ga mutu, jangan dicaci, ya. Ini sekedar hal-hal kecil yang biasa luput dari pengamatan orang pada umumnya. Ok bos, ciao.

Sunday, 5 September 2010

Nikon D60 Battery Experiment

Liburan lebaran telah dimulai. Bingung mau ngapain (walo sebenernya banyak tugas sekolah). Akhirnya tercetus sebuah ide untuk menjadi seorang fotografer event2 apapun, yah, buat awal2 karena masih amatir jg gratis ga papa dah! Yang penting pengalamannya ngumpul dulu, begitulah yang ada dalam benak gw.

Sekalian ngetes batere, gw abisin kapasitas SD card gw yang 2GB, ampe full hampir 700 pics, ternyata hanya ngabisin 1 strip energi baterenya dari 3 strip yang ada. Wah, mantap nih. Mission Possible lah! hehe.

Skalian share beberapa shoot yang barusan gw ambil,



Saturday, 4 September 2010

The Birth of Nation - Luar biasa!

The Birth of Nation - 1915 - David Wark Griffith

Dulu, gw kira 'The Birth of Nation', filmnya D.W.Griffith masuk banyak list sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa hanya karena alasan adalah karena film ini adalah sebuah film pelopor pembuatan dan penggunaan teknologi dunia film. Namun setelah menonton film ini barusan, saya menyadari kalau ternyata saya salah.

Film ini luar biasa buat saya, terutama dari segi cerita dan tentunya tata-artistik. Ceritanya memikat. Dari awal hingga akhir, gw disajikan momen-momen yang sangat menyentuh, seperti ketika anak-anak dari keluarga Stoneman dan Cameron bertemu di medan Civil War, padahal sebelum perang mereka adalah keluarga yang akrab satu sama lain. Lalu kematian Lincoln yang disimbolikkan oleh karakter utama sebagai harapan setelah kekalahan perang pihaknya, sehingga kepala keluarga Stoneman menjadi orang nomor satu di seluruh negeri, dimana tiba-tiba saja ia menjadi bagaikan raja, seperti yang ditunjukkan oleh Griffith pada momen ketika tongkat-jalan Stoneman jatuh, para politisi di sekitarnya berebut membantu mengambilkan tongkat itu. Di saat yang sama, istri dari Stoneman terlihat begitu gembira, matanya berbinar-binar membayangkan harta dan status yang telah ia dapatkan dengan kenaikan strata dari suaminya, setidaknya gw merasa begitu melihat ekspresi 'gila' wanita itu.

Stoneman, sang advokat equality untuk kulit-hitam, pada momen2 mendekati klimaks, ternyata hanyalah seorang munafik, hipokrit. Gw mengambil kesimpulan ini dari 2 adegan yang ada di film, yakni ketika Elsie, anak perempuannya, mengancam Lynch dengan hukum cambuk karena telah bersikap kurang ajar padanya dengan memaksa dirinya untuk bersedia menikah dengannya. Sedangkan hukum cambuk hanya diberlakukan sebelum Civil War terjadi untuk menghukum para budak kulit hitam. Ancaman macam ini tidak akan keluar dari mulut seorang anak yang dibesarkan oleh keluarga yang memang memandang kulit-hitam sebagai ras manusia yang sejajar dengan mereka(kulit putih). Adegan kedua adalah ketika Lynch mangajukan permintaannya kepada Stoneman untuk menikahi anak perempuannya. Stoneman terlihat shock, padahal, sebelumnya yakni ketika Lynch bilang bahwa ia ingin menikah dengan seorang kulit putih tanpa menyebutkan bahwa wanita itu adalah anaknya, Stoneman terlihat gembira. Dua adegan itu jelas berarti bahwa Stoneman seorang munafik.

Orang bilang bahwa karakter utama dalam film ini adalah sang ketua Clansmen(KKK), namun buat gw, karakter utama film ini adalah sang antagonis, Stoneman sendiri. Dialah biang keladi dari segala kekacauan yang terjadi dalam film. Biang keladinya bukanlah Lynch, Cameron, bangsa kulit hitam atau siapapun melainkan Stoneman. Lynch menurut saya hanyalah seorang boneka, seorang boneka yang memang pada dasarnya seorang yang rendah, terlena oleh harta dan cinta ketika ia mulai naik jabatan disokong oleh Stoneman. Lynchlah yang menyudutkan bangsa kulit putih, sehingga KKK dibentuk dan mulailah terjadi bentrok antar kedua kubu yang seolah terlihat antara kulit-putih dan kulit-hitam, antara Northeners dan Southerners. Namun sebenarnya bukan itulah masalahnya. Ketika anak keluarga Stoneman menyelamatkan Dr. Cameron, ada dua kulit hitam di sana. Ini artinya bahwa masalahnya bukanlah masalah warna kulit. Selanjutnya mereka bersembunyi di rumah seorang veteran tentara Union(Northerners), padahal mereka adalah Southerners. Ini bukti bahwa masalahnya bukan masalah Utara atau Selatan. Masalahnya sebenarnya adalah Stoneman ingin mendapatkan voting dari kulit-hitam, dan cara dialah yang menyebabkan semua masalah terjadi.

Saya juga terkejut dengan keterbatasan pergerakan kamera pada masa itu, ada salah satu adegan yang menurut saya sangat2 suspenseful, yakni ketika adik dari Cameron dikejar oleh seorang kulit hitam yang kelihatannya ingin memperkosa dirinya. ketika adegan itu berlangsung, saya sungguh tak bisa menebak apa yang akan sang wanita lakukan, ketika sang kulit-hitam mesum semakin mendekat, sementara sang kakak laki-laki mengikuti jejak mereka dari belakang.

Dari segi score, walau beberapa adegan tidak sync dengan musiknya, namun penggemar musik klasik tidak akan protes mengenai kualitas musiknya. Beberapa adegan tidak cocok dengan musiknya sehingga menghasilkan suatu persepsi yang lucu dari adegan tersebut. Contoh, ketika Elsie duduk dengan murung, namun lagu sedang berdendang dengan gagap-gempitanya seolah mengiringi pasukan-pasukan berkuda ke medan perang.

Wah, pokoknya nih film luar-biasa banget deh! Inspirasional!

Tuesday, 24 August 2010

Musim Rampok!

Tadi siang gw baru aja nonton film Arthur Penn, judulnya...rahasia, tapi film posternya sebagai berikut:


Siapa bisa tebak judul filmnya apa? Yup, itu adalah poster film Bonnie & Clyde, film keluaran 1967 yang bercerita tentang 2 pasang kekasih yang bekerja sama sebagai perampok selama masa Great Depression Amerika pada tahun '30an. Filmnya bagus, kalo belon nonton, gw saran nonton, filmnya kocak, tp serius, ato yang biasa disebut dark comedy, salah satu film heist termantep yang pernah gw tonton (satunya lagi 'The Sting'nya George Roy Hill)

Kebetulan setelah nonton film itu, gw ngambil koran Kompas hari ini. Ga susah2, sebuah daftar kejadian perampokan dalam satu bulan ini (yang bahkan bulannya belum selesai) dimuat di halaman depan surat kabar tersebut.

Mulai dari 3 Mei hingga 23 Agustus, telah terjadi setidaknya 14 perampokan bersenjata. Rata2, pelaku berkelompok setidaknya dua orang dengan menggunakan senjata api dalam aksinya, dengan hasil rampokan bervariasi dari hanya 500rb rupiah hingga 700juta. NAMUN, ada satu kejadian dari daftar itu yang sangat menarik perhatian dan keingin-tahuan gw tentang siapa sang pelaku dibalik kejadian perampokan yang menurut gw, dari kaca mata seorang perampok, adalah sebuah 'prestasi'.

Pada tanggal 21 Juli 2010 di daerah Cideng, Jakpus, SEORANG perampok dengan hanya bersenjatakan PISAU berani menyerang sebuah bank, dan hebatnya lagi ia berhasil mengambil hampir 400 juta!!! Padahal, di daerah tasikmalaya, kelompok perampok beranggotakan 30 orang hanya mendapat tak lebih dari 100 juta, dan kelompok yang beraksi di daerah Samarinda, walau berhasil mendapat hampir 700juta, namun mereka ber-6.

Gw sangat-sangat tertarik tentang identitas sang perampok. Merampok jelas adalah hal yang buruk, namun orang barat bilang ada orang yang punya keahlian 'see things as it is', gw rasa perampok itu patut diacungkan jempol untuk keberaniannya, atau kenekatannya, saya tidak tahu, yang pasti yang telah dilakukan perampok itu, menurut gw, adalah sesuatu yang LUAR BIASA!!

Tuesday, 17 August 2010

Sulitnya mencari film klasik di Indonesia

 Heio, gw cuman pengen tau nih, sebenernya kenapa sih sulit sekali mencari film klasik (terutama yang Original) di Indonesia? Film2 legendaris seperti Gone with the Wind (baru nonton soalnya, jadi yang pertama keluar di kepala, hahaha), The Good, Bad, & the Ugly, Stagecoach, Band of Outsiders, Rumble Fish, The Treasure of Sierra Madre, Mean Streets, bahkan film2 yang keluaran tahun 1990-an seperti Pulp Fiction, Fallen Angels, Chungking Express, El Mariachi, ga ada di pasaran.

Sebenernya pertanyaan gw ajukan buat distributor DVD ato VCD kita. Kenapa? Kenapa tidak di edarkan?

Mungkin, ada kemungkinan prospek yang kurang menjanjikan dari film-film tersebut. Saya tidak bermaksud membandingkan mana yang lebih bagus, dan mana yang lebih buruk. Ada yang bilang film sekarang jelek2 soalnya cuman ngandelin visual-effect aja. Tidak-tidak! Buktinya Titanic, walau film itu menggunakan teknologi komputer tetap di mata gw(dan banyak orang lain) adalah sebuah film yang epik. Di sisi lain, ada yang bilang film jaman-dulu keliatan banget tipuannya, seperti film2 Hitchcock yang sering menggunakan teknik layar-tancep sebagai background. Namun, apa ada yang protes ama film Raider of the Lost Arknya Spielberg ketika keliatan banget kalo dia ngegunain boneka pas adegan ngebuka 'box'nya (lupa gw namanya, hahaha, Ark of Covenant apa ya?). Tapi kalo ngomongin Iron Man, lalu Prince of Persia, yang malah dipromosikan gede2an, yah, gw cuman bisa menghela nafas. Bukan karena filmnya jelek, hanya saja engga sesuai ama selera gw(dengan kata lain menurut gw jelek). Di saat yang sama jaman sekarang filmnya banyak model2 seperti itu, cerita ga jelas, ngandelin action-action-dan action, namun isinya ga ada (selain action itu tentunya). Tapi mau bagaimana lagi, banyak orang yang belum pernah nonton film2 kolosal karya2 sutradara legendaris dulu macam Sergio Leone ato John Ford, orang bilang 'tidak kenal maka tak sayang'. Di tambah lagi pengalaman beberapa minggu lalu ketika saya main2 ke Gramedia, kebetulan sedang ada obral film. Saya begitu kaget ketika menemui film Cool Hand Luke masuk dalam cart itu. Gw waktu itu sih ga beli filmnya, soalnya udah nonton, tapi gw beli 'Lust, Caution'nya Ang Lee dari cart yang sama. Gila ga tuh! Filmnya Ang Lee bisa masuk ke box itu! Yah, menurut gw sih cukup edan, tp sekali lagi selera orang beda-beda (tp setelah nonton film itu, gw lebih terkesima lagi, soalnya filmnya rapih bgt, ceritanya bagus pula!).

Saya iri! Benar-benar iri ama orang2 di luar sana! Gw liat2 di internet, ada pengedar film2 khusus klasik yang namanya Criterion Collection, entah itu nama sebuah organisasi atau perusahaan produksi, entah. Tapi di bawah nama itu, keluar DVD2 film2 yang melegenda. Apa aja ada! Rada berlebihan sih, tapi dulu, ketika gw tinggal di luar, gw sempat nyewa semua film Akira Kurosawa dari library skul gw, dan semuanya Criterion Collection(sementara di sini, gw coba cari bajakannya, torrentnya, hasilnya nihil)!!

Kalo ada waktu, para pembaca sekalian, kalo emang ada yang baca, opininya dung, apakah kalian memang tidak tertarik film2 yang saya sebutkan di atas? Kalo gw tau bahwa ada orang yang memiliki selera yang sama dengan gw, mungkin kita bisa lakukan sesuatu pada para distributor DVD ato VCD kita.

Sunday, 15 August 2010

Chipo

Tiap hari nonton, nonton, dan nonton, mulai dari Western, ampe drama, dari yang taon 1940-an, ampe 1970 (pecinta klasik, hehe).

Sebagai selingan, tadi siang gw adain foto-foto di halaman rumah. Modelnya Chipo.


Siapa itu Chipo? Chipo adlaah anjing gw. hehe.

Fotonya bagus, walo abis foto2, karena hari ntu lagi siang-bolong dan klo loe nyadar lg bulan puasa dan gw salah satu orang yang lg puasa pd hari itu, saat2 ini, jam 14.30, lebih haus dari hari2 puasa kemarin.


Chipo lg sedih ya? Ato minta perhatian? hahaha

Friday, 13 August 2010

Tantangan 1 Kamera

The kamera

Tantangan, apakah ada yang mengira bahwa TIDAK MUNGKIN membuat sebuah FILM( bukan dokumenter ato macam video Keong Racun) hanya dengan 1 kamera? Taruhan dengan saya.

Wednesday, 11 August 2010

been a while!!

Sori, uda lama engga ngepost apapun, sibuk banget soalnya, hehe, menata hidup yang sempat berantakan ga jelas.
Dalam beberapa pekan terakhir, gw sempat ngelakuin beberapa perjalanan sih, minggu lalu kemping di pangandaran, ama beberapa hari setelah itu gw pergi (sendiri) ke air terjun Cikaso, Ujung Genteng sono, dkt Sukabumi (walo masih 4 jam-an dari kota tsb). Tp gw kyknya sih ga bakal ngepost ttg perjalanan gw, soalnya kebanyakan fotonya. Perjalanan selanjutnya aja mulai ngepost bangsa 1,2 foto.
Gt aja deh, adios!

Thursday, 18 March 2010

Lockerz, mau di invite?


Kirim email loe ke gw, jarzen_gasoline@yahoo.com. Ntar langsung gw invite, berhubung gw di depan laptop terus seharian.

Friday, 12 March 2010

Comment on Slumdog Millionaire

Sedikit cerita tentang yang gw rasa waktu nonton film ini. Gw ngerasa film ini sangat kuat menonjolkan kejorokan lingkungan India(walau gw blom pernah ke sana, tp gw denger sih begitu, entah lebih jorok atau gmana dibanding Indo), namun disaat yang sama keeksotisan dan kekayaan warna India juga sangat terasa di film ini, setidaknya pada bagian awal, terutama scene yang pas nyuci-nyuci pakaian di pinggir sungai. Itu keren abis.Karakter tokohnya kuat, ditambah yang memang aktornya aktingnya bagus. Trus juga jalan ceritanya dan cara memaparkannya sangat mantep, en pastinya , jelas. Tapi tetep, sensasi yang paling 'wah' dari film ini buat gw adalah bagaimana director dan timnya menggambarkan kondisi di India.
Secara umum nih film mantep. Tp sayang, cerita cinta-cintanya itu, cuih, I dont' buy that, menurut gw cinta-cinta itu kurang menyentuh, mungkin gara-gara rada basi mungkin. Dan unfortunately, it ruins everything. I really meant that, everything!

Saturday, 27 February 2010

Hal yang Mencoreng-moreng Muka Indonesia!

Nih, liat aja sendiri...:
 

Orang-orang boleh punya pendapat sendiri2. Tp kalo buat gw, gw sangat tersinggung dan MALU!! Gw ga peduli orang Indo ngopy secara telanjang-telanjangan film Avatar ato 1 liter of tear, terserah!!! Tp ini menyangkut salah satu band favorit gw! Mungkin secara realita, image Beatles ga bakal berubah dengan perilaku orang-orang ga tau malu yang buat desain di atas, tp gw merasa itu merusak citra the Beatles di kepala gw. Apalagi yang di kopi salah satu kover album terindah, Abbey Roads. Di tambah lagi, udah niru, tiruannya sampah lagi! Untuk menutup omongan gw, gw ada pertanyaan, YANG BERTANGGUNG JAWAB MILIH OUTFITNYA SIAPA SIH?

ini terakhir beneran. menurut gw, dibandingin ama kover album band indie aja, nih kover kaga ada seupil-upilnya, bahkan sedebu-debunya ga ada, padahal di backing 'perek' besar. Jadi gw ada pertanyaan lagi, YANG NGEDESAIN KOVERNYA SIAPA SIH?

(note: berharap aja pihak Abbey Studio ga liat ini. Bukan masalah hukum, tapi biar kaga diketawain)

Monday, 22 February 2010

Jersey No. 27

A story between me, the one that I've ever loved, a mysterious girl, and a jersey no.27

Wednesday, 10 February 2010

Amsterdam Viola Quartet - Music Concert


Feb 10, 2010 - Baru pulang dari nonton konser musik klasik. The show was super awesome!!
Sedikit yang gw tahu tentang para musisi yang tampil di concerto. 5 Orang yang terdiri dari 4 pemain viola dan seorang tap dancer I believe came from Holland. Then, there's one woman, the pianist, named Tanaka-san, of course, from Japan.

Dari konser tersebut, membandingkan dari pengalaman menonton konser musik klasik ketika saya di Amerika, saya ingin mengomentari 3 hal dari konser tersebut; penontonnya, auditoriumnya, dan , tentu saja, pertunjukkan musiknya sendiri.

Penontonnya, well, menurut gw penonton konser tadi cukup antusias. Bahkan, terlalu antusias hingga mereka bertepuk tangan atau tertawa ketika musisi sedang memainkan musik! Buat gw, suara-suara itu cukup mengganggu pertunjukkan musiknya sendiri. Lagian, yang namanya konser musik klasik, setau gw, etikanya adalah ga boleh ada suara apapun ketika performer sedang perform. Bukannya gengsi atau gaya, tapi memang suara-suara itu cukup mengganggu ketika orang ingin mendengar pertunjukkan sang performer.

Dan juga, orang Indonesia menurut saya harus belajar untuk DIAM atau menyadari 'TUJUAN' mengapa pergi ke suatu tempat. Maksud gw begini, ketika orang pergi ke sekolah, orang itu harus sadar benar kalau dia mau belajar. Ketika orang pergi ke konser musik, orang itu harus tahu dan sadar bahwa tujuan ia ke konser itu adalah untuk mendengar musik! Bukan mengobrol!! Menurut saya ini bawaan orang Indonesia dari masa-masa SMP atau SMA mereka, dimana mereka HARUS pergi ke sekolah, padahal mereka tidak tahu kenapa mereka harus ke sekolah. Padahal, harusnya orang harus tahu dulu mengapa melakukan sesuatu, baru setelah itu melakukannya.

Dan juga yang berisik bukan hanya orang yang ngobrol, namun entah kenapa suasana tidak bisa hening. Saya ingat sewaktu itu saya menonton konser Piano. Atmosfernya sungguh berbeda. Tidak ada keheningan. Tidak ada momen aneh, dimana sangking heningnya hingga selalu membuat saya menahan tawa(yang tentunya menambah parah suasana). Kemanakah keheningan itu?

Ketika saya memasuki auditorium Fakultas Kedokteran UGM, saya langsung melihat betapa kecilnya tempat tersebut. Selain kecil, kursi-kursinya juga bukan 'fixed-seat', tapi kursi merk 'Chitose' yang bisa digotong kemana-mana yang tentunya mengurangi keeleganan dari ruangan tersebut. Namun, karena permainan warna dan cahaya, suasana elegan masih terasa sedikit. Saya jadi sedih melihat auditorium itu. Kenapa? Karena saya baru menyadari betapa miskin negara ini, dan betapa saya take it for granted fasilitas yang saya dapat ketika saya di Amerika! Kita bicara tentang UGM, salah satu Universitas terbaik di Indonesia. Dan ketika saya melihat auditoriumnya, lalu membandingkan dengan auditorium sekolah community-college gw dulu, terlihat perbedaan yang sangat besar. Padahal sekolah saya di California itu hanya community-college, masih semi-universitas. Namun fasilitas sangat jauh melampaui salah satu Universitas terbaik Indonesia. Ternyata, inilah perbedaan antara negara maju dengan negara dunia ketiga.

Musisinya, saya tidak tahu yang bagus atau yang jelek itu seperti apa bila dibandingkan dengan musisi lain, atau mungkin perbandingan tidak berlaku di dunia seni-musik. Yang pasti, saya sangat menikmati musik klasik yang mereka sajikan. Kekayaan musiknya, dan emosi yang lahir dari suara instrumen, menyentuh hatiku. Yang pasti, aku tidak merasa aku berada di Indonesia ketika aku berada di konser tersebut. Jadi, dari satu sisi, musik yang disajikan, buat saya, berhasil membawa atmosfer dari negara para musisi tersebut.

Ketika pulang, saya merasa senang campur sedih. Senang karena pertunjukan musik yang memang luar biasa. Sedih dikarenakan sensasi yang saya rasakan ketika saya menonton konser, hilang, kembali ke realita bahwa saya hidup di sini, di negara ini. Namun kesedihan ini membangkitkan lagi perasaan untuk keluar dari negara ini. Aku jadi ingin ke Eropa. Tempat dimana seni-seni indah nan megah berada.

Sunday, 31 January 2010

what can I say ...

Pelajaran Pak Agus Leonardus

31 Januari 2010, Yogyakarta - Kalo boleh jujur, ketika mengunjungi sebuah seminar fotografi (untuk pertama kalinya) di JEC (Jogja Expo Center), saya tidak tahu siapa itu Agus Leonardus. Saya tidak tahu siapa dia, saya tidak tahu foto-fotonya, saya tidak tahu apapun tentang dia. Namun, yang pasti adalah saya mendapat pelajaran berharga dari menghadiri seminarnya.

Satu hal yang saya anggap paling penting dari seminar itu adalah mengenai pentingnya ide dalam sebuah fotografi. Bukan teknik, namun ide. Pak Leonardus bilang kalo fotografer biasanya terlalu terbebani dengan yang namanya masalah teknis, hingga melupakan ide dari foto mereka sendiri dan pesan dari foto tersebut. Pak Leonardus bilang , dengan parafrase, "Lupakan tentang teknik, teknik itu ya begitu-begitu aja, untuk menghasilkan suatu foto yang bernilai lebih dibutuhkan ide daripada teknik (yang mendalam)." Omongan beliau dibuktikan dengan slide foto-foto yang pak Leonardus mainkan, dimana foto-fotonya tidak membutuhkan teknik tingkat tinggi, namun unik dan bermakna.

Pak Leonardus juga berkata bahwa apa yang kita foto itu bisa 2 hal, apa yang kita lihat dan apa yang kita pikirkan. Menurut saya sendiri, ini tergantung dari kondisi dan personality sang fotografer. Ada fotografer yang cenderung ke spontanitas, ada fotografer yang lebih suka memikirkan dahulu apa yang akan difoto, lalu baru mencari objek yang telah diinginkan tersebut.

Pak Leonardus juga menjelaskan tentang hal-hal teknis fotografi seperti, masalah sudut-pandang, warna, pencahayaan, aperture, frame, dan komposisi. Tapi yang menurut saya menarik karena memberi saya ide baru mengenai cara berfotografi adalah hal mengenai bahwa objek yang terang akan menonjol di tempat yang gelap, vice versa, dan objek yang warnanya beda sendiri juga akan menonjol dari lingkungan sekitarnya. Beliau juga menunjukkan contoh-contoh foto dari konsep tersebut, dan menurut saya hasilnya luar biasa, artistik, walau saya menangkap kalau foto-foto tersebut lebih menonjolkan nilai seni ketimbang pesan/makna.

Seminar pak Agus Leonardus bagaikan sebuah pencerahan bagi saya. Saya tidak mungkin menyesal menghadiri seminar tersebut, saya merasa beruntung.

*Setelah seminar tersebut saya mencari info tentang Agus Leonardus di internet, dan saya menemukan bahwa beliau adalah seorang fotografer legendaris indonesia, bukan model darwis triadi yang menurut saya fotonya sama sekali tidak bernilai, tapi benar-benar seorang fotografer. Saya juga menemukan bahwa Pak Agus adalah alumni SMA De Britto, Yogya.

Monday, 11 January 2010

Pendakian gunung Merapi, Des '09






Januari 12, 2010 - Tanggal 26-27 Desember kemarin, gw dengan 3 orang kawan yang juga saudara2 gw, Om Wid, Egi, dan Mas Dik, naik gunung Merapi melalui jalur Selo. Kita sampai di basecamp sekitar pukul 17.00. Rencana kita bakal berangkat pukul 22.00 nanti. Untuk menghabiskan waktu, yang jelas, kita makan, soalnya dari tadi siang belum ada yang makan. Makanan di basecamp amatlah sederhana, namun tidak harganya. Kita bayar Rp 27.000 buat ber-4, padahal makanannya cuman telur pake tahu, ama tambah teh hangat buat minum. Masak kita harus bayar Rp 7.000 buat begituan? Tapi ya disamping harganya yang menurut gw terlalu mahal, lumayan lah buat ngisi energi.


Waktu 5 jam tidak mungkin kita makan aja. Setelah makan, kita main kartu. Om Wid yang ga bisa main kartu, mondar-mandir basecamp sendirian, sepertinya menghangatkan diri di dapur basecamp.

Tak terasa 5 jam berlalu, kami pun berangkat. Egi mengeluh kalau tiba-tiba kepalanya pusing ketika ia berkemas. Sesuai jadwal, tepat jam 10 kita berangkat.




Trek langsung menanjak. Bahkan sebenernya, trek merapi itu akan terus menanjak dari awal hingga akhir. Awalnya, pendakian sedikit terhambat dikarenakan Egi yang pusingnya semakin tidak keruan, mas Dika pun tak lama kemudian mengalami hal yang sama. Namun salut pada 2 orang ini, mereka terus mendaki, tidak menyerah(*).

Tak terasa, ternyata kita ber-4 mendaki lebih cepat dari yang lain. Satu persatu tim-tim lain yang mendaki sekitar 1 jam lebih dulu dari kita terlewati. Dalam waktu 4 jam, kitapun sampai di Pasar bubrah.

Pertanyaannya, sekarang apa?? kita tidak mungkin mendaki ke puncak pada pukul 2 pagi, itu hampir sama dengan bunuh diri. Tentunya kita memutuskan untuk membuat camp. Namun, ini satu hal yang tidak kita antisipasi dari awal karena berdasar informasi si Egi, ia membutuhkan waktu 8 jam untuk sampai pasar Bubrah, sedangkan kita 4 jam. Karena perkiraan kita sampai dalam waktu 8 jam, yang berarti kalau kita berangkat pukul 22.00 akan tiba sekitar pukul 6 pagi, kita tidak membawa perlengkapan untuk nge-camp! Tidak bahkan seutas tali pun. Padahal, udara di atas sana sangatlah dingin. Gw pun kaget, gw tidak mengira akan sedingin itu dan sudah lupa sedingin apa gunung-gunung di Indonesia karena sudah lama tidak naik gunung.

Disinilah Om Wid mengambil alih highlight panggung. Dia berinisiatif dengan kreatifitasnya untuk membuat sebuah tenda dengan peralatan seadanya dan menyesuaikan dengan bentuk alam pasar Bubrah yang penuh dengan batu-batu boulder besar. Om Wid pun satu-satunya orang yang ternyata membawa tali rafia. Bersyukur kita ada Om Wid dalam tim.


Tenda yang dibuat Om Wid benar-benar membantu dan meningkatkan kualitas istirahat kita malah itu secara signifikan, bener! Soalnya waktu itu terekspos sedikit sama angin dingin, wah, ga tahan. Rasanya lebih baik mati aja cepet2 biar lewat tuh penderitaan.

Tidur kami nyenyak, setidaknya saya benar-benar tertidur pulas dan sekitar jam 5 pagi saya baru terbangun. Langit di luar sudah berwarna biru tua menandakan matahari telah sedikit mengintip dari balik horizon. Pukul 6 pagi kami melanjutkan pendakian. Si Egi memutuskan untuk tidak ikut dan menunggu saja di camp beralasan dia sudah pernah ke puncak merapi dan sangat benci dengan pasir-pasir menuju puncak tersebut dan medan yang memang luar biasa terjal dan berbahaya.
 

Melihat keterjalan dan pasir2 itu saya langsung tahu kalau yang paling repot bukan pas naik, tapi pas turun, ditambah lagi cedera lutut gw yang waktu itu udah terasa 'nyut-nyut' yang nyebabin sakit kalo lutut gw ditekut atau diputar.


Lepas dari semua itu, dalam waktu 1 jam-an, kami sampai di kawah mati. Seperti namanya, kawah ini sudah tidak aktif lagi. Bahkan di dasarnya, banyak pendaki yang menuliskan namanya dengan cara menata batu-batu yang ada membentuk sebuah nama untuk mengabadikan pendakian mereka. Tapi yang lebih menakjubkan dari nama-nama itu adalah struktur batu-batu yang mengitari kawah tersebut.




Puncak garuda, yang merupakan puncak dari gunung Merapi berada tak jauh dari kawah mati, sekitar 5-10 menit pendakian dan kamipun sampai di puncak Garuda.



 Sekitar 1/2 jam di puncak, kamipun langsung turun. Kesenangan yang kami alami ketika di puncak tadi langsung berubah 180 drajat. Di depan kami, hamparan pasir dan hutan telah menunggu kami. Perjuangan belum berakhir.

Benar saja, menuruni pasir2 dan batu-batu terjal ini adalah siksaan dunia. Cara agar terbebas dari siksaan tersebut adalah dengan mengalihkan perhatian kita, seolah kita tidak mempunyai kaki. Gw dan Om Wid serta Mas Dik berpisah di satu poin. Mereka mengira mereka telah mengambil jalur yang benar. Sayapun tak keberatan, lagipula jalur manapun yang diambil, kemungkinan tersasar pada saat itu cukup kecil karena target lokasi camp sudah terlihat dari tempat tersebut.

Saya sampai di camp duluan. It ends up that Om Wid dan mas Dik mengambil jalur yang melenceng lumayan jauh dari camp. Egi pun harus menghampiri mereka untuk memberi tahu mereka jalan ke camp. Sambil menunggu mereka, saya pun beristirahat di atas matras yang sudah tergeletak di tanah. Badan saya rasanya hancur dan lemas. Badan saya tidak terlalu fit pada pendakian tersebut karena pada waktu itu memang saya sedang sakit tenggorokan parah dan badan saya ama rentan terhadap serangan meriang. Sekitar 1 jam saya menunggu, Egi pun kembali. Ia bilang Om Wid dan mas Dik malah tiduran di 'sana'.



Sekitar pukul 11, kita akan turun. Namun sebelum itu, gw bilang kalo kita belum ada foto ber-4. Karena itu, kita foto-foto dulu berempat. Foto-foto sebelum kita memasuki neraka dunia.

 

Ini versi informalnya:



Setelah foto-foto, rintangan terakhir menunggu di depan mata. Menuruni gunung turns out to be a lot harder than climbing it. Lebih banyak cobaan mental dalam menuruni gunung, dan saya pun, walau saya akhirnya bisa overcome dan sampai ke basecamp, menganggap diri saya gagal dalam cobaan tersebut. Tapi itulah hidup, kita gagal, kita jatuh, namun selanjutnya kita akan lebih baik dari sebelumnya. Saya sangat setuju dengan kata temen saya (di facebook), 'what does not kill you, make you stronger'



Note: (*) Pada waktu itu memang gw ga terlalu paham sepusing apa mereka berdua, bahkan sempat menganggap remeh sakit mereka. Gw berpendapat seperti itu hingga suatu malam gw mengalami hal yang sama dengan mereka. Ketika itu gw olah raga sekitar jam 9 malam, padahal gw belum makan. Olah raga gw hentikan di tengah2, dan gw merasa mual dan pusing yang parah, bahkan untuk berjalan saja rasa pusingnya gila-gilaan. Tak berapa lama, gw muntah. Tapi bukannya tambah baik, kondisi mual dan pusing gw tambah parah. Sejak itu, gw tau bagaimana kira-kira parahnya pusing mas Dik dan Egi pada waktu itu dan gw makin salut ama mereka.

Sunday, 10 January 2010

hello world..!!

Hooi,
gw cuman numpang lewat bentar, just wanna try the template...

ciao, -abi